BAB 29

171 9 0
                                    

Haiii
Semoga masih bertahan untuk melanjutkan kisah Raga dan Nala.
Kasih vote dulu.

Selamat baca^^

BAB 29: KITA CARI KESEMBUHAN ITU

Mau berapa kalipun, kalau sama kamu nggak pernah ada kata bosan.

•••

Manusia, kadang kalau lagi bingung, banyak sekali rencana yang tercipta di kepalanya. Tapi, tidak satupun yang terealisasi. Kebingungannya tetap menjajah. Sampai di kepala isinya cuma kalimat "gimana ya?".

Itu wajar. Kadang manusia sesekali ditempatkan pada situasi yang membuatnya harus memilih. Memilih satu rencana dari banyaknya rencana yang ada di kepala.

Di tangan laki-laki itu, tergenggam sebuah brosur. Dengan jelas memaparkan nama kampus dan prodi impiannya. Institut Teknologi Bandung, prodi Ilmu Astronomi.

30 menit yang lalu, beberapa kakak-kakak mahasiswa dari jurusan astronomi, lengkap dengan almamater biru tuanya. Menyalurkan pandangan tentang ilmu astronomi yang sudah mereka tekuni sejak 2 tahun.

Muncul kebimbangan dalam diri laki-laki itu. Mamanya tidak memberi izin. Mamanya punya pandangan yang berbeda agar Raga menekuni bidang yang mamanya inginkan.

Tangannya mengacak rambutnya frustasi. Ia lantas menidurkan kepalanya di atas meja. Dengan tangannya sendiri sebagai bantalan.

Di saat-saat seperti, bukan dirinya saja yang dirundung gelisah dan kebingungan. Teman-temannya yang lain pun seperti itu. Banyak ekspetasi orang tua yang harus mereka wujudkan. Tapi, tidak mau mengorbankan dirinya sendiri.

Raga menarik napas panjang. Sering kali kepalanya pening gara-gara memikirkan ini. Memenuhi ekspektasi orang tuanya dan mengorbankan dirinya. Atau menyelamatkan dirinya dengan menghancurkan ekspektasi orang tuanya.

Untuk mereka yang tidak meneruskan pendidikan lantaran nasib dan kondisi keluarga yang tidak berkecukupan, seringkali mengatakan "enak ya jadi kamu, masa depannya udah keliatan.", "enak jadi kamu, masa depannya terjamin.", "enak jadi kamu, nggak perlu susah-susah buat bisa kuliah.", "beruntung banget hidupmu.".
Dan masih banyak lagi.

Padahal, dari sudut pandang yang mereka tidak tahu, hidup dengan banyak tuntutan dari orang tua tidaklah sepenuhnya menyenangkan. Sudah banyak kali mental dan keadaan diri yang menjadi korban pemenuhan ekspektasi orang-orang.

Padahal seharusnya, diri sendiri adalah yang paling penting untuk dijaga. Penting untuk tetap baik-baik saja tanpa harus pura-pura.

***

Ketiga laki-laki itu berkumpul di meja yang terletak disudut kantin. Ditemani 1 cup mie dengan uapnya yang mengepul. Es cincau jadi yang pertama untuk dinikmati.

Keadaan kantin tidak terlalu ramai. Sebab bell tanda istirahat sudah berbunyi sejak 10 menit lalu. Memudahkan ketiga laki-laki itu untuk mengobrol soal hal-hal yang tidak penting. Bahkan sesekali mengajak mbak Aya—pemilik kantin ikut menimbrung dalam obrolan mereka.

"Lo mau jengukin Nala kan hari ini, Ga?" tanya Lingga. Fokusnya tetap pada 1 cup mie yang masih mengepulkan uap panas.

"Iya." jawab Raga singkat.

"Bawa semangat yang banyak Ga, buat Nala," ucap Argan menanggapi.

"Gue mau ikut jengukin deh, boleh kan Ga?" tanya Lingga. Raga menjawabnya dengan anggukan.

"Gue mau bawa buah-buahan yang seger buat Nala, biar cepat sehat. Gue mau berkontribusi untuk kesembuhan Nala," tutur Lingga dengan tangan yang tidak berhenti menyendok mie dari dalam cupnya.

"Beneran lo mau ikut jengukin? Emang mau bawa buah apa lo?" tanya Argan.

"Beneranlah. Bawa alpukat 1 kresek gue, kebon ayah gue abis panen banyak."

Lingga meletakkan garpunya di atas cup. Mulutnya menyelesaikan makannya lebih dulu, baru melanjutkan dengan bicara.

"Lo juga haru ikut jengukin, Gan. Nggak adil kalau cuma berdoa doang," ucapnya lantas kembali mengaduk mienya yang tinggal separuh. "Orang sakit itu butuh semangat dari banyak orang. Jadi, lo harus ikut serta. Kesembuhan itu datangnya nggak cuma dari obat, tapi dari semangat yang kita kasih juga."

"Kita jengukin Nala sama-sama hari ini," pungkas Raga.

"Kita aja Sanji sama temen-temennya yang lain kalau mau ikut," imbuh Argan.

"Ide bagus tuh!"

***

Kaki jenjang itu melangkah menaiki anak tangga satu demi satu. Sampai di depan ruang yang ia tuju, ia mendudukkan dirinya di kursi tunggu.

Matanya menatap gadis yang masih terbaring tak sadarkan diri di balik jendela kaca. Wajah yang biasanya terlihat ceria itu kini redup tak berwarna, meninggalkan pucat pasi yang jelas.

Tangannya dipasang infus. Wajahnya dililit selang oksigen agar gadis itu tetap bernafas. Raga tidak tahu bagaimana keadaan gadis itu secara jelas. Apakah sudah lebih baik dari kemarin, atau masih sama, atau bahkan jauh dari kata baik-baik saja.

Hingga hari ini doanya masih sama. Semoga Nala lekas membaik, semoga Nala baik-baik saja, semoga Nala lekas pulih. Namun, untuk saat ini, doanya yang paling serius adalah semoga cepat bangun.

Raga ingin mata bening itu kembali tebuka. Senyum manis itu kembali merekah. Meski meninggalkan pucat pasi, Raga ingin wajah itu kembali melihatnya. Kembali menatapnya dengan tatapan teduh dan senyum manis.

Raga ingin hari-hari seperti ini tak pernah terjadi.

****

Bab kali ini cukup singkat.
Semoga tetap menantikan kelanjutan kisah Raga dan Nala.
Jangan lupa vote dan komen.

See u next part ^^

RAGAKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang