Behind The Scene 3: Sudut Pandang Mertua

337 36 5
                                    

Area bermain rumah sakit itu ramai. Jerit dan tawa saling bersahutan. Anak-anak yang habis berobat atau ikut orang tuanya ke poli lain asyik mencoba berbagai wahana. Ada kuda-kudaan, perosotan, rumah-rumahan, ayunan, dan terowongan, dengan fence berwarna pastel yang difungsikan sebagai pembatasnya.

Sementara itu, di sofa panjang dekat ruang praktek, mayoritas orang tua atau pengasuh duduk menunggu. Hanya beberapa yang anaknya masih butuh pengawasan ikut mendampingi. Begitu pula dengan Risti yang harus membersamai Gavin dari jarak dekat. Apalagi Mbak Esti, pengasuhnya, izin ke toilet karena sakit perut. Sementara Tio sedang menyelesaikan urusan administrasi sejak tadi.

Memang bukan hal mengagetkan kalau energi dan keberanian Gavin agak berlebihan. Tadi saja dia berlari kesana-kemari sampai merobohkan fence, berdiri lepas tangan di puncak rumah-rumahan, dan main perosotan dengan menyerobot antrean. Beberapa orang tua sampai melirik risih. Beberapa lagi bahkan menarik anaknya agar tidak main di dekat Gavin. Selalu begitu.

"Abis ke dokter siapa, Mom?" tanya salah satu ibu muda yang sama-sama berdiri tepat di luar fence.

"Prof Soetomo, Mom." Risti menoleh dan mengangguk sopan. Pandangannya lalu jatuh pada stroller di samping si ibu muda. Sesosok bayi berpipi chubby sedang tertidur pulas. Aroma harum minyak telon bercampur bedak menguar samar. Gemas. Tanpa sadar, Risti pun tersenyum tipis. "Si adek abis vaksin?"

"Oh, enggak. Saya abis periksain kakaknya. Ke Prof Soetomo juga." Ibu muda itu menunjuk pada seorang anak laki-laki di perosotan. Kalau dilihat dari perawakannya, tidak jauh berbeda usia dengan Gavin. "Anak saya speech delay karena terlalu sering dikasi HP, Mom. Tadinya saya pikir biar enggak ketinggalan zaman. Lagian kan jadi anteng ya, saya bisa tenang ngerjain kerjaan rumah tanpa takut dia ngapaiiin gitu yang berbahaya. Eeeh, ternyata malah fatal."

Mata Risti membulat. Seingatnya, Gavin juga sering disogok tontonan oleh Oma. Kadang bisa lebih dari satu jam pada setiap sesinya. Menurut Oma, hanya itu satu-satunya cara agar cucunya bisa duduk diam. "Oh, sama. Anak saya juga speech delay."

Risti kembali memperhatikan Gavin. Anak itu kini sedang asyik melompat-lompat di atas terowongan. Hal yang sama dilakukannya saat di ruang Prof. Soetomo tadi. Tanpa rasa takut, Gavin loncat dari ranjang pemeriksaan. Gavin juga sulit diperiksa karena terus berlarian. Sebagai seorang ahli dengan pengalaman puluhan tahun, Prof. Soetomo kemudian langsung menebak. ADHD alias Attention Deficit Hyperactivity Disorder. Dugaan itu dikuatkan dengan hasil intervensi dan wawancara pada Tio dan Risti mengenai sikap Gavin sehari-hari.

Meski sudah punya dugaan sebelumnya--terutama setelah banyak googling--tetap saja Risti cukup kaget. Begitu pun dengan Tio yang terlihat shock. Memang bukan rahasia umum kalau anak hiperaktif akan langsung dilabeli 'bandel'. Sementara istilah 'anak berkebutuhan khusus' biasanya dipandang sebagai aib.

"Kalau anak Mom penyebab speech delay-nya apa?" tanya si ibu muda lagi, mengambil perhatian Risti kembali.

"Prof. Soetomo bilang anak saya kesulitan fokus karena hiperaktif."

"Oh gituuu. Anak sepupu saya juga hiperaktif. Katanya sih ada hubungannya sama lahir prematur. Tapi Mom lahiran cukup bulan?"

"Emmm ...." Pertanyaan itu membuat Risti melipat bibir ke dalam. Pandangan masyarakat terhadap ibu sambung jelas lebih banyak negatifnya. "Cukup bulan," jawabnya biar cepat saja.

"Oh ya omong-omong, baru satu anaknya, Mom?"

"Iya, Mom."

"Ada bagusnya juga. Jadi bisa fokus kasih stimulasi. Soalnya kalau punya bayi lagi kayak saya ... aduh susah, deh. Kakaknya jadi enggak kepegang. Kadang ngerasa bersalah juga karena enggak maksimal, tapi ya gimana. Susah bagi waktunya. Punya bayi tuh menyita perhatian banget." Ibu muda itu meringis. "Eeehhh maaf kok saya malah terkesan ngatur. Padahal siapa tau Mom udah berencana nambah anak."

Behind Happily Ever After [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang