VITA
"Aku sudah pesankan taksi daringnya, Yang."
Aku tidak jadi menekan tombol pesan di layar aplikasi mobil daring, kepalaku menoleh pada Tora. "Makasih lho, padahal aku nggak minta. Ini beneran nggak minta, bukan kode."
"Aku paham kok, Sayang."
Badanku kenapa panas dingin gini, sih? Padahal ini hubungan palsu, wajar dong panggil sayang? Biasanya juga nggak gini. Parahnya adalah penampilan Tora yang hari ini pakai kemeja batik warna coklat tua dengan motif lingkar-lingkar entah apa itu nama motifnya aku lupa, belum lagi modelnya lengan panjang yang digulung sampai siku.
Entah muncul darimana bayangan kami berciuman di serambi rumahku kembali berputar, kali ini Tora menggendongku dan menurunkanku di sofa, dan tangan Tora menelusuri bagian atas sampai perutku lalu menarik kausku ke atas dan ....
Astaga Vita, kenapa bayangannya malah jadi adegan video stensil sih? Sudah sudah nanti aja, ini tempat umum. Nanti dikira cewek mesum bin nggak tahu tempat.
Duh sebel banget badanku malah jadi panas dingin gini, padahal udara Malang di siang hari tidak dingin. Sampai di dalam taksi daring – yang mana pak supirnya menggunakan AC alami alias angin semilir tipis – masih saja belum hilang ini. Duh begini nih, efek kelamaan jomblo.
"Kamu kenapa, Sayang?" Tora mengguncang sedikit bahuku.
"Eh nggak apa, Sayang. Hanya tadi badanku mendadak dingin." Aku sampai pura-pura gosok leher juga biar makin totalitas. "Panas dalam mungkin, ya." Kutambahkan cengiran sebagai pemanis, dan syukurlah Tora percaya.
"Aku tahu kamu orangnya produktif, Yang. Tapi, ya, kamu juga harus memperhatikan kesehatan kamu sendiri dan harus lebih jeli lagi bermain manajemen waktu." Tora berkata sambil membetulkan letak kacamatanya lalu diikuti dengan mengalungi lanyard warna coklat di leher.
"Tenang aja, Sayang." Kuelus lengan kanan Tora pelan. "Aku bisa jaga diri dan memastikan diriku nggak capek, buktinya bulan ini aku nggak ambil banyak endorse plus video-videoku santai semua."
Senyum Tora kali ini di aku manis banget, senyum yang bikin tenang melebihi semua video ASMR yang kutonton terus menerus. Taksi daring kami sekarang lagi putar balik di depan Polinema, dan seperti biasa antrenya. Belokan si sopir yang lumayan tajam bikin badanku nubruk dada Tora, dan tangan pria itu sudah ada di punggungku. Kurasakan parfum musk bercampur keringat di hidungku.
Deheman Tora bikin aku menjauh, dan si sopir bersuara tanpa menoleh. "Maaf, Mbak, Mas."
"Ye, yo po, Sampeyan iki (Yah, gimana sih kamu ini), Mas?" Aku protes, enak aja hanya maaf doang, ini menyangkut nyawa penumpang dan pengemudi itu sendiri, mentang-mentang jalanan sepi karena belum jam pulang kuliah. "Hati-hati, ntar kalau ada motor lewat terus nabrak gimana? Malah Sampeyan dewe sing soro (kamu sendiri yang sengsara)."
"Baik, Mbak. Saya minta maaf." Suara Pak Sopir masih terdengar walau perlahan mengecil.
"Sudah, Sayang. Masa gini aja kamu marah?" Tora berusaha menenangkanku dengan cara menyatukan sela-sela jari kami. "Ini hari Jumat lho, masa moodnya langsung jelek aja." Deheman terdengar darinya selama beberapa detik.
"Kamu lagi kena radang tenggorokan, Yang?" Aku menoleh masih dengan tautan tangan kami. "Dari tadi kamu berdehem terus soalnya kamu jarang kayak gini."
"Aku nggak sakit kok, Yang. Hanya ...." Tora sepertinya bingung bagaimana mengungkapkan kalimat selanjutnya.
Ah aku paham ini, senyum miringku keluar. "Kamu gugup aku sampek nggak sengaja peluk tadi?"
Tora menoleh cepat, wajahnya kaget kayak dia ketahuan mencuri ayam yang masih dalam kerangkeng. "Iya sih, tapi, maksud aku, kalau peluk, nggak secepat itu."

KAMU SEDANG MEMBACA
Slowly Falling [TAMAT DI KARYAKARSA]
Romance[LOVE UNIVERSE #4] [TAMAT DI KARYAKARSA] Tidak terima dengan Rinto yang bahagia atas pernikahannya, Vita mengajak Tora untuk pura-pura jadi pacarnya sebagai pembuktian bahwa dia sudah move on. Tora juga setuju karena biar Talitha tidak memaksanya b...