Behind The Scene 1: Ibu Sambung

700 62 16
                                    

"Nduk, Tio itu cah bagus, lho. Ganteng. Sopan. Wong sugih. Koncone mbakmu juga. Ibuk tau dia dari zaman dia masih cilik. Ndak neko-neko."

Risti ingat betul, begitulah bujukan sang ibu setahun lalu. Tepatnya setelah Tio berkali-kali berkunjung ke rumah mereka lengkap dengan sekotak martabak special. Tentu saja yang senang adalah si bungsu Robi. Dia merasa ketiban rejeki nomplok secara cuma-cuma. Tanpa peduli apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Sementara Restu, si sulung yang waktu itu kebetulan sedang menginap beserta anaknya, langsung memotong dengan tegas. "Ndak usah pengaruhi terus, Buk. Yang nanti jalanin kan Risti, bukan Ibuk. Lagian Risti juga bukan abege lagi. Dia pasti punya pertimbangan dan keputusannya sendiri."

"Yo bukan gitu, Mbak. Ibuk tuh cuma pengin yang terbaik buat anak-anak Ibuk lho."

"Pengin yang terbaik apa matreee?" Restu mengerling judes.

"Hush, kamu itu. Semua orang tua itu yo wis pasti matre. Tapi bukan buat kepentingan kami. Semata-mata biar anak-anak kami ndak hidup susah nantinya. Lagian taun depan Risti udah tiga puluh. Kalau terlalu pemilih mau sampek kapan, to? Itu liat si Tami aja anaknya udah dua. Malah hamil lagi kembar. Rejekinya bagus. Banyak anak."

"Sekarang udah bukan era orde baru, Buk. Nikah umur tiga puluhan wajar. Si Tami aja yang nikah kecepetan. Lagian mending pemilih di awal daripada asal pilih terus cerai, kan?"

"Hush!" Ibu menggeplak lengan Restu. Pelan saja, karena Restu berdiri menggendong puteranya yang sedang tertidur. "Amit-amit jabang bayi. Amit-amit Gustiii. Lagian kok zaman Pak Harto sampek digowo-gowo."."

"Lha nggih, Ibu kok mesti madakke sama zaman Ibuk dulu."

Seperti biasa ujung-ujungnya malah Restu dan Ibuk yang jadi beradu pendapat. Robi masa bodoh saja, asyik mengunyah martabak sambil main ponsel. Sementara Risti kebanyakan jadi penetral suasana. Dia lebih sering diam lalu manut. Risti tidak tega menambah beban ibunya yang sudah menghadapi sifat keras Restu dan sifat super cuek Robi. Apalagi ayah mereka yang dulu jadi penengah sudah meninggal tiga tahun lalu.

"Udah gimana Risti aja. Kalau dia memang mau, dia suka sama si Tio ya sudah. Tapi kalau ndak mau, ya jangan dipaksa," sambung Restu lagi. Mengultimatum.

"Yo wis, wis. Piye, Ris?" Meski kurang ikhlas dan sedikit merengut, Ibuk akhirnya menurut.

Risti memilin ujung baju sambil berpikir sejenak. "Mas Tio juga kan belum tentu ada maksud serius ke aku. Siapa tau cuma mau silaturahmi," jawabnya kalem.

"Dodooolll ...." Restu langsung berdecak gemas. Kalau saja tangannya bebas, sudah pasti dia menggetok kepala si anak tengah. "Mana ada laki-laki lajang tiap malem minggu datang bawa macem-macem makanan cuma mau silaturahmi? Mau bilang belum tentu apelin kamu? Terus siapa ha? Apelin Mbak? Atau Ibuk?"

"Huuusshhh!" Lagi-lagi Ibuk menggeplak pelan lengan Restu.

"Nggih, nanti ta' pikiri dulu mateng-mateng. Soale, Mas Tio kan wis punya anak. Aku bakale dadi ibu tiri."

"Tapi dia jadi duda bukan karena pisah cerai, lho. Ditinggal meninggal. Bedo, Nduk."

"Sik, sik, Mbak tanya dulu, sebenernya kamu ada naksir ndak sama dia? Ada ser ser gitu ndak?"

Waktu itu Risti tidak menjawab.

Tio Gunardi adalah teman dekat Restu saat SMA. Bukan dekat dalam artian naksir-naksiran, karena Restu adalah gadis tomboi yang sahabatnya memang lelaki semua. Dulu, Tio lumayan sering datang ke rumah bersama beberapa orang lainnya. Kalau tidak ada peer, mereka numpang main nintendo, pingpong di halaman depan, atau gitar-gitaran. Ibuk tidak pernah keberatan. Malah senang karena katanya rumah jadi ramai. Ibuk pun selalu menyuguhi para tamunya itu dengan aneka makanan meski sederhana. Pisang goreng, jagung rebus, kue apem, atau jajanan pasar apa saja. Seadanya.

Behind Happily Ever After [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang