TORA
"Masuko (Masuk aja)."
Nada datar Vita sambil bukain pagar rumahnya adalah pertanda situasi sudah kondusif. Ruang tamunya sekarang penuh dengan alat rekam serta perintilan, kabel dimana-mana, sampai laptop yang sampingnya penuh kertas berserakan. Saya berinisiatif membantu Vita beresin kamera dan menurunkan tiang tripod lalu mengembalikan ke ruangan yang letaknya di sebelah dapur.
Hasilnya lebih enak dilihat walau di meja belum semua. Vita membereskan kertas yang berantakan tadi dalam satu bendel yang ditahan sama paper clip, terakhir ia menutup laptop serta
"Kon pengen teh opo kopi?" tawar Vita dengan berdiri sambil memeluk kertas dan laptopnya.
"Sak Karepmu (Terserah kamu), Vit."
Ketika Vita pergi, kuatur napasku untuk mengendalikan rasa gugup ini. Saya terus meyakinkan diri bahwa ini adalah langkah tepat untuk minta maaf. Ibu pernah bilang bahwa mengaku salah dan minta maaf secara langsung adalah tindakan terbaik dan akan dapat respek dari orang tersebut.
Vita kembali dengan dua cangkir putih dengan ukiran bunga entah apa itu jenisnya. Dari baunya ini semacam teh chamomile. Begitu mendarat di hadapanku, dugaan saya benar. Warna tehnya ke kuning terang. Cara Vita menaruh cangkir sungguh anggun, dan tangannya lentik sekali.
"Teh di rumah adanya chamomile aja, Tor. Kopinya barusan habis, minum aja." Vita duduk di sebelah saya.
"Suwun (Makasih)," balasku sambil menyesap sedikit demi sedikit teh chamomile. Baunya menenangkan, dan Vita tidak pakai gula sama sekali. Dia sungguh mengerti, alasannya adalah rasa khasiat teh jadi berkurang ketika dikasih gula. Gulanya tidak hanya gula pasir, gula jagung juga termasuk. Teh chamomile dari segi wangi hampir tidak ada bau daun teh sama sekali. Hampir bukan berarti tidak ada, kemungkinan sekitar dua puluh persen saja.
"Ini kamu pakai Dilmah atau Twinings?" tanyaku menebak-nebak.
"Dilmah."
"Dari endorse?"
"Penakmen (Enak saja)." Vita refleks menepuk lenganku. "Tuku dewe (Beli sendiri), Coy. Teh ini jarang kusentuh, soalnya aku biasanya minum teh melati. Koyok kon gak tahu aku ae (Kayak kamu nggak tahu aku aja)."
Saya tidak membalas lagi, membiarkan kami minum sebentar. Begitu kuletakkan cangkir di meja, ini saatnya. Kami berhadapan, membetulkan letak kacamata frame bulat dan merapikan rambut biar Vita tidak lihat tangan saya yang gemetaran.
"Vita." Saya membuka pembicaraan. "Terkait kejadian main mengaku-ngaku sebagai pacar tanpa izin kamu adalah kesalahan saya sepenuhnya. Untuk itu saya minta maaf dari lubuk hatiku, dan berjanji tidak akan mengulanginya. Untuk kedepannya, saya akan selalu bicara dengan jelas ke kamu sebelum ambil tindakan."
Ada rona merah di pipi Vita, senyumnya mendadak lebar lalu jadi tawa ditutupi tangan. Rambut keriting coklat megar-nya berkibar dari atas ke bawah.
Vita menyelesaikan tawanya dulu baru bicara. "Tora ... Tora. Aduh kon iki (kamu ini)...." Vita memukul cepat pergelangan tanganku. "Aku mengapresiasi permintaan maaf ini, dan jawabanku adalah aku terima maaf kamu." Vita mengangkat kedua tanganku lalu digerakin naik turun. "Cuma yang bikin aku ketawa itu mukamu lucu banget pas minta maaf tadi."
"Oh begitu, ya." Saya mengangguk paham..
"Tunggu kene sek (Tunggu sini dulu)," perintah Vita lalu pergi lagi, terdengar suara buka tutup lemari. Kemudian dia kembali bawa dua toples kue kering.
Vita menyerahkan satu toplesnya pada saya. "Ini kue kukis coklat. Kon durung eroh icip, tho? Gowoen (Kamu belum tahu icip, kan? Bawa aja)."
KAMU SEDANG MEMBACA
Slowly Falling [TAMAT DI KARYAKARSA]
Romance[LOVE UNIVERSE #4] [TAMAT DI KARYAKARSA] Tidak terima dengan Rinto yang bahagia atas pernikahannya, Vita mengajak Tora untuk pura-pura jadi pacarnya sebagai pembuktian bahwa dia sudah move on. Tora juga setuju karena biar Talitha tidak memaksanya b...