Tami percaya jika Tuhan selalu menjamin kehidupan para umatnya. Setiap ada yang hilang akan digantikan dengan yang datang. Setiap ada yang pergi akan digantikan dengan yang mendampingi. Setidaknya, begitulah pola kehidupannya di tiga puluh tahun ini.
"Kenapa sih, Ma, Tami gak punya kakak atau adik? Kan di rumah jadi sepi. Gak ada yang bisa diajak main." Begitulah kurang lebih protesan Tami kecil setiap musim liburan sekolah. Di sekitar rumahnya memang tidak ada anak seumuran. Tami jadi terpaksa main sendirian.
"Kan ada Mama. Ayo sini, Mama yang jadi pasien--Bu Dokter, uhuk-uhuk, saya batuk nih. Obatin, dong." Mama yang tadinya sedang menyiapkan pesanan kue kering pun menunda pekerjaannya. Mama bahkan totalitas berakting sebagai pasien, sampai rebahan di karpet ruang keluarga.
"Oke! Bu Dokter periksa dulu ya!" seru Tami kecil. Kesedihan tadi menguap cepat seiring disambarnya stetoskop pink berbahan plastik.
Bagi Tami, Mama adalah definisi poros kehidupan. Mama selalu menempatkan Tami di 'sekitarnya', dalam posisi aman, nyaman, dan konstan. Namun sayangnya, pola tersebut goyah saat Mama didiagnosa kanker getah bening. Waktu itu Tami baru naik ke kelas 2 SMA.
Dunia Tami berpijak pun perlahan-lahan mulai terguncang.
"Nanti kalau Tami udah nikah, Tami punya anak yang banyak ya. Biar rumah Tami ramai terus. Gak akan pernah sepi," bisik Mama pada suatu waktu, sambil membelai rambut Tami penuh sayang.
Di tahun ketiga berjuang melawan kanker, kondisi kesehatan Mama naik-turun. Tubuhnya yang dulu agak berisi nampak kurus. Kelincahannya nyaris tak berbekas. Sementara efek kemo menyebabkan kulit menggelap dan rambut yang kian menipis.
"Apaan sih, Ma, hari gini udah ngomongin cucu. Pacar aja belum ada."
"Lho, yang waktu itu anter kamu pulang pas hujan gede. Yang rambutnya cepak. Siapa ya namanya Mama lupa ...."
"Kak Frans? Ya elah. Dia sih bukan siapa-siapa. Kakak tingkat doang."
"Kirain." Mama terkekeh. "Tapi anaknya sih kalem. Sopan lagi. Cocok lah sama kamu yang gak bisa diem."
"Iiih, Mama, nih. Iseng banget." Bibir Tami mengerucut. "Lagian ya, ngomong-ngomong soal nikah, kok Tami takut dapet mertua galak kayak di film-film."
"Enggak. Gak akan. Tami bakal dapet mertua yang baiiik banget. Malah lebih baik daripada Mama. Terus nanti kami bakal nge-mall bareng sambil ngasuh cucu. Seru kali ya."
Sayangnya, harapan Mama untuk mengasuh banyak cucu dan nge-mall bareng besan tidak pernah terwujud. Enam bulan setelah obrolan random mereka ... Mama berpulang. Mama kalah. Mama melepaskan diri dari pusat dunia Tami.
"Bangun, Ma. Katanya mau liat Tami punya anak banyak. Katanya mau ngasuh cucu," bisik Tami sambil menciumi tubuh kaku Mama yang masih hangat itu.
Permintaannya memang tidak mempan karena Mama tetap tertidur tenang. Namun, perkataan-perkataan Mama seolah menjelma jadi doa. Di usia dua puluh tiga, Tami menikah dengan Frans, teman lelaki satu-satunya yang pernah mampir ke rumah. Lalu lahirlah Friska, Fina, menyusul si kembar Fio dan Flo. Rumah pun selalu ramai. Tami yang sudah yatim piatu karena Papa menyusul Mama empat tahun kemudian, jadi tidak pernah kesepian. Dan, satu lagi yang seperti sudah dirancang, ibunya Frans adalah mertua terbaik. Emah benar-benar memperlakukan Tami selayaknya anak sendiri.
Bila datang berkunjung ke Bogor seperti sekarang pun, Emah yang asli Cianjur itu, selalu membawa oleh-oleh kesukaan cucu dan menantu tersayang. Dari mulai roti manis Tan Keng Cu, manisan buah, beras pandan wangi, daster, sampai pakaian dalam. Sementara Frans, anaknya sendiri, tidak pernah dibawakan sesuatu yang khusus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind Happily Ever After [✓]
Genç Kız EdebiyatıTiga sahabat. Tiga masalah. Tiga rahasia. Apa yang dibagi belum tentu selalu merupakan apa yang terjadi. Melalui sebuah kejadian di luar nalar, mereka diizinkan mencicipi mimpi yang tidak pernah dimiliki. __________ Start: 22 Feb 2023 End: 10 Okt 20...