Behind The Scene 1: Beban Suami

1.4K 82 24
                                    

Senin dan kesiangan adalah kombinasi sempurna yang membuat pagi Tami jadi penuh huru-hara.

Sudah pukul enam tapi nasi belum matang. Saat akan masak lauk untuk sarapan dan bekal, ternyata gas habis. Padahal si sulung Friska terus merengek ingin telur orak-arik pakai irisan tomat. Adiknya, Fina, bersikukuh ingin telur ceplok. Frans yang buru-buru akan berangkat kerja sampai terpaksa sarapan roti sisa anak-anak kemarin.

Apes.

Semua kekacauan ini akibat Tami bablas ketiduran setelah menyusui bayinya yang kembar tadi subuh.

"Pa, bisa beliin gas dulu gak?" pinta Tami sambil berjongkok mencopot regulator. Dia lalu menghela napas panjang saat terdengar suara tangis bersahutan dari kamar. Si kembar Fio dan Flo malah bangun di saat yang tidak tepat.

"Gak bisa. Saya harus berangkat sekarang juga. Senin kereta pasti penuh," jawab Frans singkat, seraya meraih jaket dan kunci motor. Karena pabrik tempat bekerjanya berlokasi di Jakarta Timur, dia memang harus naik KRL.

"Duh, gimana dong. Mana si kembar udah bangun--Kak Friskaaaaa jangan sambil main air nanti masuk angin. Ya ampun Kak Finaaa, itu tomat buat dimakan, bukan dibuang-buang."

Oktaf suara Tami naik. Friska yang disuruh mandi sendiri malah main air sampai cipratannya menggenang di depan pintu. Fina menusuk-nusuk tomat dengan garpu hingga isinya tercecer di lantai. Sementara tangisan si kembar makin melengking tidak sabaran.

Tami pun buru-buru melesat ke kamar. Dibuatkannya dua botol susu secepat kilat agar Flo dan Fio anteng dulu. Demi segala kewarasan jiwa, si kembar memang bergantian antara sufor dan ASI. Terutama untuk saat-saat mendesak seperti ini.

"GoFood aja kalau gitu," saran Frans kemudian.

"Mahal, Pa. Ongkos kirimnya itu, lho. Belum ditambah biaya layanan endesbre-endesbre. Tiga porsi bubur aja bisa-bisa lebih dari lima puluh ribu."

"Ya mau gimana lagi."

Iya juga, sih.

"Saya berangkat dulu." Dari ruang tamu yang jaraknya hanya sejengkal dari kamar, Frans lalu mengangkat tangan singkat tanda berpamitan.

"Hati-hati. Jangan lupa nanti sarapan," pesan Tami yang kini sedang mengganti popok si kembar.

"Iya."

Tidak ada adegan kecup-kecup dahi apalagi peluk-peluk dulu. Frans Wiryawan memang bukan tipe suami romantis yang pandai bersikap manis. Dia bahkan irit bicara. Sangat berkebalikan dengan Tami yang menjadikan ngobrol sebagai salah satu hobi utama. Bila mereka sedang berkomunikasi pun, seringnya terlihat satu arah saja. Tami yang berceloteh tentang banyak hal dengan menggebu-gebu, sementara Frans hanya menanggapi dengan sebaris kata.

Kadang, Tami bingung kenapa karakter pria dingin konon sangat digemari para pecinta novel. Kuping adem? Memang. Berkharisma? Mungkin. Tidak banyak protes? Bisa jadi. Akan tetapi, bayangkan saja bila tiap hari seperti mengobrol dengan kelomang. Harus ditiup dulu baru keluar dari cangkang!

"Kak Friska, bisa tolong Mama belikan nasi uduk ke Bu Eko yang di deket warung gak?" Daripada anak-anak melewatkan sarapan, Tami akhirnya meminta tolong pada Friska.

Bocah empat setengah tahun yang akhirnya beres mandi itu menurut. Setelah dibekali selembar dua puluh ribuan, dia segera berangkat.

Tami pikir, semua masalah sudah menemukan solusi. Sampai ketika Friska datang sekian menit kemudian sambil membawa sekotak susu UHT cokelat.

"Nasi uduknya mana?"

"Nggak Kakak beli. Susu aja."

"Friskaaa .... Ya Tuhaaaannn." Tami menggertakkan gigi demi menahan kesal. Matanya dipejamkan sementara tangan mengepal.

"Susu kan bagus untuk kesehatan. Kok Mama perem-perem?"

"Iya tapi kaaaaannn Kaaaakkkkk ....
Terus kembaliannya mana?"

"Enggg .... Kakak tadi langsung pergi."

"Ah, udah, lah. Mama aja yang beli biar cepet. Kamu jagain adik-adik di rumah ya."

"Kakak ikut, Mama ...."

"Fina juga au ituuttt!!! Ituuuttt!!!" Fina yang masih pakai piyama Frozen meloncat-loncat antusias. Rambut berantakannya ikut bergoyang-goyang.

Dipikir mau tamasya.

Dan, begitulah, Tami berakhir dengan membawa empat putrinya turut serta. Fio pakai gendongan, Flo pakai stroller, sementara Fina yang masih dua tahun setengah dituntun oleh Friska karena takut lari kemana-mana.

"Mau ke mana, nih, Bu Tami? Tumben pagi-pagi udah bawa rombongan," sapa Bu Jamil yang sedang menjemur kasur di depan rumahnya.

Kawasan tempat Tami tinggal memang termasuk pemukiman lawas. Blok-blok depan yang dilalui jalan utama paling ramai karena bisa dilalui mobil dari dua arah. Banyak juga rumah yang sudah dialihfungsikan sebagai tempat usaha. Sementara blok Tami sendiri terletak paling belakang. Mayoritas bangunannya terlihat sederhana, dengan jalan depan sempit yang hanya muat satu mobil. Pagarnya pendek-pendek. Pemandangan jemuran dan motor yang diparkir di teras masih terbilang lumrah.

"Beli nasi uduk, Bu." Tami tersenyum.

"Eh, anu lho, Bu Tami ...." Bu Jamil mengintip bolak-balik ke gendongan dan stroller. "Si kembar masih tipis ya rambutnya. Kasian ih anak cewek nanti dikira cowok. Pakein itu ... kemiri. Rajin dibalur." Tangannya membuat gerakan mengelus-elus kepala.

"Udah, Bu, dari baru lahir. Tapi belum ngefek nih kayaknya. Kalau kakak-kakaknya, pas lewat setaun baru mulai tumbuh agak banyakan. Mungkin adiknya juga sama."

"Waktu hamil Bu Tami males makan bubur kacang ijo kali ya? Kalau saya tuh tiap hamil rajin makan bubur kacang ijo. Rambut anak-anak saya jadinya lebat semua."

Tami hanya mengangguk disertai cengiran kering. Please, mau makan bubur kacang hijau sekilo sehari pun, kalau genetik dari orang tuanya rambut tipis ya mau bagaimana.

"Mari, Bu Jamil. Takut kesiangan ini. Si kakak harus berangkat setengah delapan." Tami mengelak halus.

Namun, baru saja lepas dari kandang buaya, dia rupanya harus masuk ke kandang singa. Di tukang nasi uduk, mayoritas antreannya adalah ibu-ibu se-blok dan tetangga blok.

"Ya ampuuun Bu Tami, kok gendongnya gitu, sih? Nanti ngangkang loh anaknya kasian." Komentar pertama, karena Tami menggendong Fio pake metode M shape.

"Kata dokter justru posisi ini yang bagus, Bu Bagas. Sesuai posisi alaminya. Nih, anaknya aja nyaman gini," sanggah Tami sopan, sambil mencuri kecupan pada pucuk kepala Fio yang tertidur di gendongan.

Bu Bagas yang usianya di pertengahan kepala empat itu menggeleng gusar. "Jangan terlalu percaya sama dokter lah, Bu Tami. Kalau ada apa-apa sama anak kita, mana mau mereka tanggung jawab."

Belum sempat Tami menanggapi lagi, ibu-ibu yang lain datang. Kali ini tetangga dekat yang hanya selang dua rumah. "Eehh, ada Bu Tami. Aduh, aduh dibawa semua. Friska, Fina, si kembar juga."

"Hehe, iya, Bu Erna. Pada pengen ngikut." Tami agak lega karena Bu Erna terbilang seusia dengannya. Pasti pola pikir dan cara mengasuhnya tidak terlalu beda jauh.

Namun, rupanya Tami salah.

"Kapan atuh nambah lagi yang jagoan Bu Tami?"

"Iya ya, anak Bu Tami empat cewek semua. Nanti udah tua nggak ada yang jagain, lho, Bu."

Errr. Memangnya membesarkan anak manusia semudah membesarkan anak ayam?

Lagi pula, sudah bukan zamannya lagi banyak anak banyak rejeki. Sekarang itu zamannya: banyak anak harus banyak investasi. Ada inflasi yang terus membayangi. Apa-apa serba mahal. Tiap tahun biaya sekolah mengalami kenaikan.

Sayangnya Tami yang tidak berpenghasilan, tidak bisa membantu keuangan. Kasihan Frans. Semoga saja dia tidak berpikir bahwa istrinya adalah beban.

***

Behind Happily Ever After [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang