Emah memenuhi janjinya untuk datang. Lengkap dengan sebingkai wajah ramah, suara cempreng penuh nada semangat, dan tubuh gesit yang masih sangat bugar. Satu tas besar berisi oleh-oleh juga tidak ketinggalan. Lauk pauk selama beberapa hari ke depan sudah dipastikan akan aman.
Seakan tak kenal lelah, Emah bahkan langsung mengasuh para cucunya sejak awal datang. Suasana rumah yang tadinya sudah meriah pun jadi tambah hangat. Friska minta dikepang sambil asyik bercerita tentang teman-temannya, Fina terus bergelendot manja, sementara si kembar tidak mau kalah menggapai-gapai seolah sedang berebut perhatian sang nenek. Hal itu terus berlanjut hingga sesi tidur. Semua ingin dikeloni oleh Emah, sementara Mama tergeser jadi nomor dua. Tentu saja Nadia justru merasa lega.
Di tengah gempuran mertua-mertua yang hobi bikin menantu kena mental, Emah jelas berbeda. Nadia sampai tergelitik untuk berterus terang tentang siapa dirinya. Namun, setelah dipikir-pikir lagi, lebih baik dia fokus pada rencana lain yang peluangnya lebih besar saja.
"Si Frans biasa pulang jam berapa, Neng?"
Sapaan Emah itu membuat Nadia (dalam sosok Tami) menoleh. Gerakan tangannya yang sedang membilas piring berhenti sebentar. Sudut matanya refleks melirik pada jam dinding yang menunjukkan pukul 20.25. "Kemarin-kemarin sih sekitar jam delapanan, Emah."
"Tumben sekarang belum pulang."
"Akhir bulan kayaknya. Lagi banyak kerjaan."
"Iya kali yah." Alih-alih duduk bersantai sehabis menemani para cucunya tidur, Emah malah berjalan lurus ke pojokan. Tubuhnya berjongkok dengan tangan terulur merapikan ceceran sampah. Trash bag berukuran sedang itu pun lalu diikat rapi.
"Eh, itu ... sampahnya biarin aja, Emah. Nanti sama saya aja," cegah Nadia cepat.
Emah hanya menggeleng kecil sambil mengibaskan tangan ringan. "Cincai atuh, Neng. Cuma buang sampah mah gak berat. Kecuali kalau Emah diminta angkat lemari. Nah, gak kuat. Encok," ujarnya disertai kekehan renyah.
Nadia (dalam sosok Tami) jadi ikut tertawa. Sebelum jawabannya meluncur lagi, sosok Emah sudah bergegas keluar menjinjing trash bag. Sekian menit kemudian barulah mertuanya Tami itu kembali dengan tangan kosong.
"Sorry jadinya malah ngerepotin, Emah."
"Santai atuh, Neng." Emah lalu datang mendekat untuk nebeng cuci tangan. Pada saat itu, tatapannya meneliti sekilas disertai kernyitan halus di dahi. "Neng Tami kurusan ya? Seinget Emah pas terakhir kita ketemu mah masih ada pipinya," tanyanya penuh nada kuatir.
"Oh. Masa, sih?"
"Iya. Sekarang tirus banget. Kenapa atuh? Kecapean?"
Nadia (dalam sosok Tami) memandangi ujung jemarinya yang sedikit keriput. Dia pun menggeleng dan tersenyum kecil. Di rumahnya sendiri, mana pernah seorang Nadia Elsavira cuci piring sebanyak dan sesering ini, mengepel lantai lengket yang tak terhitung lagi, atau berkali-kali jadi wasit ketika anak-anak Tami berebut mainan. Memang benar, menjadi Tami itu terkadang sangat melelahkan.
"Ya, lumayan lah, Emah. Punya banyak anak apalagi masih kecil-kecil gini ternyata gak selalu lucu dan ngegemesin kayak bayangan saya selama ini," jawab Nadia (dalam sosok Tami) setengah melamun.
Dia pun menoleh lagi ketika tangan Emah mendarat di bahunya dengan usapan lembut.
"Pasti, Neng. Namanya idup mah kan selalu dua sisi nya. Gak enaknya punya anak banyak ya mungkin di bagian kerjaan rumah yang gak abis-abis. Belum kalau pada rewel, sakit, berantem .... Pasti nguras banget emosi dan energi. Tapi enaknya teh rumah haneut. Rame. Dan ceunah kalau kata orang tua dulu mah setiap anak pasti bawa rejekinya sendiri." Emah tersenyum bijak. "Nah, kalau Fiona justru curhatnya kebalikan. Katanya rumah dia sepi, kadang bosen, kayak ada yang kurang. Ya Emah bilang, sisi positifnya belum punya anak, dia sama si Edo masih bisa menikmati hidup santai. Bangun siang. Males-malesan. Gitu-gitu lah, Neng. Pleus-mineus ya semuanya juga."
Nadia mencerna dalam diam. Cerita Emah tentang Fiona--adik Frans--membuat ingatan Nadia terlempar pada kehidupan pagi harinya yang begitu tenang. Bangun tidak perlu buru-buru, sarapan sudah tersedia, bahkan bisa ngopi dulu sambil scroll socmed. Pulang kerja langsung istirahat karena kerjaan rumah sudah dibereskan ART. Makan malam pun tinggal pesan atau Ariya yang masak.
Apalagi jika weekend tiba. Nadia bisa cuddling dengan Ariya sampai siang, brunch sambil leyeh-leyeh di sofa, berjemur sebentar di balkon, habis mandi lanjut maraton Netflix atau pergi hang out kulineran. Mau short getaway atau staycation pun bisa. Uang ada. Kesempatan ada.
"Yang penting makan teratur, Neng. Usahain tidur cukup. Beli makan di luar kalau lagi cape masak juga gak apa-apa." Suara Emah terdengar lagi, diiringi derit kursi makan yang digeser.
"Iya, Mah. Kemarin juga Gofood terus. Sampe uang si Frans cepet abis."
Emah tertawa. "Nah, bagus! Bilang ke si Frans jangan kopèt. Daripada istrinya kecapean maksain diri. Ngurus lima orang itu pasti gak gampang."
Nadia tidak terlalu suka mengobrol dengan orang asing, tapi perangai hangat Emah berhasil membuat pengecualian. Setelah piring terakhir bertengger di rak pengering, tanpa pikir panjang dia pun menyusul Emah duduk di kursi makan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind Happily Ever After [✓]
ChickLitTiga sahabat. Tiga masalah. Tiga rahasia. Apa yang dibagi belum tentu selalu merupakan apa yang terjadi. Melalui sebuah kejadian di luar nalar, mereka diizinkan mencicipi mimpi yang tidak pernah dimiliki. __________ Start: 22 Feb 2023 End: 10 Okt 20...