BAB 41

222 10 0
                                    

Haii
Ketemu lagi dengan Raga dan Nala.
Semoga betah sampai ending ya.

Selamat baca^^

BAB 41: HILANG YANG MENJELMA RINDU

Hadirmu memang pergi. Tapi, kenangannya menjelma kerinduan tak terperi.

•••

Seorang suster berusia 27 tahun masuk membawa troli makanan. Suster itu punya kegiatan rutin, yaitu mengantarkan makanan kepada semua pasien. Setiap hari suster itu mengantarkan makanan ke ruangan para pasien, ia menjadi saksi setiap ruangan dengan pasien yang silih berganti. Ada yang keluar ruangan karena sudah saatnya pulang ke rumah, pun ada pula yang pulang ke pemilik segalanya.

"Kepalanya masih pusing neng?"

Nala tersenyum. "Nggak, Sus."

"Sarapannya tadi dimakan nggak?"

"Sedikit," Nala nyengir diakhir kalimatnya.

"Loh, kok sedikit, sih? Yang banyak atuh, biar cepet sembuh."

Suster itu bergerak mengambil wadah makanan yang masih tersisa banyak isinya. Benar yang Nala katakan. Ia hanya memakannya sedikit.

"Suster... Emang pasien sakit kanker bisa sembuh ya?"

Pertanyaan itu sontak membuat suster itu termangu. Pergerakannya yang hendak mendorong troli itu keluar kamar terhenti. Otaknya berkeliaran mencari jawaban yang bisa ia katakan. Meski sejujurnya kalimatnya hilang begitu saja dari kamus bahasanya.

"Neng, harus percaya atuh. Dokter udah kasih penanganan yang terbaik, orang-orang udah kasih harapan dan amin paling serius. Jadi, jangan nyerah."

"Jangan nyerah pada takdir yang membawamu ingin terpuruk lebih dalam."

Ya, bertahan pada harapan-harapan yang tak kunjung menemui jawabannya, membawa Nala semakin lemah rasanya. Banyak kekhawatiran yang muncul tiap kali ia teringat cerita-cerita tentang para penderita penyakit yang sama sepertinya. Bahwa seseorang yang dinyatakan sakit kanker, ia hanya cukup hidup sebisanya, buka selamanya.

"Neng, kalau pacarnya jengukin, disuruh masuk atuh. Kasian di luar terus."

Nala tertegun. "Pacar?"

"Iya, yang ganteng itu. Tiap hari nanyain gimana keadaan neng."

Oh, Nala paham. Laki-laki yang suster maksud adalah Raga. Nala kembali tertegun. Ternyata benar laki-laki itu selalu menjenguknya. Hanya saja tak pernah berani untuk menemuinya. Entahlah pergi kemana seluruh keberaniannya.

Satu fakta yang harus ia sadari bahwa laki-laki itu bukan pacarnya lagi. Mereka selesai, hubungan mereka berakhir. Berakhir pada hubungan yang sedang tidak baik-baik saja, sama saja seperti mengakhiri hidup dalam keadaan sakit-sakitnya. Berfikir bahwa keadaan akan membaik jika semuanya selesai sebelum sakitnya lebih parah. Padahal itu hanya akan menumbuhkan sakit yang beranak pinak. Menumbuhkan duka yang menyelubung dalam hati.

"Dia udah bukan pacar saya lagi, Sus."

Tersirat begitu banyak kesedihan dalam kalimat itu. Bahwa benar, tak ada kepemilikan lagi atas laki-laki itu. Mereka berjalan sendiri-sendiri. Bahkan sebelum mereka memperbaiki salah paham yang membuat mereka harus berakhir.

"Loh, bukan?"

"Kita udah putus. Hubungan kita selesai."

Tampaknya suster itu cukup terkejut mendengar fakta menyakitkan dari Nina. Memulai dan mengakhiri, itu memang satu yang tidak terpisahkan. Maka akan selalu ada akhir dari setiap sesuatu yang dimulai.

"Suster... Menurut suster, saya salah ambil keputusan nggak, Sus?"

"Tergantung apa masalahnya," jawab Suster menjeda ucapannya. "Hubungan itu, bukan cuma tentang dua orang yang saling menyatu. Cinta, kasih, sayang, paham, dan mengerti, itu harus ada dalam sebuah hubungan agar terikat kuat. Hubungan bisa bertahan bukan karena nggak ada masalah. Tapi, gimana caranya dua orang itu menghadapi masalahnya sama-sama tanpa melibatkan egonya masing-masing."

"Kalau udah sama-sama nggak mau saling ngerti, maka di situ letak masalahnya. Hubungan itu bisa saja berakhir karena salah satu lebih mementingkan egonya sendiri. Atau bahkan keduanya."

Nala termangu mendengar penuturan suster barusan. Ia baru menyadari bahwa hubungannya berakhir bukanlah karena keadaannya yang jadi masalah. Melainkan ego. Nala dan Raga sama-sama tidak mau memaklumi egonya masing-masing. Membuat hubungan ini selesai tanpa ada penjelasan yang mampu menjawab semua tanda tanya.

"Berarti saya salah ya, Sus?"

"Belajarlah dari kesalahan, Neng. Mau kamu nggak salah pun, manusia akan tetap pergi. Sudah begitu hukum alam. Sejatinya, pertemuan adalah penyambutan perpisahan yang akan datang."

***

Pukul 20.00 Nala duduk sendirian di kursi tunggu depan ruangannya. Tangannya memegang stand infus yang berdiri membawa kantong infusnya. Netranya menatap sendu ke arah pintu kamar Alamanda.

Air mata mulai menggenang di pelupuknya. Nala rindu. Ia merindukan Javi yang selalu menemaninya setiap kali Nala bosan tidur di kamar ruangannya. Laki-laki itu akan menghampirinya dengan carrot cake yang Nala tidak suka rasanya.

Sekarang tidak lagi, ruangan itu kembali sepi. Benar seperti yang suster tadi bilang. "Sejatinya, pertemuan adalah penyambutan perpisahan yang akan datang."

Setiap kamar pasien selalu silih berganti penginapnya. Seseorang datang dan pergi, berangkat dan pulang, bertemu dan berpisah, memulai dan berakhir. Semua itu hukum kehidupan yang tidak dapat diubah-ubah lagi kadarnya.

Ia kembali kesepian. Bahkan lebih kesepian dari sebelumnya. Karena ia tidak bisa lagi mengharapkan Raga untuk menjenguknya. Ia tidak boleh mengharapkan kedatangan seseorang yang bukan miliknya lagi.

****

Terimakasih sudah mampir baca bab kali ini.
Maaf untuk akhir-akhir ini bab Raga Nala nggak terlalu panjang seperti biasanya.
Aku lagi kehilangan semangat menulis.
Tapi, tenang aja, part berikut bakalan kaya part-part sebelumnya yang selalu panjang.

Vote dan komen biar aku semangat lanjutin kisah Raga Nala ya.
Follow Instagram aku: suararaga_

See u next part ^^

RAGAKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang