Behind The Scene 4: Ancaman Masa Depan

314 41 7
                                    

Dengkur halus terdengar. Bahu yang hanya berbalut kaos singlet itu naik turun konstan.

Di tahun-tahun awal pernikahan, Tami sempat sebal dengan pemandangan itu. Karena dari novel-novel yang dibacanya sewaktu gadis, sosok male lead selalu digambarkan sempurna: tampan, seksi, kaya, romantis, dan tentu saja jago kissing. Konon, sedang tidur saja mereka ganteng! Tidak mendengkur. Tidak membuat pulau di bantal. Tidak pernah keceplosan buang angin sembarangan. Sungguh berbagai deskripsi yang begitu memanjakan imajinasi para pembaca.

Sampai di satu titik, Tami kemudian berkaca. Dia sendiri pun hanya perempuan biasa. Bukan artis, model, atau selebgram dengan fisik aduhai atau kecerdasan di atas rata-rata. Jadi, ketika yang menikahinya adalah lelaki biasa, itu adalah hal yang sangat masuk akal. Lagi pula, Frans juga ganteng kok. Dia enak dipandang, rapi dan bersih, tapi ... tetap dengan segala kemanusiawiannya.

Anggaplah dengkur halus tadi sebagai bukti kerja keras seorang kepala keluarga yang berjuang seharian demi mencari nafkah.

Tami ingat betul, saat zaman kuliah dulu, ada sebuah momen yang membuatnya pertama kali kagum pada Frans. Waktu itu, Tami bersama tiga anggota Himpunan Mahasiswa lain akan nge-danus dekat taman kota untuk sebuah charity event. Tentu saja semua kegirangan ketika melihat ada lapak kosong yang lokasinya strategis. Tanpa pikir panjang meja-meja lipat pun dipasang.

Kegiatan mereka baru terhenti ketika seorang lelaki yang ternyata si pemilik lapak datang dan menghardik keras. Suasana tiba-tiba mencekam. Apalagi saat Aldo, anggota laki-laki satu-satunya yang ikut, malah terpantik emosi hingga mereka adu mulut. Waktu itu, orang-orang di sekeliling hanya menonton dari kejauhan tanpa berani ikut campur. Lain halnya dengan seorang laki-laki dengan kostum olahraga yang tadinya sedang joging. Dia justru datang mendekat. Raut wajah datarnya mengamati dalam diam selama beberapa saat.

"Ada apa ini?" tanyanya tenang.

"Mereka nyerobot lapak saya!" sahut bapak pemilik lapak dengan nada tinggi.

"Bukan nyerobot sengaja. Kita enggak tau kalau lapak ini udah ada yang punya. Bapaknya aja yang langsung nyolot!" balas Aldo tidak kalah keras.

"Sabar dulu, Do." Si Baju Olahraga menepuk pelan bahu Aldo. Rupanya mereka saling kenal. "Bapak suka ngopi gak?" Dia lalu beralih lagi pada bapak pemilik lapak.

"Iya. Kopi item saya mah."

Si Baju Olahraga pun mengangguk, lantas menoleh pada Tami. "Tolong beliin kopi item ya. Saya mau ngobrol dulu sama bapak ini."

"Eh?" Tami menunjuk hidung. "Oh, oke, oke." Dia pun segera bergegas ke pedagang kaki lima terdekat.

Sambil menunggu kopi diracik, diam-diam Tami mencuri lirik. Dari kejauhan bapak pemilik lapak dan si Baju Olahraga sedang ngobrol serius. Awalnya, bapak pemilik lapak terlihat masih sangat kesal, tapi perlahan mencair setelah si Baju Olahraga menjelaskan sesuatu.

Bahkan ketika Tami mengantarkan kopi, Aldo sudah dipanggil untuk meminta maaf. Tiga lelaki itu kemudian mengobrol sambil berdiri.

"Siapa sih itu, Kak?" Sambil membereskan semua barang agar lapak bisa segera kosong kembali, Tami bertanya pada Shanti yang merupakan seniornya.

"Kalau gak salah namanya Frans. Anak Mapala. Sekelasnya sama Aldo. Duh, untung ya ada dia. Coba kalo enggak ada, bisa-bisa Aldo berantem sama si bapak."

Saat itu, sebentuk kekaguman diam-diam membekas di hati Tami. Saat emosi mayoritas lelaki bagai bara yang mudah sekali terpantik, Frans masih bisa menguasai diri. Dia bahkan tetap tenang, saat semua orang tegang.

Karena itu, di masa sekarang, Tami yakin kalau Frans bisa mengatasi masalah pekerjaannya dengan kepala dingin. Meskipun tidak dapat dipungkiri kalau Tami tetap ketar-ketir. Apalagi sebelum tidur tadi Frans sempat menanyakan berapa jumlah tabungan dan berapa pengeluaran rutin mereka per bulan. Bukankah itu artinya dia sedang menyiapkan kemungkinan terburuk?

Behind Happily Ever After [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang