Behind The Scene 17: Mengkaji Ulang

251 36 2
                                    

Pukul tiga dini hari, Nadia terbangun di kamar tamu rumahnya sendiri.

Saking senangnya, Nadia bahkan skip kebiasaan 'mengumpulkan nyawa dulu' selama sekian menit. Setengah melompat dia turun dari tempat tidur. Langkahnya langsung bergegas menuju kamar utama di lantai atas.

Begitu kenop pintu dibuka, suhu ruangan yang baginya terlalu hangat langsung membelai kulit. Di atas spring bed yang besar dan empuk itu, Ariya sedang terlelap tanpa selimut. Baju tidurnya pun hanya kaus dan celana rumahan pendek.

Nadia sontak menyeringai jahil. Tangannya meraih remote AC dan menurunkan suhunya jadi 17°. Dugaannya tepat. Hanya selang beberapa saat, Ariya langsung meringkuk seperti janin. Tangannya menggapai-gapai selimut sambil bergumam tidak jelas.

Kepalang jahil, Nadia sengaja berdeham agak kencang.

Seketika itu juga, mata Ariya yang tadinya lengket langsung terbuka lebar. "Sayang ... sini," panggilnya dengan suara berat yang agak serak. Sebelah tangannya menepuk-nepuk sisi kasur kosong. Lantas saat Nadia tidak juga bergeming, raut itu berubah memohon. "Please ...."

Nadia akhirnya mendekat seraya tertawa kecil. Dia pun memekik saat Ariya tidak sabaran menariknya ke dalam dekapan. Aroma cedarwood samar dari tubuh itu memberikan kesan warm dan macho dalam waktu bersamaan. Nadia rindu sekali menghirupnya dalam-dalam sambil cuddling begini.

"Please, tidur di sini lagi ya. Jangan pisah-pisah mulu. Aku kesepian," bisik Ariya. Dirangkumnya pelan kedua pipi sang istri disertai usapan-usapan lembut.

"So sorry, I had some problems. Konteksnya di luar hubungan kita ya. Tapi sekarang, semuanya udah clear."

"At your office?"

"Ermmm ... salah satunya."

"Berarti kamu gak akan ngehindar dari aku lagi, kan?" Untungnya Ariya tidak mendesak minta cerita. Dia lebih fokus pada hubungan mereka.

"Emang beberapa hari kemarin aku ngehindar?"

"Sangat. Sampe pusing harus gimana."

Nadia mengulum senyum. Dalam hati dia berterima kasih pada Risti yang pasti mati-matian menjaga batasan. "Kasian banget sih suami aku."

"Iya, lah. Cium dulu makanya." Ariya mencondongkan pipi kiri. Kelopak matanya yang sengaja dipejamkan bergerak-gerak saat menunggu. Sudut bibirnya berkedut menahan senyum. Helaian rambutnya yang berantakan jatuh menutupi dahi menambah kesan polos alami.

Nadia menikmati pemandangan itu selama beberapa saat.

Dalam beberapa kesempatan, Ariya yang dewasa dan romantis memang bisa berubah jadi super cute seperti anak-anak. Nadia jadi membayangkan di rumah mereka ada Ariya versi sachet. Pastilah lucu dan sangat menggemaskan.

"Ya ...," panggil Nadia setelah mengabulkan permintaan tadi dengan sebuah kecupan singkat.

"Hm?"

"Punya anak itu ... ternyata gak cuma manis-manis doang ya. Banyak capenya juga."

"Sure. Everything has two sides." Tatapan Ariya yang tadinya sayu oleh gairah, perlahan melembut. "Kenapa tiba-tiba ngomongin ini, hm? Kepikiran lagi?"

Nadia mengangguk samar. "Tau gak Ya, kata Inge, kalau anak cowok itu energinya gak abis-abis. Rusuh. Semisal mereka punya saudara, kadang berantemnya fisik. Nah, kalau anak cewek ngomongnya yang gak abis-abis. Cerewet banget. Kalau berantem, pake mulut. Berisik.

Dan ternyata, setelah aku pikir-pikir lagi, kayaknya belakangan ini aku terlalu ngebet pengen punya anak. Sampai lupa nyiapin mental buat jadi orang tua. Sampai lupa menikmati momen-momen kita. Padahal, masih banyak juga dari diri aku yang harus diubah. Kayak misalnya, aku masih gampang kepancing emosi." Wajah Inggrid langsung terbayang. Tekad Nadia makin bulat untuk meminta maaf pada supervisornya itu saat ngantor lagi nanti.

Behind Happily Ever After [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang