Behind The Scene 14: New Life 3 (Risti)

279 36 17
                                    

Bahu Risti merosot lemas begitu kakinya menjejak lantai poli tumbuh kembang. Sepanjang lorong dengan bangku tunggu di kanan-kiri itu nampak kosong. Begitupun dengan bagian nurse station yang tidak dijaga oleh satu orang pun perawat. Dengungan halus AC central bahkan bisa terdengar karena suasana terlalu sepi.

Jam memang sudah menunjukkan pukul 20. 35. Risti jadi merasa keputusannya super bodoh: hendak titip pesan pada nurse jaga untuk Mbak Esti, tapi malah tidak memperhitungkan masalah waktu.

Berada di posisi Nadia, sebenarnya membuat Risti cukup fleksibel pergi kemana-mana. Mobil ada. Aliran dana lancar. Izin dari suami mudah. Namun, yang terus membatasinya adalah waktu. Seabrek pekerjaan sebagai head of finance (gadungan) membuat Risti selalu pulang larut. Belum lagi dia harus lanjut menempuh perjalanan lintas kota setelahnya.

Mau cuti selalu tidak diizinkan karena banyak pending-an. Baru mau kabur sudah keburu kepergok atau dihubungi terus-terusan. Akibatnya sudah hari ketiga dia terjebak di tubuh Nadia tanpa bisa berbuat banyak.

Adaaa saja rintangannya.

Malam pertama, Risti berkali-kali gagal pulang ke rumah Tio dan rumah Ibuk karena hal-hal yang tak masuk akal. Terjebak macet lah, pengalihan rute dadakan lah, kena rajia polisi lah. Hingga yang paling gila adalah mendadak mules ingin buang air besar sampai memutuskan untuk buru-buru pulang.

Malam kedua alias kemarin, Risti mendatangi salah satu toserba Tio yang skalanya paling besar. Seingatnya, sang suami paling sering berada di sana untuk urusan operasional. Namun ternyata ... nihil. Penantian Risti selama satu jam lebih berakhir dengan meninggalkan nomor handphone di kasir.

Setelah itu Risti buru-buru mengemudi ke daerah pasar untuk menemui Robi. Sayangnya, dia hanya disambut oleh rolling door toko yang sudah terkunci.

Hari ketiga alias sekarang, Risti sudah berencana cabut setelah lunch. Namun, keburu ada meeting dadakan dengan Pak Atmojo. Sepanjang hari kemudian dilewati Risti dengan setumpuk pekerjaan yang tidak kunjung habis. Lagi-lagi pulang malam, sehingga baru bisa sampai di RS selarut ini.

Gagal lagi.

Suara dentingan lift yang tidak jauh dari tempatnya duduk, lantas membuat mata Risti (dalam sosok Nadia) mengerjap perlahan. Diamatinya orang-orang yang masuk ke lift sembari memutar otak. Habis ini mesti kemana lagi? Haruskah dia berangkat ke Depok untuk menemui Mbak Restu?

Eh, tunggu .... Kenapa tidak coba datang ke Sweet Bites dulu? Bakery memang sudah tutup pukul sembilan. Akan tetapi, para karyawan masih beres-beres sampai satu jam ke depan. Mungkin dia bisa mencari tahu atau bahkan minta bantuan pada mereka.

Kok baru kepikiran sekarang?

Sekian menit kemudian, Risti (dalam sosok Nadia) sudah mengemudikan mobil dengan gesit membelah jalanan malam. Sayangnya, sampai di jalan provinsi, dia terjebak oleh lalu lintas yang padat merayap. Perjalanan jadi molor empat puluh lima menit. Dan ... benar saja. Papan bertuliskan closed, pencahayaan toko yang redup, dan lahan parkir yang telah dirantai menyambutnya ketika sampai. Motor-motor karyawan bahkan sudah tidak tersisa. Yang artinya, mereka sudah pulang semua.

Apes.

Harusnya tadi dia ke Sweet Bites dulu. Bukannya tetap ke Rumah Sakit meski sudah kemalaman.

Akibat didera kekecewaan berkali-kali, Risti sampai merasa lemas. Dia pun memutuskan parkir di Indomart seberang Sweet Bites untuk membeli kopi. Dinikmatinya minuman itu sambil duduk-duduk di kursi besi yang disediakan. Lagi-lagi dia masih kelayapan hingga malam tapi tidak juga membuahkan hasil.

"Kudu piye iki aku?" gumamnya dengan pandangan yang terlempar ke seberang jalan. Bangunan yang didominasi warna tosca itu seolah melambai-lambai penuh rindu.

Behind Happily Ever After [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang