BAB 7

57 16 31
                                    

VITA

Begitu kami berdua menerima kartu souvenir dari penerima tamu, para among tamu menyambut kami. Sepertinya kebanyakan dari kolega orang tuanya si mempelai wanita, soalnya acara pertama diadakan pengantin perempuan. Kemudian disusul oleh acara pesta dari pengantin pria yang dinamakan ngunduh mantu.

"Bukan, Yang. Ngunduh yang dimaksud bukan yang kayak download begitu, bukan." Beneran deh kalau ini bukan di tempat umum dan lagi antre salaman pasti ngakak paling kencang sendiri. Aku sampai pukul sedikit lengan pacar palsuku ini, muka polosnya pas lagi dengerin aku cerita tuh lucu banget.

"Ya habisnya aku pikir ngunduh yang dimaksud ya itu tadi," bisik Tora sambil maju pelan-pelan.

"Artinya itu sederhana, yaitu mendapatkan mantu. Begitu, Yang. Ngunduh mantu itu adalah pesta menyambut menantu perempuan sebagai anggota keluarga mempelai pria," balasku tidak kalah berbisik.

Antrean semakin menipis. Kulirik Tora yang sedang mengancingkan jasnya, sementara aku mengatur napas dan wajah. Kali ini aku tidak boleh kalah, seenaknya aja Rinto menang telak. Kalau dia saja bisa, aku juga bisa dong.

Tibalah kami dipersilakan dari pihak WO untuk naik ke pelaminan. Kami berdua menyalami orang tua Syahira dengan santun. Begitu sampai ke Rinto ....

Sudah kuduga mukanya kaget, dan dia berusaha keras untuk menetralkan itu. Mampus, makan tuh move on.

Kupasang senyum lebar dengan mengulurkan kedua tanganku yang tertangkup. "Selamat menempuh hidup baru, ya, Rinto. Semoga pernikahanmu selalu dikasih berkah sama Tuhan." Asli, ngomong gini tuh antara ikhlas dan nggak, tapi teringat pesan Mama bahwa hanya Tuhan maha pengatur.

Rinto berdehem lalu membalas uluran tanganku sampai ujung jari. "Terima kasih sudah datang, Vita dan ..."

Kurangkul sedikit pinggang Tora. "Oh, ya, kenalin ini pacarku yang baru. Namanya Tora. Sayang, kenalin, ini Rinto, dia teman lamaku."

Kulihat Tora dan Rinto bersalaman dengan santai layaknya laki-laki pada umumnya. Namun, aku merasa bahwa mereka seperti saling mengukuhkan diri. Muka polos Tora tadi sudah berubah jadi tidak terbaca soalnya.

Aku bersalaman dengan Syahira, dan anaknya terlihat baik sekali. Dia bahkan sempat cipika cipiki sekilas denganku. Gila, mendadak aku jadi kasihan sama Syahira jadinya. Aku hanya berdoa dalam hati semoga Syahira mampu menghadapi Rinto dan pengecut bin sombongnya yang satu paket itu.

Terakhir, aku dan Tora bersalaman dengan orang tua Rinto. Dari rautnya mereka senang denganku, tapi nggak tahu deh. Soalnya orang tua Rinto tuh daridulu nggak bisa ditebak, waktu main ke rumah ortunya terus bantu-bantu ibunya malah biasa saja.

Aku dan Tora kali ini bagi tugas ambil makan, aku ke zuppa soup dan kambing guling lalu Tora ke stan siomay dan sate padang. Kami bertemu lagi di area kursi kosong yang mana kayaknya ini kursi untuk keluarga jauh – tapi salah sendiri pada dikosongkan – selama tidak ada namanya ya bisa diklaim siapa saja.

"Zuppa soup tuh nggak pernah ngecewain." Aku merobek puff pastry dengan sendok kecil lalu dicampur sama krim sup ayam dengan jagung lalu terulur ke arah Tora. Dia menerima suapanku dan ekspresinya jadi senang begitu.

"Coba gimana menurutmu, Yang?"

Tora menelan makanannya sebelum buka mulut. "Enak kok, sayangnya kurang lada sedikit."

Benar juga, emang ladanya kurang jadi rasa mau disampaikan tuh kayak nanggung. Padahal kuyakin ini krimnya bikin dari awal, bukan beli model bubuk yang dijual di minimarket terdekat.

Tora menusuk telur rebus dan siomay pakai garpu lalu memutarnya di lautan saus kacang warna coklat. "Menurutku ini yang lebih enak, Yang. Coba aja dulu."

Slowly Falling [TAMAT DI KARYAKARSA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang