Risti tidak pernah menduga jika sesi terapi pertama Gavin akan se-drama ini.
Semua dimulai dari rengekan Gavin saat mereka sedang antri lift menuju poli tumbuh kembang. Tas Mbak Esti mendadak ditarik-tariknya tanpa alasan jelas. Ditawari minum, menggeleng. Disodori camilan, menolak. Coba digendong, tidak mau juga. Semua tebakan Mbak Esti dan Risti salah terus. Hingga akhirnya kekesalan Gavin pecah menjadi tangisan. Semakin didekati, malah semakin menjerit nyaring. Gavin bahkan mengepalkan tangan sambil menghentak-hentakan kaki.
Jelas saja hanya dalam sekejap mereka jadi pusat perhatian. Ada yang curi-curi lirik dengan tatapan penasaran, ada yang kasak-kusuk sambil memasang tampang terganggu, ada juga yang terang-terangan bertanya tapi tidak memberi solusi apa-apa.
"Gavin mau apa? Coba kasi tau Mama Risti sama Mbak Esti ya," pinta Risti yang mulai panik.
Nihil. Gavin malah menangis makin kencang.
"Ngamuk iki, Bu. Wis lah dipindahin aja dulu biar ndak halangi jalan." Secara impulsif Mbak Esti pun menggendong paksa Gavin ke pojokan yang agak sepi.
Tentu saja anaknya menggeliat minta lepas sambil meraung-raung. Sementara Risti hanya mengekori di belakang sambil terus memutar otak. Istilah tantrum yang dulu hanya dia dengar sekilas, kini harus dihadapi secara langsung.
"Terus biasanya gimana, Mbak?"
"Biarin aja dulu, Bu."
"Tapi kan ndak enak iki lho sama yang lain," bisik Risti.
Pada saat itu Gavin sudah berhasil melepaskan diri dan lanjut menggelongsor nangis di lantai.
"Yo abis mau gimana lagi, Bu."
"Emang biasanya gini?"
"Pernah tapi di rumah."
"Terus?"
"Sama Oma disogok HP atau film Upin Ipin. Tapi ini saya lupa bawa HP. Apa mau pakek HP Ibu?"
Risti menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. Dia merasa sedang dihadapkan pada dua pilihan sulit. Kalau dikasih lagi ponsel, mau kapan Gavin lepas dari kecanduan gadget? Namun, kalau dibiarkan juga bisa berapa lama? Dia sungguh tidak enak pada orang-orang di sekitar.
Dalam hitungan detik Risti memutuskan untuk menelan kebingungannya dan mengikuti naluri. Dia pun berjongkok di depan Gavin dalam batas jarak setengah meter. Wajahnya dibuat sedatar mungkin tanpa guratan emosi.
"Gavin ndak apa-apa kalau mau nangis dulu, Mama Risti sama Mbak Esti tungguin." Risti mengangguk-angguk sambil mengacungkan jempol. Diperhatikannya Gavin yang masih menangis tapi sempat meliriknya sekilas. "Kalau mau peluk, sini." Kali ini Risti merentangkan tangan.
Meski Gavin katanya belum mengerti instruksi, Risti yakin anak itu cerdas. Gavin pasti bisa melihat ekspresi, merasakan aura seseorang benci/sayang kepadanya, dan sedikit banyak paham akan gestur tubuh.
Prediksi Risti ternyata cukup akurat, karena sepuluh menit kemudian, tangis Gavin mulai mereda meski masih tersisa. Dia lantas kembali menunjuk-nunjuk tas Mbak Esti yang kali ini langsung dibongkar isinya di lantai oleh si pemilik. Sebatang paralon kumal pun langsung disambar.
"Oh mau ituuu." Baik Risti maupun Mbak Esti mendesah lega bersamaan.
"Kenapa saya ndak kepikiran dari tadi yo, Bu?"
"Yo podo wae, Mbak, saya juga. Duh, anak-anak itu ya memang."
Risti dan Mbak Esti tertawa kompak.
Benar saja. Setelah paralon kumal ada di genggamannya, Gavin perlahan mulai tenang dan mau diberi minum. Anak itu juga tidak memberi perlawanan lagi ketika digendong masuk ke lift. Semua berjalan lancar hingga mereka sampai di lantai enam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind Happily Ever After [✓]
ChickLitTiga sahabat. Tiga masalah. Tiga rahasia. Apa yang dibagi belum tentu selalu merupakan apa yang terjadi. Melalui sebuah kejadian di luar nalar, mereka diizinkan mencicipi mimpi yang tidak pernah dimiliki. __________ Start: 22 Feb 2023 End: 10 Okt 20...