Behind The Scene 15 : New Life 4 (Risti)

269 33 5
                                    

It's a friday.

Atmosfer kantor Nadia terasa lebih santai. Ketegangan di wajah orang-orang mengendur. Pekerjaan mereka jalani dengan antusias. Senyuman dan canda tawa pun terus merebak di mana-mana.

Bahkan Inggrid yang biasa memasang wajah serius sepanjang waktu itu, terlihat lebih rileks. Apalagi Inge yang sehari-hari memang punya bakat berisik. Di hari Jumat ternyata energinya otomatis meningkat. Baru pukul sepuluh saja sudah kedua kalinya dia mendatangi meja Nadia. Tadi pagi bawa camilan keripik kentang sambil random membicarakan konser K-Pop. Sedangkan kali ini dia membawa dua cup minuman yang masih dihiasi bulir-bulir embun segar.

"Coba sih everyday is friday ya. Betah deh gue kerja biar kata target naik," celotehnya sambil mendaratkan bokong di kursi. Satu cup minuman berlabel merah lalu digesernya ke depan. "Buat lo."

"Apa, nih?"

"Jus jambu. Katanya kan gak ngopi lagi."

"Wah, thank you banget ya, Inge."

"Most welcome, darling."

"Nanti gantian aku traktir ya."

"Santai elah. Kaku amat lo kayak sapu ijuk baru." Inge mengerling cuek.

Risti (dalam sosok Nadia) jadi spontan tertawa geli.

Seraya menyedot jusnya sedikit demi sedikit, dia lantas teringat pada sesuatu. Kondisi PCOS pastinya mengharuskan Nadia mengkonsumsi obat-obatan rutin atau vitamin tertentu. Namun sayangnya, Risti terlalu fokus pada diri sendiri hingga melewatkan hal sepenting itu. Duh. Dia jadi merasa sangat bersalah pada tubuh sahabatnya.

"Lo mau lunch dimana, beb?" tanya Inge lagi. Tangannya iseng menarik buku agenda milik Nadia yang halamannya terbuka. Beberapa sketsa donat lucu yang tergores di sana membuat mata perempuan itu melebar sejenak.

"Emmm ... belum tau, sih."

"Deket-deket sini ada tempat baru lho. Like ... artisan dimsum gitu. Kata si Fanny sih cozy and instagramable ya. Worth the price lah. Cobain yuk."

Risti (dalam sosok Nadia) termenung sejenak. Tadinya dia berencana akan curi-curi waktu mengunjungi Mbak Restu pada saat jam makan siang. Namun apesnya, tadi pagi mobil Nadia tiba-tiba bermasalah. Dengan terpaksa Risti pun menerima tawaran Ariya yang bersikeras ingin mengantarnya. Meskipun di sepanjang perjalanan Risti lebih banyak menatap jalanan atau pura-pura sibuk dengan handphone, hanya agar mereka tidak terlibat banyak percakapan.

"Mmm ... oke, deh," putus Risti akhirnya.

"Yeaaayy!" Inge bertepuk tangan girang. Rambut ombre-nya yang cantik itu ikut bergoyang-goyang. "Jam sebelasan gue jemput ya. Biar lift-nya gak gitu penuh."

"Boleh."

***

Dilihat dari luar, konsep restoran dimsum yang Inge maksud agak mirip dengan Chinatown. Tulisan-tulisan Mandarin, ukiran-ukiran awan, dan gambar naga terukir di dindingnya. Sementara dominasi warna red-gold membuat suasana terlihat meriah.

Mungkin karena terbilang baru, tempat itu ternyata belum terlalu ramai. Masih banyak meja kosong sehingga mereka bisa bebas memilih duduk di mana. Waitress-nya pun cekatan mengantarkan menu, lengkap dengan seulas senyum ramah yang jadi nilai tambah.

"Look at this. Lucuuk." Inge menunjuk salah satu gambar pada buku menu. Dimsum berwarna light coral yang dilapisi serbuk berwarna emas itu memang terlihat sangat cantik.

"Mbak, ini merahnya pake apa ya?" Risti (dalam sosok Nadia) menoleh penasaran pada waitress yang sedang membersihkan meja sebelah.

"Pewarna alami dari bunga rosela, Kak."

Behind Happily Ever After [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang