Behind The Scene 8 : Kondisi Baik

226 34 0
                                    

Langkah Nadia terayun ringan menyusuri sepanjang lorong rumah sakit. Senyum tipisnya terus merebak. Dia bahkan tidak menolak ketika Ariya menggenggam tangannya sejak keluar dari ruangan dr. Vita. Padahal biasanya, Nadia akan langsung protes karena merasa hal itu alay.

Kondisi ovum sedang bagus. Gula darah normal. Siklus haid lancar. Berat badan ideal. Peluang berhasilnya hubungan saat ovulasi meningkat.

Hasil pemeriksaan yang disampaikan dr. Vita tadi poinnya bagus semua. Energi positif pun sontak membanjiri Nadia. Tidak over optimistic tapi lebih bersemangat karena punya harapan.

"Habis ini jadi mau jemput anak-anaknya Tami?" tanya Ariya, sesaat setelah mereka mengambil nomor antrean ke kasir. Dia pun mengikuti pilihan Nadia untuk duduk di sofa tunggu paling depan.

"Jadi. BTW, do you mind if we babysit them?"

"Gak apa-apa, dong. Malah aku seneng karena nanti ada mainan."

Nadia tertawa kecil. "Anak orang ya itu. Gemesnya jangan keterlaluan nanti."

"Hahaha. Semoga."

Dua hari lalu Tami sambat di grup Whatsapp Na-Ri-Ta. Katanya, Sabtu nanti dia dapat pesanan lumpia dadakan sebanyak dua ratus lima puluh buah. Sayangnya, pada hari itu Frans kebetulan harus lembur karena ada kerjaan urgent. Mau ditolak, sayang cuan melayang. Sedangkan mengerjakan pesanan sambil mengasuh empat bocah jelas ketar-ketir.

Weekend ini Nadia tidak punya agenda. Sementara Ariya juga baru akan melatih nanti malam. Maka dengan impulsif Nadia menawarkan diri untuk mengasuh si kembar.

Jelas saja Tami langsung menyambut tawaran itu dengan antusias. Si kembar rencananya dititipkan di luar jam makan, yaitu sekitar pukul satu siang hingga jam tiga sorean. Katanya agar Nadia dan Ariya tidak perlu repot-repot menyuapi. Biar itu tetap jadi tugas Tami.

"Oh ya, Neo kemarin WA aku." Ariya membuka topik baru. Suara dari speaker pemanggil antrean sesekali menyelip di antara obrolan.

"Ngapain dia?"

"Katanya mau coba badminton."

"Asli?" Mata Nadia membola. "Kesurupan apaan itu bocah mendadak mau olahraga. Tapi ya, gak apa-apa juga, sih. Malah bagus. Ati-ati aja dia bikin ulah yang aneh-aneh."

"Enggak, lah. Neo itu cuma anak muda yang perlu penyaluran energi berlebih aja. Nanti pelan-pelan aku bikin dia kecanduan badminton ya."

Nadia menatap Ariya dari samping karena wajah suaminya itu sedang mengarah ke layar televisi. Pada garis hidung mancung itu, pada rahang dan dagu yang klimis karena baru cukuran tadi pagi, pada helaian rambut tebal yang tersisir rapi ....

Sejenis kelegaan mengaliri hati Nadia dan bikin nyaman. Setelah berusaha selama lima tahun, Ariya perlahan bisa juga masuk ke keluarganya.

***

Ada yang berbeda dengan suasana rumah Nadia.

Ruang keluarga yang biasa lengang itu kini digelari playmat. Mainan-mainan bertaburan. Suasana hening berganti dengan kemeriahan playlist Cocomelon. Belum lagi aroma harum bedak dan minyak telon, suara ocehan lucu, serta pemandangan dua bayi gempal yang sedang berguling-guling sambil cekikikan. Minta diuyel-uyel!

"Liat Om, nih, bisa sulap. Fuuuhhh ...." Ariya sedang meniup-niup tisu ketika Nadia baru kembali dari kamar mandi.

Melihat atraksi itu saja si kembar berhasil terkekeh kencang. Tentu saja Ariya semakin bersemangat. Diraihnya bantal sofa untuk cilukba.

Sambil berjalan mendekat, Nadia jadi ikut tertawa. Namun, tanpa sadar matanya malah berkaca-kaca. Pemandangan itu berhasil membuatnya merasakan dua sensasi yang kontradiksi. Senang tetapi juga miris.

Behind Happily Ever After [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang