Satu Mbilan

2.2K 192 13
                                        

Hari masih pagi, tapi Jungkook sudah sibuk mengemasi barang-barangnya. Padahal masih ada satu hari untuknya memuaskan diri sebelum pergi ke asrama. Namun dia lebih memilih berangkat hari ini karena beberapa alasan.

Dia merapikan beberapa baju, buku dan segala kebutuhannya.Tiba-tiba perhatiannya tertarik pada sebuah amplop diantara tumpukan buku. Diambilnya amplop usang itu, amplop yang berisikan selembar foto bergambarkan dirinya, Papa dan Bundanya beserta keenam kakaknya.

Ingatannya terlempar ke masa lalu dimana saat foto itu diambil. Foto kejutan ulang tahun yang berlatar belakang kamarnya saat itu.

Jungkook kecil yang terlihat bahagia dengan senyum kelincinya meskipun kompres demam tertempel di dahinya. Dia demam di hari ulang tahunnya, memalukan memang. Salah satu alasan dia menyembunyikannya karena kakaknya sering mengejeknya dengan foto itu.

Dia tersenyum tipis ketika menyadari itu foto ulang tahun terakhir bersama Bunda tercintanya, dan tak ada lagi kenangan di kamarnya setelah itu.

Setelah mengantongi foto itu, Jungkook berdiri, matanya menyisir seluruh ruangan . Kamar yang selalu menjadi tempat keluh kesahnya, menampung segala bentuk tangisan, penyesalan, kekecewaan, dan tentunya kebahagiaan. Dia akan meninggalkannya mulai hari ini.

Lamunanya terpecah ketika seseorang memanggil namanya. "Jungkookie... " Panggilan yang selalu dibarengi nada bahagia, siapa lagi kalo bukan Hoseok kakak keempatnya.

"Loh ?, mau kemana kamu ?" tanyanya setelah melihat koper dan tas ransel disana.

"Asrama sekolah. Papa mendaftarkan ku ke program boarding school."

Matanya membulat seakan tak percaya kenapa Papanya tiba-tiba melakukan hal itu. "Gara-gara nilaimu turun ?"

Jungkook terkekeh sebentar. "Enggak lah Kak. Kakak tau kan aku sering ikut olimpiade ?. Aku akan lebih fokus kalo tinggal di asrama."

Hoseok hanya tersenyum sembari mengusak rambut adiknya. Dia tau Jungkook sedang berbohong, mata bulatnya itu tak bisa diajak kerja sama dalam hal kebohongan. Tapi dia tak ingin menuntut kebenaran lebih jauh, mungkin ada suatu alasan yang mengharuskan adiknya untuk berbohong.

"Kamu berangkat sekarang ?, udah pamitan sama semuanya ?"

Jungkook menggeleng, dia memang tak ingin berpamitan dengan semuanya. "Ntar kalo ada acara pamitan malah bikin nangis, terus nggak jadi berangkat deh."

"Itu tandanya kita semua sayang ke kamu, Dek... . Sini kakak bantuin bawa barangnya. Dianter papa kan?. Maaf kakak gak bisa ikut, kakak ada kelas abis ini. Oh !, kak Yoongi kayaknya di rumah deh, ntar kakak bangunin. Kamu harus jaga kesehatan disana, jangan sampe sakit, kalo ada apa-apa hubungi orang rumah. Jadi anak yang baik, jangan betah-betah disana, cepat pulang. Ngerti ??" Hoseok menoleh ke belakang mendapati bibi Han disana.

"Nak Hoseok ngomong sama siapa ?" tanyanya.

"Si anjir !" batin Hoseok. Sedari tadi dia ngoceh dari kamar turun hingga ke halaman depan nggak ada yang dengerin. 

Kemana si bontot itu ?, Hoseok melihat di balik pintu depan mendapati adiknya duduk di tangga bersama Yoongi disana. Sedikit kesal, tapi karena dia sayang si bontot jadi dimaafkan.

Setelah beberapa menit, keduanya menyusul Hoseok di teras depan menunggu Papanya yang masih memanasi mobil di garasi. Wejangan yang tadinya terabaikan kini kembali Hoseok sampaikan.

Mobilpun sudah terparkir rapi di halaman rumah, satu persatu barang kebutuhan dimasukan ke bagasi.

Kedua kakaknya tau ini bukan kemauan Jungkook, terlihat dari raut wajahnya yang seakan menahan kesedihan. Sesekali matanya mentap langit-langit mencoba menahan air mata yang bisa jatuh kapan saja, memasang wajah yang seolah dia baik-baik saja di hadapan kakaknya.

Ketiganya saling melambaikan tangan, saling tersenyum menguatkan, hingga senyuman kelinci itu luntur seiring dengan semakin menjauhnya mobil yang akan mengantarkannya ke tempat pulang yang baru.

.

.

Joohun tak langsung mengantar kan Jungkook ke asrama, dia ingin menyenangkan putra bungsunya itu. Membelikan tas dan sepatu baru serta kebutuhan sekolah lainnya, karena memang sudah memasuki tahun ajaran baru

Jungkook tak banyak meminta, dia menerima apa yang Papa nya berikan. Lebih banyak diam dan berbicara jika dia ditanya. Ada penyesalan di hati Joohun, bukan ini yang dia inginkan. Jika ada cara lain untuk mengubah putranya itu, dia akan memilih cara lain itu asal tetap bersama. Sayangnya Joohun tak terpikirkan cara lain itu, alhasil saran dari istrinya untuk masuk ke boarding school pun diterima dengan iming-iming program itu bisa mendisiplinkan putranya terlebih dirinya tak bisa mengawasi Jungkook karena pekerjaannya.

"Kamu tak menyesal, Nak ?. Kita masih bisa kembali ke rumah. Minta maaflah ke Mama mu, dan terima kehadirannya."

"Aku salah, dan bagi Papa orang salah harus di hukum. Jadi aku terima hukuman dari Papa, mungkin nanti aku akan menyesal tapi aku bisa menerimanya. Papa tenang aja, kata Bunda aku anak yang kuat kok, aku bisa melakukan apapun itu." Jungkook tersenyum di akhir kalimatnya, menaik turunkan kedua alisnya, saat ini dia tak mau terlarut ke dalam pembicaraan yang serius.

Joohun hanya bisa tersenyum miring, anaknya terlalu hebat menyembunyikan perasaannya. Atau dirinya lah yang terlalu jauh dari Jungkook, hingga putranya tak ingin membagi apa yang dia rasakan.

Waktu berlalu begitu cepat, Joohun masih merasa kurang padahal dia sudah belanja, bermain, makan, dan menghabiskan hari ini dengan Jungkook tapi dia belum puas.

Dan disinilah mereka sekarang, di satu ruangan yang berisikan 4 ranjang artinya akan ada 4 anak termasuk Jungkook disana.

Setelah selesai menata semuanya dan mengurus administrasi, dengan berat hati Joohun akan meninggalkan putra bungsunya.

Langkahnya tertahan ketika ujung kemejanya terasa ditarik, dia menoleh kebelakang dan Jungkooklah yang melakukannya.

"Kenapa ?, hm ??" tanya Joohun lembut dan melihat ke arah Jungkook yang menunduk. "Nggak mau Papa tinggal ?"

Joohun teringat kembali saat Jungkook kecilnya itu memasuki sekolah TK untuk pertama kali. Dia tak mau ditinggal dan hampir seminggu Joohun harus cuti kerja untuk menemani Jungkook.

Jungkook hanya menggeleng tanpa melepaskan pegangan di kemeja Papanya. "Aku belum dikasih uang saku loh Pa," ucapnya sambil mentap Papanya.

Joohun hanya bisa melongo mendengar ucapan Jungkook. Bukan ini yang ada di gambaran Joohun, dia ingin Jungkook merengek ikut pulang seperti saat masih kecil dulu.

"Papa akan transfer nanti, lagian bulan ini juga sudah Papa kasih kan ?"

"Aku nggak akan sebebas kemarin-kemarin loh Pa, aku juga belum tau betul keadaan disini, aku butuh cash untuk jaga-jaga. Lagian Papa juga memotong uang saku bulan ini dengan alasan nggak ada sekolah karena libur semester akhir." jelas Jungkook.

Dia hanya bisa menggeleng dengan kelakuan anaknya yang satu ini. Semua yang ada pada diri Jungkook selalu diluar ekspektasi Joohun

Setelah memberikan beberapa lembar uang, Joohun pun berpamitan. Memeluk erat Jungkook, senakal apapun Jungkook, Joohun tetap tak ingin jauh darinya, bagaimanapun dia adalah darah dagingnya.

Kekhawatiran berlebihnya seakan sirna setelah melihat senyum sumringah Jungkook kala dia berpamitan, dia akan meyakini apa kata Hana bahwa putranya itu anak yang kuat. Senyum secerah mentari yang menandakan bahwa Jungkook akan baik-baik saja disana. Tapi Joohun lupa mentari itu akan ada masanya untuk tenggelam. Seperti saat ini dimana senyuman Jungkook lenyap seiring dengan hialngnya mobil hitam itu dari pandangannya.

Topeng itu benar-benar tak bercelah.

.

.

.

.

.

.

.

.

mohon dukungannya... ('▽'ʃ♡ƪ) ( ̄y▽ ̄)╭ Ohohoho.....

jangan lupa voment ya. thanks

Shine on MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang