Behind The Scene 6 : Tegas pada yang Tak Pantas

248 32 0
                                    

"Terima kasih telah berbagi cinta, cahaya, dan energi Anda dengan saya hari ini. Sampai ketemu lagi Minggu depan!"

Kalimat penutup itu menggema pelan di seluruh ruangan. Sumbernya dari seorang perempuan berwajah teduh yang menjadi instruktur kelas yoga hari ini. Seluruh peserta pun serempak mengucapkan terima kasih. Ada yang kemudian mengobrol dengan temannya di kanan-kiri, ada yang langsung bangun untuk melipat matras lalu pergi ke ruang ganti, ada juga yang spontan mengecek ponsel. Sementara Nadia sendiri menyambar botol minum dan meneguk isinya banyak-banyak. Masih dalam posisi duduk bersila, disekanya sisa-sisa bulir keringat yang merembes di sisi dahi.

Kalau boleh jujur, Nadia memilih yoga di antara banyak jenis olahraga lain adalah karena menganggapnya ringan. Paling-paling hanya tarik napas-buang napas-meditasi-ditemani alunan musik klasik menenangkan. Pikirnya, pasti tidak akan seheboh zumba, poundfit, atau pilates yang mandi keringat. Ternyata ... salah. Memang benar semua gerakan cukup sederhana karena Nadia ikut kelas yoga dasar untuk pemula. Bagian-bagian tubuhnya hanya ditekuk-tekuk pelan, diangkat sedikit, lalu ditahan selama sekian hitungan. Namun, begitu saja sudah berhasil bikin napasnya ngos-ngosan. Persendiannya yang jarang gerak itu bahkan menjerit nyeri.

"Halo, tadi tuh ... Nadia ya?" Instruktur yoga yang memperkenalkan diri dengan nama Celine datang menghampiri. Tubuh mungil bugar serta rona wajah ramah membuatnya terlihat awet muda. Saat sesi perkenalan tadi, Nadia bahkan tidak percaya kalau Celine sudah kepala empat.

"Oh, halo. Iya. Saya Nadia." Nadia mengangguk sopan.

"Gimana, gimana, tadi seru?"

"Lumayan encok, sih."

Celine tertawa renyah. "Wajar, wajar, namanya juga pemula. Jangan kaget kalau nanti malem badan sakit-sakit."

"Oh ya? Biasanya berapa lama?"

"Yaaa ... sekitar dua atau tiga harian. Tapi nanti kalau udah biasa, gak akan sakit-sakit badan lagi. Malah enak. Seger. Enteng."

Nadia spontan meringis. Apalagi saat membayangkan koyo-koyo yang akan menempel di tubuhnya selama beberapa hari ke depan. Pada saat itu dua orang remaja perempuan yang baru datang menghampiri Celine. Yang berambut pixie cut memiliki postur tinggi. Sedangkan yang rambutnya diurai panjang lebih mungil. Mereka menyerahkan sebuah goodie bag kemudian terlibat obrolan sebentar.

Lantas karena merasa tidak punya lagi kepentingan, Nadia menggulung matras dan berpamitan. Lagi pula, Ariya sudah mengabari kalau dia menunggu di parkiran.

"Saya duluan ya, Kak Celine. Udah dijemput."

"Oke, oke, Kak. Sampai ketemu minggu depan ya. Semoga betah nge-yoga di sini." Celine melambai ramah.

"Amin. See you."

Setelah mengganti kostumnya dengan kaus yang nyaman dan loose pants, langkah Nadia pun terayun menuruni tangga. Studio yoganya memang terletak di lantai tiga sebuah ruko yang terletak di kawasan perniagaan. Lantai duanya digunakan sebagai studio fitness. Sementara lantai satu disewa oleh sebuah minimarket ternama.

"Tau gak sih si Tante Celine yang tadi itu baru aja cerai."

Suara obrolan di anak tangga yang lebih bawah, membuat Nadia mau tidak mau bisa mendengar jelas. Rupanya dua remaja tadi sudah turun duluan. Si rambut panjang-lah yang memulai percakapan.

"Tau dari? Tante lo?" tanya si rambut pixie cut.

"Yes. Mereka kan bestie. Makanya gue sampe disuruh nganterin oleh-oleh segala. Tau gak sih, masalahnya ternyata klasik, cuy, Tante Celine gak bisa kasih anak."

Langkah Nadia otomatis terhenti, menyisakan jarak anak tangga yang semakin banyak.

"Kasian amat."

"Mantan suaminya tuh padahal ganteng banget. Mirip Lee Min Ho. Asli." Nada bicara si rambut panjang terdengar menggebu-gebu. "Sebelum mereka cerai aja, gue mau loh kalau dijadiin istri kedua. Selingkuhan juga gak apa-apa. Kan kalau sama gue dijamin, anak selusin."

"Ewww!" umpat si rambut pixie cut. "Selera lo om-om banget, lah."

"Pesona ah-juicy tuh emang hot! Apalagi sekarang udah jadi duda. Sayang aja bekasnya Tante Celine. Like hell, cuy." Si rambut panjang cekikikan.

Tanpa sadar Nadia jadi geleng-geleng kepala. Perempuan-perempuan seperti si rambut panjang baginya seperti papan merah berjalan. Dedek-dedek yang punya pola pikir nyeleneh tapi lebih ke arah negatif. Mau-maunya jadi istri kedua atau selingkuhan. Gila.

Sampai di luar, pandangan Nadia kemudian mengedar ke sekitar. Didapatinya Ariya sedang menyender di samping kap depan mobil sambil memainkan ponsel.

Langkah Nadia baru saja akan terayun ke sana, ketika si rambut panjang tadi keburu nyelonong mendahuluinya. Spontan saja Nadia menyipitkan mata. Instingnya menuntun derap langkah yang lebih cepat.

"Sayang, aku udah." Kehadiran Nadia membuat Ariya dan si rambut panjang menoleh.

"Nad, kenalin, ini Carol, alumni Gagas yang waktu itu aku ceritain. Carol, ini Nadia. Istri saya."

Meskipun hanya beberapa detik, Nadia bisa menangkap ada kilatan kaget di mata si rambut panjang yang ternyata adalah Carol. Lihatlah, betapa sempitnya dunia ini.

"Halo, Tante," sapa Carol ogah-ogahan. Bibirnya hanya menyinggingkan senyum ala kadarnya. Tanpa mengulurkan tangan duluan layaknya anak muda yang masih punya kesopanan.

Menyadari gelagat itu, Nadia segera memasang mode wajah resting bitch face-nya. Enak saja harus beramah-tamah pada orang yang bahkan menghargainya saja tidak.

"Ya," komentarnya singkat.

"Nad, Carol katanya mau nebeng mobil kita. Kebetulan rumahnya searah dan dia lagi gak bawa kendaraan."

Mata Nadia sontak membulat. Dia langsung celingukan mencari si rambut pixie cut yang tadi jelas datang bersama Carol. Ketemu. Si pixie cut baru saja masuk ke pintu pengendara sebuah sedan putih yang terparkir di tengah-tengah. Kalau berangkatnya barengan, kenapa pulangnya harus pisah-pisah? Bukankah jelas sekali kalau Carol sengaja ingin menempeli Ariya?

"Gak bareng temen kamu yang tadi?" tanya Nadia terang-terangan.

Carol mengikuti arah pandangan Nadia lalu tersenyum kecut. "Enggak, Tan. Temen aku beda arah rumahnya. Jauh. Lagian dia ada janji lain."

"Lho ya sama. Om sama Tante juga ada janji lain jadi gak akan langsung pulang." Nadia melirik sekilas pada Ariya yang nampak sedikit kebingungan. Jelas saja karena awalnya mereka berencana langsung pulang. "Kita kan mau ke rumah Mami, Sayang," pungkas Nadia tenang, tapi penuh ketegasan.

Untunglah sepertinya Ariya bisa membaca jelas gelagat sang istri. Karena tidak ada protesan atau bahkan pertanyaan sama sekali. "Ah, iya. Oke."

Sambil menggandeng erat lengan Ariya, Nadia pun tersenyum manis. Ditatapnya sekilas Carol yang spontan memasang tampang masam. Biarlah sikapnya ini jadi peringatan.

***

Behind Happily Ever After [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang