Behind The Scene 5: Selisih Paham

269 36 4
                                    

Ketika zaman pacaran dulu, Tami dan Frans pernah bertengkar hebat. Pemicu utamanya adalah masalah komunikasi. Frans yang sudah lulus duluan langsung diterima kerja, dengan penempatan di pabrik Karawang. Ritme kehidupan baru yang perlu banyak adaptasi membuatnya jadi jarang berkabar. Sementara Tami justru sedang berada di fase stress-gabut-sensitif akibat skripsi.

Cuek ketemu overthinking.

Waktu itu mereka pun sempat menjeda komunikasi selama beberapa hari. Sampai akhirnya Frans tiba-tiba muncul di suatu malam, membawa sekotak kue pukis. Dengan tampang lempengnya, dia bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Begitu datang langsung numpang ke kamar mandi, pinjam charger HP, lalu mengobrol santai dengan mendiang papanya Tami di teras. Tami sampai beralasan ingin makan nasgor depan kompleks demi bisa menyeret Frans bicara berdua.

Di perjalanan, barulah Tami menumpahkan segala unek-unek. Sementara Frans hanya mendengarkan dan berakhir dengan pertanyaan 'kamu maunya apa?'. Kesepakatan pun terbentuk. Setelahnya, mereka berbaikan.

Akan tetapi, semua berbeda ketika pertengkaran terjadi setelah menikah. Jeda komunikasi terjadi, tapi tetap saja ada momen berpapasan ketika suasana masih panas. Karena bagaimanapun, mereka tinggal serumah. Berbagi kasur yang sama pula.

Setelah insiden 'omongan pedas' kemarin, Tami dan Frans memang masih perang dingin. Kemarin malam Frans bahkan seperti sengaja pulang larut. Sedangkan Tami yang sudah rebahan di kasur gengsi kalau harus menyapa duluan. Akhirnya dia pun pura-pura tidur yang berakhir tidur betulan.

Lantas keesokan harinya alias tadi pagi, Tami kesiangan sehingga hanya fokus pada anak-anak. Seingatnya, Frans bersikap biasa saja meski jauh lebih pendiam. Frans sempat menceboki Flo, memakaikan Friska seragam, dan menyuapi Fina sebentar karena anak itu lagi-lagi susah makan. Frans juga tetap berpamitan singkat sebelum berangkat.

Hanya saja bagi Tami, masalah masih menggantung bila belum dibahas tuntas. Rasanya ada unek-unek yang mengganjal dalam dada. Hatinya berdenyut nyeri bila teringat pada ucapan Frans kemarin siang.

"Jam segini belum pulang, kan ...," gerutu Tami sembari membilas piring-piring kotor di sink. Waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Anak-anak sudah tidur sejak setengah jam lalu, tapi Frans belum juga kelihatan.

"Mana gak ada inisiatif minta maaf lagi ...." Spons diremas kuat hingga busanya semakin banyak. Pelampiasan rasa kesal yang murah meriah sekaligus bermanfaat.

Helaan napas Tami kemudian lolos. Diliriknya sebentar meja makan dengan bibir mengerucut. Sisa nasi yang sudah dihangatkan, semangkuk sup ayam dan tahu goreng sudah tertata rapi. Sekesal apa pun Tami pada Frans, dia tidak pernah melupakan kewajibannya sebagai istri. Apalagi untuk urusan perut. Karena yang namanya makan jelas tidak kenal istilah libur.

Panjang umurnya, karena berselang menit kemudian, deru motor yang khas terdengar. Disusul oleh derit gerbang dibuka. Tami seketika bimbang. Haruskah dia cepat-cepat masuk kamar dan menghindar seperti kemarin malam? Atau sekalian bertengkar mumpung anak-anak sudah tidur?

Tami masih berkutat dengan kebimbangannya sampai tidak sadar kalau Frans sudah tiba di dapur. Wajah lelaki itu menampakkan guratan lelah. Kemejanya yang digulung asal sebatas siku sudah keluar dari selipan pinggang.

"Ada pukis, nih," ujarnya pendek.

Ketika Tami melirik, sebuah kantong sudah mendarat di atas meja.

Behind Happily Ever After [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang