Behind The Scene 10: Rumput Tetangga

258 33 0
                                    

Perseteruan Nadia dengan Inggrid berbuntut panjang. Orang-orang yang menonton di luar jelas tidak paham konteks. Mereka pikir, teriakan Nadia di ambang pintu ruang meeting itu sedang mengatai-ngatai Inggrid tanpa ada pemicu sebelumnya. Padahal secara usia, Nadia lebih muda dua belas tahun. Jelas kesannya sangat pongah dan tidak tahu sopan santun.

Selain tim finance&accounting, lantai 25 juga dihuni oleh tim legal dan tim admin. Bahkan pada saat kejadian, sebagian dari tim sales sedang menunggu di depan pintu karena akan pakai ruang meeting. Dua orang dari bagian audit juga sedang berkoordinasi dengan legal. Jadi, bisa dibayangkan berapa pasang mata yang menonton drama 'Manager Kejam Terhadap Supervisornya' itu.

"Mbak Inggrid emang salah, tapi gak seharusnya juga digituin, kan. Jadi atasan kudunya mengayomi, bukan memaki-maki."

"Gue sih timnya Mbak Inggrid. Ya jelas keteter lah, orang posisi manager kosong lama. Dipikir kerja rangkap-rangkap gitu gampang? Terus itu orang baru, mentang-mentang posisinya di atas, main marahin aja. Bahasanya gak etis lagi."

"Manager tapi kok lambenyaaa .... Hiiih! Sakit hati sih gue kalau jadi Inggrid. Udah dikeramasin sama Bu Ratri, eh dihina sama bocah kemarin sore."

Kurang lebih begitulah omongan-omongan yang berembus di belakang. Nadia mendengarnya tanpa sengaja entah saat di toilet, mengantre di kantin, atau laporan dari Inge yang memantau di lantai 26.

Damn!

Netizen 'kan memang begitu. Langsung menarik kesimpulan dari apa yang dilihat sekilas. Main menghakimi tanpa berminat cari tau faktanya.

"What the ... f*ck!" maki Nadia sambil menumpukan kepalanya ke setir.

Dia memang sengaja berhenti di salah satu rest area hanya untuk mendinginkan otak. Kena kasus, lembur sampai larut, dan menyetir antar kota sendirian adalah tiga kombinasi ciamik yang juga membuat otot-ototnya jadi tegang.

Setelah merasa agak baikan, barulah Nadia mengangkat wajah. Diraihnya ponsel yang ditaruh sembarang di kursi penumpang depan. Bagaimanapun kacaunya masalah yang sedang dialami, Nadia tetap ingat pada sambatan Tami tadi sore. Dia kemudian menelepon sang sahabat untuk menawarkan bantuan.

"Oh gitu .... Syukur deh kalau gak perlu dirawat. Tapinya bener nih sekarang udah sampe rumah? Kalau beloman, aku jemput. Aku udah mau keluar tol sih ini." Sambil terus berbicara melalui sambungan telepon, Nadia mencubit-cubit pelan glabella-nya. Yaitu sebuah bagian dari dahi yang terletak di atas hidung dan di antara alis.

"Beneran. Ini udah sampe rumah, kok," jawab Tami di ujung sana. Napasnya terdengar sedikit ngos-ngosan.

"Baru nyampe banget?"

"He-eh."

"Oh ya udah kalau gitu tutup aja dulu."

Tami menggumamkan sesuatu, tapi suaranya tertimpa oleh rengekan Fina dan celotehan Friska. "Eh, bentar-bentar, Nad. Yah, Kak Fina jangan dipenc--"

Percakapan mendadak terputus. Nadia menduga kalau di sana Tami sedang kerepotan hingga sengaja tidak menelepon balik.

Iseng-iseng, pandangannya pun terlempar menembus kaca depan mobil dan menyisir pelataran minimarket rest area. Bagian dalamnya yang benderang terlihat jelas menampilkan rak-rak aneka barang. Salah satunya adalah produk ciki panjang-panjang yang berbalut cokelat.

Tanpa bisa dipilah, ingatan Nadia tiba-tiba melayang ke sebuah momen di masa lalu. Ketika dia sedang duduk frustasi di atas kloset setelah melihat testpack yang lagi-lagi bergaris satu. Untuk beralih dari rasa kecewa, dibukanya aplikasi Instagram. Insta story Tami lalu muncul di bulatan paling kiri. Sahabatnya itu nampak tertawa lepas, diapit oleh Fina dan Friska yang sedang berebutan menyuapinya ciki panjang-panjang berbalut cokelat. Sebuah potret kehidupan yang hangat, tetapi justru membuat Nadia seketika kedinginan.

Tidak. Nadia sama sekali tidak benci pada Tami. Mungkin hanya ... sedikit iri? Karena, kehidupan sahabatnya itu terlihat lebih menggiurkan.

***

Jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam ketika Nadia memarkirkan mobil di garasi. Suasana rumah yang sunyi langsung menyambutnya. Bahkan, tidak ada suara televisi yang biasa memutar siaran berita, pertandingan olahraga, atau National Geographic.

"Baru pulang?" Ariya ternyata sedang duduk di salah satu stool pantry dengan laptop terbuka. Saat mendongak, kelopak matanya terlihat berat.

"Iya," jawab Nadia sambil menaruh tas, lalu mengambil gelas untuk minum.

Ada jeda panjang yang hanya diisi oleh suara air dituang. Diam-diam Nadia pun mencuri lirik. Ada yang sedikit berbeda. Biasanya, Ariya selalu bertanya sudah makan atau belum, di jalan macet tidak, atau apakah hari ini berjalan baik-baik saja? Namun, kali ini tidak. Ariya diam saja. Atau lebih tepatnya, mendiamkan Nadia.

"Ya ...." Nadia berdeham pelan. Ditaruhnya gelas di atas pantri dengan gerakan hati-hati.

"Hm?"

"Yang kemaren itu ... sorry. I didn't mean to hurt you."

Ariya menatap Nadia selama sekian detik. Dia lalu mengangguk pelan. "Never mind. It's not a big deal."

"Really? Tapi kenapa kamu jutek?" tembak Nadia blak-blakan. Dia lalu berjinjit membuka lemari gantung, guna mengambil satu sachet chamomile tea.

"Ngantuk banget asli. Udah gak konsen."

"Ya udah, tidur duluan gih. Ngobrolnya besok lagi."

Ariya mengangguk sembari mengapit laptop di lengan. Dia lalu turun dari stool dan bersiap melangkah. Gerakannya baru berhenti ketika Nadia yang sedang menyeduh teh keburu bicara lagi.

"Ya, besok aku puncak ovulasi. Tapi ada acara kantor sampe malem."

"So? How?"

"Subuh ya."

"Oke. Nanti bangunin aja. Atau pasang alarm. Kalau gitu kamu juga jangan tidur kemaleman. Nanti besok malah ngantuk," ujar Ariya sambil berlalu.

"Iya."

Sepeninggal Ariya, Nadia membawa cangkir teh ke ruang tengah. Masih dalam balutan pakaian kantor, dilesakkannya tubuh di sofa dengan nyaman. Sementara itu pandangannya menancap pada figura yang memajang foto pernikahan.

Sejenis perasaan hampa tiba-tiba menerpa Nadia. Makin ke sini, hubungan suami istri yang seharusnya sakral dan menyenangkan berubah menjadi sekadar kewajiban. Sejujurnya, Nadia sudah tidak bisa lagi mereguk kenikmatan. Di sepanjang ritual mereka, yang terpikirkan hanyalah bagaimana caranya agar berhasil punya anak.

Nadia mendesah jengah. Dipandanginya cangkir teh di genggaman yang masih mengepulkan uap tipis. Tanpa dia sadari jika perlahan-lahan air itu membentuk pusaran. Awalnya hanya setitik, kemudian semakin besar dengan bentuk seperti angin puting beliung mini yang terperangkap di cangkir.

Nadia pun seperti terhipnotis lebih dalam dan dalam lagi.

***

Behind Happily Ever After [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang