Behind The Scene 9 : Bom Waktu

241 37 0
                                    

Kaki kanan Nadia menekan pedal gas lebih dalam. Sementara matanya terus fokus pada jalanan. Kecepatan yang biasa 60 km/jam di tol dalam kota, kali ini sengaja dinaikkan jadi 80 km/jam.

Ngebut sama dengan konsentrasi. Konsentrasi sama dengan memusatkan pikiran hanya ke satu hal. Memusatkan pikiran sama dengan melupakan segala sesuatu yang sekiranya tidak perlu.

Setidaknya, upaya itu cukup berhasil sampai laju mobil terpaksa harus melambat. Keluar dari tol, lalu lintas mulai padat karena memasuki jam berangkat kerja. Jalanan diisi oleh berbagai jenis kendaraan baik pribadi maupun umum. Sementara trotoar mulai ramai oleh pejalan kaki dan beberapa pedagang kaki lima.

Belum lagi, ketika Nadia terjebak di lampu merah. Dengan jengah dia membenamkan wajah di setir. Jeda tunggu ini membuat pikirannya mau tak mau jadi berpencar-pencar lagi. Terutama, pada pertengkarannya dengan Ariya tadi malam. Dialog demi dialog mereka lantas berkelebat lancar bagai running text pada papan iklan.

"For real, aku nganterin Carol semata-mata demi kemanusiaan. Udah terlalu malem dan gerimis. Rawan kalau dia naik transportasi umum."

"Tapi kenapa harus kamu? Emang gak ada peserta lain atau pelatih lain yang sama-sama orang Bogor?" bantah Nadia sengit.

"Gak ada, Sayang. Gak ada. Orang Bogor cuma kami berdua."

"Terus kenapa dia gak minta dijemput keluarganya? Atau gebetannya? Atau siapalah itu."

"Bakal lebih malem lagi. Gak efektif. Kamu tentu lebih paham lah soal efisiensi waktu," jelas Ariya sabar. "Lagian aku juga kan udah chat kamu dulu kemarin. Minta izin."

"Aku lagi nyetir jadi gak baca. Coba kalo aku baca, pasti gak akan aku kasih izin."

"Sebegitu sebelnya kamu sama Carol? Kenapa sih sebenernya?"

"Listen!" Waktu itu Nadia menatap Ariya serius. "Sebagai orang dewasa kamu tentu ngeh kalau Carol itu terus berusaha mepetin kamu. Dengan berbagai cara."

Ariya menggeleng seraya mengangkat bahu. "Sikap dia sama ke semua cowok. Kalau dibilang tebar pesona, ya berarti rata."

"Hah? What a fudge!"

"Udah lah. Apa sih yang sebenernya kamu takutin? Aku selingkuh? Kalau bener aku niat selingkuh, gak akan bilang-bilang ke kamu pas mau anterin Carol kali."

"Orang selingkuh zaman sekarang itu smooth. Akalnya banyak."

"Nad, please, can you stop? Just ... enough! Jangan bikin hal-hal gini jadi sumber masalah gede. Sebagai orang dewasa juga kamu juga tentu paham tentang komitmen. Dan, gimana aku yang terus berusaha jaga itu," tandas Ariya tegas. Tatapannya yang biasa lembut kini berkilat-kilat.

Dalam hati Nadia sebenarnya mengakui, kalau sikapnya terlalu kekanak-kanakan. Cemburu atau curigaan atau ketakutan atau apalah itu ... tapi berlebihan. Padahal secara usia dia sudah berada di fase matang. Seharusnya bisa mengolah logika daripada terus mengedepankan perasaan.

Tapi kan ... rasa itu bisa aja jadi ada karena terbiasa.

Tiiinnn ... Tiiinnn ....

Suara klakson panjang dari mobil-mobil di belakang membuat Nadia mendongak kaget. Rupanya lampu lalu lintas sudah berganti menjadi hijau, tapi dia masih belum juga jalan.

"Astagaaa .... Kenapa sih gueee?" umpat Nadia sambil buru-buru menurunkan rem tangan dan menginjak kembali pedal gas.

Mobilnya pun meluncur gesit menuju kawasan PIK.

Behind Happily Ever After [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang