Behind The Scene 4: PCOS Fighter

339 37 4
                                    

Si perfeksionis. Si ambisius. Si otak CPU. Berbagai julukan itu sudah biasa Nadia dapatkan sejak masa remaja, kuliah, bahkan hingga bekerja. Setelah menikah, gelarnya bertambah menjadi si pejuang garis dua. Lalu sekarang bertambah lagi menjadi si PCOS fighter.

Bila gelar-gelar sebelumnya merupakan bentuk kekaguman dari orang-orang, dua gelar terakhir ... berbeda. Meski ada embel-embel pejuang/fighter, apa yang 'diperjuangkannya' tidak selalu diapresiasi. Bahkan cenderung dipandang sebelah mata. Stigma bahwa perempuan itu baru sempurna bila sudah punya anak terlanjur melekat di masyarakat. Padahal, meskipun kodrat perempuan adalah menstruasi, mengandung dan melahirkan, ketiga hal tersebut rasanya tidak bisa disamaratakan. Setiap perempuan mengalami menstruasi secara natural, sedangkan untuk hamil dan melahirkan ... tidak semua mendapat kemudahan, bukan?

"Tadi jadi ketemuan sama Tami Risti?" Remasan lembut di bahu memecahkan segala gelembung lamunan Nadia. Sejak tadi dia memang duduk di stool pantri ditemani oleh segelas kopi. Saking lama diabaikan, kepulan uapnya ternyata sudah mulai menipis.

"Jadi."

"Ketemuan di mana?" Ariya duduk di salah satu kitchen stool hingga mereka berhadapan. Ponselnya lalu ditaruh sembarang di atas meja pantri.

"Mpek-mpek Terang Bulan. Lagi kangen masa kuliah aja jadi makan di sana."

"Emang dulu sering?"

"Lumayan." Nadia mengangguk-angguk sambil menyesap kopi sedikit demi sedikit. Sensasi pahit dan legit yang biasanya nikmat kali ini terasa hambar. "Tapi dulu tempatnya belum sebagus sekarang. Itu, kan, lahan sampingnya dibeli terus disatuin. Tapi jadi enak, sih. Tami aja leluasa bawa anak-anaknya."

"Emang dibawa semua?"

"Fina sama si kembar aja. Friska lagi sekolah." Sebuah perasaan aneh yang entah sejak kapan mulai menggelitiki Nadia kini mendesak lagi. Helaan napas halus pun tanpa sadar lolos begitu saja. "Tami, kok ... gampang banget punya anak, ya? Cuma selang sebulan abis nikah langsung hamil. Friska dua tahun, hamil lagi Fina. Fina dua tahun, hamil lagi si kembar."

"Rejeki orang beda-beda, Sayang."

"Tapi asli, deh, dia tuh termasuk orang yang hidupnya lancar. Kayak misalnya--" Nadia menjeda dengan memainkan pinggiran cangkir kopi dengan jemari. "--pas kuliah dia enggak terlalu menonjol dan santai-santai aja, tapi lulus tepat waktu dengan IPK lumayan. Lulus kuliah, dia kerja setahun doang. Itu juga tipe kerjaan santai. Terus nikah, resign, hamil, punya anak banyak. Hidup Tami tuh kayak ... gak perlu effort lebih pun, udah lancar."

Ariya menggeleng. Tatapannya memancarkan sorot teduh. "Effort setiap orang itu sebanding sama target yang dipasangnya. Mungkin kamu juga bisa kayak Tami kalau menurunkan sedikit ekspektasi."

"Bisa punya anak banyak?" Nadia tersenyum kecut. "Tapi aku PCOS sedangkan dia enggak."

"Bukan. Bukan itu maksudnya, tapi lebih ke poin 'terlihat santai'. Aku yakin kamu sebenernya paham."

"Indeed. Kayaknya aku cuma lagi sensitif aja. Mungkin karena peerku banyak. Cari healthy catering, booking yoga class, management stress, atur pola tidur ...."

"Dan pelan-pelan stop ini." Cangkir kopi yang masih tersisa banyak itu digeser menjauh dari si pemilik.

"Yang ini paling susah kayaknya, deh, Ya. Gak ngopi tuh bikin galau. Berasa bego."

"Diganti sama teh gimana?" Ariya meraih tangan Nadia ke dalam genggaman lalu meremas-remasnya lembut.

"Sebenernya terlalu light, sih. Tapi pasti bakal aku coba."

Behind Happily Ever After [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang