TORA
Kepalaku mendadak pening.
"Itu bener dia ngomong gitu, Yang?" Saya bertanya lagi hanya untuk memastikan kebenaran.
Vita mengangkat dua jari di samping muka. "Itu tuh beneran nggak sengaja ketemu deke. Coba kalau ketemunya bukan di Lai-Lai bakal tak labrak entek-entekan. Saiki dudu Rinto tok sing tak kei Jancok, Talitha sisan."
Saya terhibur jika Vita sudah bilang kata sakti berjuta makna itu. Matanya berapi-api seakan ingin menyerang mereka berdua tanpa ampun.
Pantas saja tadi pas baru mau buka pintu pagar, tangan saya ditarik sama Vita. Wajahnya menyiratkan kelegaan sekaligus cemas, Vita menceritakan bagaimana Talitha sama pacar – atau laki-laki selingan? Entahlah – bagaimana dia memfitnah saya bahwa transaksi utang kemarin itu adalah pemerasan, padahal aslinya Talitha sendiri yang ngajak bertemu untuk bayar utang.
"Ini deh nek kon gak percaya." Vita menyodorkan kamera vloggingnya ke saya. "Ternyata kameraku nyala pas kejadian ngintip aksi Talitha. Emang dari punggung aja, tapi suaranya masih jelas."
Benar, baju lengan pendek warna hitam dan rok mini jin adalah gaya andalan Talitha. Ini semua sesuai cerita Vita. Rasa sakit dan sesak ini bukan karena cemburu, tapi sisi traumatis yang sudah saya redam bertahun-tahun mencuat lagi. Ini lebih parah daripada versi yang diceritakan Vita.
"Beb, mantanku itu ternyata meras aku. Mana alasannya dengan nagih utang segala, aku harus gimana dong Beb? Aku capek bayar terus perbulannya ...."
Punggungku bersandar di kursi, mataku berkunang-kunang. Sudah tadi sidangnya padat dan penuh drama warisan serta harta gono-gini, sekarang dihadapkan sama Talitha yang ternyata tidak berubah sama sekali, malah makin parah. Saya sempat berpikir kalau utang yang entah kapan lunas ini berakhir, saya akan tetap berhubungan baik.
Sambil memejamkan mata, mulut saya bergerak di luar kontrol diri. "Orang baik itu selalu dapat cobaan paling banyak dari Tuhan, tapi kenapa orang jahat itu enggak? Malah mereka bisa berleha-leha." Saya melepas kacamata, terlalu berat hidung saya nopang benda ini.
"Aku gak isok ngomong sing bijak pol macam motivator Mario Tegas." Saya hampir tertawa dengan tanggapan ajaibnya Vita. Namun, saya membiarkan dia bersuara. "Kata Mamaku dulu, biasanya Tuhan tuh sengaja kasih cobaan beruntun ke orang baik karena Tuhan sayang sekali. Terus orang jahat dibiarin leha-leha agar pas Tuhan kasih balasan pedih itu tidak tanggung-tanggung, langsung sakitnya bakal parah. Tapi sih itu nanti pas di alam kekal, kalau sekarang sih levelnya cethek kayak kolam renang anak-anak."
Kepala saya menengok ke kiri, perlahan membuka mata saya yang buram ini. Tampak rambut megar dan gaun daster warna merah cenderung orange dengan motif entah apa itu. Vita memakaikan kembali kacamata saya, dan pandangannya jadi lebih jelas. Vita memang jarang pakai riasan, tapi dia pakai sesuatu yang merah-merah itu bikin penampilannya terlihat indah gitu.
Bahkan lebih indah dari langit merah yang memburam dan anak-anak tetangga yang kembali ke dalam karena terkena mitos keluar maghrib-maghrib itu bahaya.
Vita mengelus lengan kiriku, "Aduh, Sayangku. Sudahlah, yang penting sekarang kamu tenang dulu. Walau sebenarnya di Alun-Alun Batu waktu itu aku wes ngingetno awakmu soal keanehan Talitha yang mendadak rajin bayar utang." Elusan Vita yang tadinya di lengan sekarang berpindah ke pipi kiriku.
"Tapi walau gitu seharusnya aku tetap dengerin awakmu, Yang." Saya benar-benar menyesal sekali.
"Padahal kita ini pacaran palsu lho?" Vita melepaskan elusannya, bertopang dagu pada sandaran kursi.
Ini memang pacaran palsu, tapi bagi saya semuanya terasa asli. Namun, cara Vita mengungkapkannya seakan menghempaskan saya kembali ke realita. Ada apa dengan saya kali ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Slowly Falling [TAMAT DI KARYAKARSA]
Romansa[LOVE UNIVERSE #4] [TAMAT DI KARYAKARSA] Tidak terima dengan Rinto yang bahagia atas pernikahannya, Vita mengajak Tora untuk pura-pura jadi pacarnya sebagai pembuktian bahwa dia sudah move on. Tora juga setuju karena biar Talitha tidak memaksanya b...