Behind The Scene 13 : New Life 2(Risti)

270 32 0
                                    

Seharian ini Risti berusaha keras meraba-raba alur pekerjaan Nadia. Yang jadi masalah utama adalah: kemampuannya setara anak baru tapi punya tanggung jawab penuh. Tanpa pendampingan. Tanpa diajari. Lebih apesnya, ada banyak anak buah yang menunggu instruksi.

Ditambah lagi, ritme pekerjaan Nadia ternyata bikin ngos-ngosan. Semua hal harus dilakukan serba cepat tapi juga harus super teliti. Tidak ada waktu untuk bengong sebentar mencari inspirasi. Berbeda seratus delapan puluh derajat bila dibandingkan dengan keseharian Risti di Sweet Bites yang cenderung fleksibel. Bebas berkreasi dengan imajinasi. Dikelilingi oleh suasana rileks yang menyenangkan.

Omong-omong tentang poin terakhir, Risti merasa perlakuan rekan-rekan kerja Nadia agak ganjil. Bukan segan karena hormat, tapi lebih ke menjaga jarak karena ... takut?

Risti sampai mengonfirmasi hal ini pada Inge yang dirasa bisa memberinya informasi netral.

"Orang-orang bersikap aneh ke lo? Hmmm ... bisa jadi karena masalah lo sama Mbak Inggrid kemarin, sih. Ya kan netizen mana paham konteks, beb. Taunya cuma: sebagai atasan lo gak bijak karena maki-maki Inggrid di depan umum. Padahal kan lo bilang Inggrid yang mancing duluan nyinggung-nyinggung masalah pribadi.

"Mungkin kemarin lo kebawa emosi juga karena suasana lagi panas. Kalau kata gue nih, gimana pun kalian kan tim ya. Nanti kalau lo udah adem, mending diajak ngobrol tuh si Mbak Inggrid dari hati ke hati. Biar clear. Kalo urusan pandangan orang sih biarin aja lah. Nanti juga mereka bosen sendiri. Yang penting kan lo sama Inggridnya."

Begitulah penjelasan Inge, yang kalau dirangkai-rangkai memang masuk akal.

Di satu sisi Risti ingin segera melakukan apa yang Inge sarankan, tapi sisi lain dia juga takut salah langkah. Siapa tahu Nadia punya pemikiran sendiri tentang pemecahan masalah ini. Jadi memang, yang paling benar adalah semua harus kembali dulu ke posisinya semula.

Namun sayangnya, niat Risti untuk pulang teng-go digagalkan oleh acara kantor. Semua karyawan diharuskan stand by sampai akhir karena para petinggi juga hadir.

Duh Gusti!

"Nyampe Bogor bisa-bisa jam sepuluh lewat ini. Kalau aku balik ke rumah Mas Tio bakal dibukain pintu ndak ya?" Risti bermonolog pelan ketika langkahnya terayun menuju toilet lantai 25.

Jam menunjukkan pukul 20.55 saat host menutup acara. Tanpa membuang waktu Risti pun segera bersiap untuk pulang. Sayangnya, dia kebelet pipis dan toilet lantai 24 penuh karena acara diadakan di hall sana. Risti akhirnya memilih naik satu lantai agar bebas dari antrean.

Dugaannya ternyata tepat karena toilet lantai 25 lengang. Dengan leluasa Risti masuk ke bilik paling ujung. Bertepatan dengan itu juga, terdengarlah suara-suara dari luar. Ada yang datang tapi sedang sibuk bicara lewat telepon. 

"Duh, Li, udah berapa kali Ibu bilang? Kalau misal harus bawa apa ke sekolah, apalagi yang gak umum, kasi tau Ibu dari jauh dulu, deh." Orang itu sepertinya berhenti di depan wastafel. "Ya kalau kayak coklat, terigu, baking powder gituan sih ada di supermarket juga, Li. Tapi ini kan apaaa ... whippy cream, cinnamon powder, cream of tartar. Apa sih itu, Li? Seumur-umur Ibu gak pernah denger. Apalagi beli. Tadi Ibu googling, toko bahan kue sekitaran sini udah pada tutup. Kalau cari random ke Tanah Abang Ibu gak berani naik ojek jam segini."

Kalau ndak salah TBK yang sebelah resto Jepang itu buka sampe jam sepuluh malem, deh. Risti membatin sambil menekan tombol flush. Ingatannya terlempar pada deretan ruko di kawasan Kapuk Muara. Tempo hari, dia dan Nadia pernah makan siang di salah satu restoran sekitaran sana. Risti ingat betul, tepat di sebelah resto ada toko bahan kue yang sedang soft opening.

Bangunannya mungil dan tidak mencolok, tapi dalamnya ternyata lengkap sekali. Risti bahkan sempat belanja dan mengobrol dengan sang pemilik--seorang tante berusia enam puluhan. Mungkin si tante belum sempat mendaftarkan tokonya di google sampai sekarang.

"Bisa gak minta tolong temenmu, Li? Atau minta sedikit gitu ke mereka? Aduh. Tiap orang beda presentasi? Gimana, dong ya." Suara orang itu terdengar frustasi.

Setelah merapikan kembali pakaian, Risti keluar dari bilik toilet. Nalurinya mendorong untuk sedikit ikut campur. "Maaf Ibu, saya ndak sengaja denger, Ibu lagi urgent cari toko bahan kue?" tanyanya sopan.

Si penelepon yang tadi sedang menunduk depan wastafel mengangkat wajah. Detik itu juga Risti terkesiap. Ternyata ... Inggrid. Lewat pantulan cermin, tatapan mereka saling beradu sesaat.

"Oh, Mbak Inggrid, to. Maaf, Mbak, tadi saya ndak sengaja denger. Bukan maksud nguping. Tapi anu, saya tau toko bahan kue yang buka sampe jam sepuluh," jelas Risti takut-takut.

Inggrid terdiam selama beberapa saat, seperti sedang mempertimbangkan. "Dimana?" tanyanya pelan.

"Di ruko-ruko daerah Kapuk Muara. Daerah persisnya lupa. Nama rukonya juga lupa. Tapi kalau jalan ke sana dan liat langsung tempatnya saya masih hapal. Saya ... ummm ... saya antar gimana, Mbak?"

Inggrid berdecak samar. "Motif lo tuh apa, sih, Nad?"

"Oh, ndak kok, Mbak. Saya ndak punya motif khusus sama sekali." Risti (dalam sosok Nadia) spontan mengangkat tangan. "Saya cuma kebetulan tau tempat yang Mbak butuhkan. Tapi kalau misal Mbak Inggrid ndak berkenan, ya ndak apa-apa."

Inggrid tidak langsung menjawab karena membaca pesan dulu di ponselnya. Dia lantas menggeleng kecil sambil memejamkan mata. "Anak gue mau ujian presentasi. So ... gue gak punya pilihan. Tapi, bantuan lo malem ini gue anggap sebagai hutang."

Risti (dalam sosok Nadia) langsung mengangguk dengan seulas senyum tipis.

Semua yang terjadi setelahnya berjalan dalam keheningan. Tidak ada percakapan selama perjalanan yang memakan waktu sekitar setengah jam itu. Begitu sampai di toko bahan kue yang Risti maksud, Inggrid bahkan buru-buru turun. Dia memilih bertanya langsung pada karyawan sementara Risti berkeliling mengamati rak demi rak.

"Anak saya SMK jurusan Tata Boga. Jadi suka ada ujian praktek. Keselnya tuh kalau mepet-mepet gini bilangnya. Gak tau tuh seharian ngapain aja," jelas Inggrid pada karyawan yang membantunya memilih bahan-bahan.

Risti tidak sengaja mendengar saat melintas di dekat mereka.

Oh, jadi begitu ....

Setelah semua barang yang dibutuhkan terbeli, Inggrid pun mengucapkan terima kasih singkat pada Nadia. Dia lantas bersikeras naik ojek ke stasiun KRL terdekat, padahal sudah ditawari tebengan.

Risti memilih tidak memaksa. Semua tindakannya tadi murni sebatas karena ingin membantu sesama. Biarlah urusan di luar itu, tetap berada pada ranah Nadia dan Inggrid saja.

***

"E', kok aneh yo. Perasaan dari tadi muter-muter di sini aja," gumam Risti dengan pandangan yang tetap fokus ke jalanan di depan.

Pukul 22.25, mobil yang dikendarai Risti akhirnya keluar dari tol Jagorawi. Lantas meskipun terbilang larut untuk bertamu, Risti sudah membulatkan tekad untuk tetap datang ke rumah Tio. Namun, rute yang ditempuhnya malah berputar-putar di situ-situ saja.

"Asem tenan. Ndak beres ini. Ndak masuk akal," gerutu Risti seraya menepikan mobil. Tangannya mengetuk-ngetuk pelan setir saat berpikir sejenak. Sepertinya lebih baik mengubah tujuan jadi ke rumah Ibuk saja.

Sayangnya, harapan hanya tinggal harapan. Karena setengah jam setelahnya pun perjalanan tidak membuahkan hasil. Mobil Nadia sempat dihadang oleh evakuasi pohon tumbang. Terpaksa harus putar balik lagi karena pengalihan jalur dadakan. Ketika pakai google maps, rute barunya malah semakin ngawur. Sedangkan waktu tiba-tiba sudah merangkak menuju jam sebelas malam. Pantas saja puluhan pesan dan rentetan telepon dari Ariya terus menyerbu ponsel Nadia.

Risti pun semakin yakin, bahwa dia tidak diizinkan untuk mencari tahu tentang apa yang sedang terjadi. Risti juga tidak diizinkan untuk bertemu dengan dirinya di sana. Dia ... terjebak.

***

Behind Happily Ever After [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang