Behind The Scene 7: Peran Ibu Sungguhan

217 35 3
                                    

Sejak awal menerima pinangan Tio, berbagai ketakutan terus membayangi Risti. Bagaimana rasanya jadi ibu sambung? Bagaimana rasanya tiba-tiba mengurus anak dalam kondisi tidak punya pengalaman? Bagaimana jika sikapnya salah dan malah terkesan seperti ibu tiri jahat di film-film?

Ternyata pada kenyataannya, semua itu belum pernah benar-benar kejadian.

Sejak Risti dan Tio menikah, Gavin seperti sengaja diboyong Oma agar tinggal beda rumah. Lantas ketika Oma harus pindah sementara ke rumah Tio akibat renovasi pun, Risti tidak bisa terlibat sepenuhnya dalam pengasuhan Gavin. Ada Mbak Esti yang mengurus keperluan anak itu sehari-hari. Sedangkan Oma bertugas sebagai auditor yang terus mengawasi.

Kesempatan itu baru datang sekarang.

Tepat sehari setelah Oma berangkat ke Hongkong, Mbak Esti tiba-tiba mendapat telepon dari adiknya di kampung halaman. Ibu mereka punya benjolan di punggung yang semakin mengganggu hingga harus segera dioperasi. Mbak Esti pun izin cuti satu minggu. Besok subuhnya dia langsung berangkat ke Yogyakarta pakai kereta.

Oma liburan. Mbak Esti mudik. Bi Anah fokus ke pekerjaan rumah. Tio sedang sibuk-sibuknya dengan cabang toserba baru. Itu artinya Ristilah yang kini bertugas mengasuh Gavin. Selama satu minggu ke depan, urusan Sweet Bites dititipkannya pada Mega, karyawan kepercayaan yang sudah mendampingi sejak zaman masih di kios sepetak.

Perasaan excited karena akhirnya mendapat kesempatan sekaligus perasaan takut jika nanti tidak bisa, bercampur seimbang di benak Risti. Paginya yang biasa tertata kini sedikit berbeda.

"Pagiii Gavin," sapa Risti ceria. Disibaknya lembut selimut yang masih membuntal tubuh Gavin. Sejak beberapa saat lalu anak itu memang sudah menggeliat-geliat tapi tidak juga duduk bangun.

"Eeehhh, eeehhh." Gavin merengek tidak jelas sambil menunjuk-nunjuk ke sembarang arah.

"Gavin nyari Mbak Esti ya? Mbak Estinya mudik tadi subuh. Jadi, nanti Gavin sama Mama Risti dulu yaaa."

"Eeehhh, eeehhh."

"Kenapa sayang? Mau apa?"

"Eeehhh, eeehhh."

"Ini?" Risti menunjuk botol minum.

Gavin menggeleng sambil terus merengek.

"Ini?" Risti menunjuk mobil-mobilan di atas nakas, tapi jawabannya tetap berupa gelengan.

"Apa, dong?"

Risti menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. Dia mulai kebingungan. "Coba bilang pelan-pelan ke Mama Risti, Gavin-nya mau apa?"

"Huwaaaa!"

Drama babak satu resmi dimulai sepagi ini. Tangis Gavin pecah tanpa sebab yang jelas. Tepukan lembut dan bujukan Risti tidak mempan. Coba diangkat untuk digendong malah meronta-ronta. Pada saat itu, tangan Risti meraba sesuatu yang lembab dan basah. Rupanya Gavin ngompol sampai tembus di kasur dan selimut. Dia pasti merasa tidak nyaman tapi belum bisa mengungkapkan.

Dengan sabar, Risti lalu membujuk Gavin untuk mandi biar badannya bersih dan tidak gatal. Namun ternyata sulit. Dengan piyama yang basah dan bau pesing, Gavin malah menangis sambil meracau di karpet. Suara jeritannya bahkan berhasil memancing Tio datang.

Alih-alih langsung bertindak, Tio mengamati anaknya itu sebentar sambil berdiri di dekat pintu. Setelah beberapa saat, barulah kilatan matanya seperti menemukan ide brilian.

"Kita mandiin truk yuk!" ajak Tio setelah mengambil salah satu mobil-mobilan di atas nakas.

Syukurlah sejak menjalani terapi, sedikit banyak Gavin sudah mulai paham bahasa verbal. Anak itu akhirnya mengangguk dan tidak melawan ketika dituntun ayahnya ke kamar mandi.

"Maaf ya, Mas, kamu sampe harus turun tangan. Baju kamu jadi pada basah tuh padahal udah siap mau berangkat," ujar Risti penuh sesal, begitu Tio selesai memandikan Gavin.

Celana chino Tio memang basah sampai ke bagian paha. Polo shirt-nya juga kena cipratan di beberapa bagian.

"Santai aja, Sayang. Baju basah bisa ganti lagi. Mumpung aku juga masih ada di sini."

"Ya udah, biar aku yang pakein bajunya Gavin. Kamu sarapan aja duluan, Mas. Bukannya pagi ini mau ketemu sama orang bank buat pemasangan mesin ATM itu?"

"Ah, iya. Hampir lupa." Tio menepuk jidat. "Ya udah aku turun duluan. Nanti kalian nyusul."

"Oke."

Sepeninggal Tio, Risti melongok sebentar pada Gavin yang sedang asyik main mobil-mobilan di karpet. Handuk masih membebat tubuhnya sampai batas dada. Berarti semua sudah aman terkendali sekarang.

Lemari pakaian pun dibuka untuk mencari baju sehari-hari. Namun, karena belum terbiasa, Risti sempat kebingungan karena tidak hapal posisi baju-baju disimpan. Kaus dan celana pendek sudah ketemu meski tidak matching. Tinggal kaus dan celana dalam yang entah dimana. Belum lagi keberadaan minyak telon, sisir, dan perintilan lain yang lupa ditanyakan pada Mbak Esti tadi malam.

"Gavin tau gak minyak telon disimpan di mana sama Mbak Esti?" tanya Risti, meski sebenarnya tahu tidak akan mendapat jawaban.

Diliriknya lagi Gavin yang masih berada di posisi tadi. Yang berbeda, handuknya kini melorot dan sudah tercecer di lantai. Selain itu tubuh Gavin gemetaran dengan gigi bergemeletuk samar. Astaga! Gavin sepertinya kedinginan karena Risti kurang gesit menyiapkan pakaian.

"Ya ampun, maafin Mama ya Gavin. Tadi Mama malah angkat dulu seprai dan selimut. Padahal harusnya siapin dulu baju pas Gavin mandi."

Setengah panik, Risti segera memakaikan Gavin baju dan celana meski tanpa dalaman. AC langsung dimatikan. Jendela dibuka lebar agar sorot matahari masuk dan bisa menghangatkan ruangan. Sementara minyak telon belum juga kunjung ditemukan.

Bodoh. Bodoh. Bodoh.

Baru hari pertama saja Risti sudah melakukan kesalahan fatal.

***

Behind Happily Ever After [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang