Behind The Scene 10: Buyar

265 33 0
                                    

"Kamu apakan cucuku?!" Jeritan panik dari ruang tengah membuat Risti tersentak kaget.

Sosok Oma kemudian muncul dengan mata membeliak ngeri. "Astaga Tuhaaan! Itu darah! Mata Gavin berdarah. Kamu apakan Gavin? Kamu apakan cucuku sampe gini?!" Oma berjongkok susah payah dan merebut Gavin ke pangkuannya. Sementara raungan tangis anak itu terdengar semakin kencang.

Jantung Risti yang sejak tadi bertalu-talu pun, kini seakan mencelus jatuh ke lantai. Apalagi ketika noda merah dari mata Gavin nampak terus mengalir hingga menetes ke lantai.

"Ta-tadi Gavin kayaknya kepeleset dari pikler. Saya la--"

"Kayaknya?" Oma menekankan kata itu seraya mendelik garang. "Berarti tadi kamu tinggalin cucuku main sendirian? Bisa-bisanya ya kamu!"

"Bu-bukan gitu, Maks--"

"Anaaaahh! Anaaahh! Sini, Nah! Anaaaahh!" teriak Oma panik.

Dengan lap yang tersampir di pundak, Bi Anah terbirit-birit datang. Bi Anah kemudian memekik tertahan sambil menutup mulut. "Gavin kenapa, Oma? Berdarah gitu ...."

Oma hanya menggeleng cepat. "Panggil suami kamu, Nah. Panggil si Sobri. Sopirin ke rumah sakit sekarang!" perintahya. "Sekalian ambil HP saya juga di kamar. Saya mau telpon Tio."

"Bi-biar Risti yang setirin ke rumah sakit, Oma." Risti beringsut, tetapi hardikan Oma kemudian membuatnya langsung membeku lagi.

"Ndak usah! Nanti yang ada kamu bikin saya celaka juga di jalan!" Tatapan Oma berkilat marah. Didekapnya Gavin yang masih menangis kencang itu dengan gestur melindungi. Seolah-olah, Risti adalah penjahat yang siap menerjang.

"Maaf. Ta-tadi Risti cuma terima telepon sebentar terus Gavinnya--"

"Intinya itu kamu lalai. Gak becus jaga anak. Mentang-mentang bukan anak kandung terus asal-asalan." Nada bicara Oma berapi-api oleh kobaran emosi. "Gimana kalau mata cucuku kenapa-kenapa? Gimana kalau cucuku sampai buta?!"

"Maaf. Maafin Risti. Maafin Mama Risti ya Gavin ...." Akhirnya, hanya kalimat lirih itulah yang sanggup meluncur dari bibir Risti.
Kedua tangannya gemetaran dan saling meremas.

Semua yang terjadi setelah itu lalu seperti tayangan iklan pendek dengan kelebat cepat. Tahu-tahu Oma sudah menelepon Tio. Tahu-tahu Tio yang katanya memang sudah dekat rumah kemudian datang. Tahu-tahu Gavin hendak dibopong oleh Tio, sementara Bi Anah, Pak Sobri, dan Oma mengelilingi.

"Mas, maaf. Ini salah aku yang lalai jaga Gavin. Tapi aku beneran gak sengaja." Risti tahu ini bukan saat yang tepat untuk meluruskan. Apalagi membela diri. Namun, dorongan insting membuatnya spontan bangkit dan mendekati Tio.

Tio menoleh sebentar. Sorot matanya menyiratkan kecemasan. Dia pun menggeleng bingung. Lantas alih-alih menjawab, dibopongnya Gavin untuk segera pergi dengan langkah besar-besar. Oma, Pak Sobri, dan Bi Anah langsung mengekori.

Risti langsung terduduk lemas di lantai ruang tengah. Dipandanginya tempat kejadian tadi dengan tatapan kosong.

Rasa bersalah, takut, dan cemas kemudian mengaduk-aduk dada Risti hingga sesak. Lelehan air matanya pun kian menderas.

Kepercayaan yang telah dia bangun susah payah kini runtuh seketika hanya karena sebuah kebodohan.

***

"Lhooo, kenapa to, Nduk? Matane kok bengkak?" Kedatangan Risti disambut oleh wajah khawatir Ibuk. Dibimbingnya sang anak agar segera duduk di sofa.

"Risti ... Risti udah bikin Gavin celaka," jawab Risti terbata-bata.

"Bikin celaka gimana, to? Coba cerita. Alon-alon ae, Nduk."

Behind Happily Ever After [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang