BAB 33

156 8 0
                                    

Halo
Sebelum baca jangan lupa vote dulu.
Bacanya pelan-pelan ya.

Selamat baca^^

BAB 33: PERCAKAPAN YANG MULAI BASI

Kalau semua manusia mencintai karena fisik, mungkin setelah ini cinta tidak lagi berpihak di kita.

•••

3 kali Nala melakukan panggilan. Namun berakhir tak terjawab. Ia melakukan panggilan untuk yang ke 4 kali. Panggilan itu terhubung. Terdengar samar-samar suara tawa seorang gadis di ujung sana.

"Halo," ucap Nala mengawali panggilan itu.

"Halo, Na," laki-laki itu bersuara kemudian.

"Kak, lagi di mana?" tanya Nala datar.

"Kenapa, Na?" Laki-laki itu justru balik bertanya.

"Aku tanya lagi di mana?" Nala menekankan pertanyaannya.

"Aku lagi belajar," jawab laki-laki itu.

"Di luar? Sama cewek?" tanya Nala nadanya mengintimidasi.

"Sama temen aku, Na."

"Temen deket, Kak?" Nala semakin tersulut emosi kala laki-laki itu tidak terus terang dengannya. Ia menutup-nutupi hal yang Nala sendiri sudah tau jelasnya.

"Kamu kenapa sih, Na?"

"Aku kenapa? Aku lagi sakit Kak, dan Kak Raga keluar berdua sama cewek?" Nala menaikkan nada bicaranya. "Harusnya aku yang tanya Kak Raga kenapa."

Nafas gadis itu memburu. Nala bukanlah tipe gadis yang suka marah-marah. Maka ketika emosi itu menguasai dirinya, dirinya seperti akan ikut melebur. Ia lemah jika untuk menahan tangis kala dirinya emosi.

Setelah ucapannya yang terdengar tinggi, matanya mulai berkaca-kaca. Tenggorokannya seperti tercekat untuk sekedar mengeluarkan kalimat kembali. Padahal banyak sekali pertanyaan yang ingin ia tanyakan pada laki-laki itu.

"Aku udah bilang, Na. Dia temen aku. Temen belajar doang," ucap laki-laki itu mencoba menenangkan Nala. "Udah deh ngomongnya jangan pake emosi gitu. Malu didenger banyak orang."

Nala meremas sisi kasurnya. Ia tak percaya dengan apa yang ia dengar. Apakah Nala adalah sesuatu yang memalukan? Apakah emosi Nala adalah sesuatu yang tidak boleh dilampiaskan? Jadi, laki-laki itu malu jika harus mendengar suara Nala yang marah-marah di telpon?

"Malu? Kamu malu, Kak, telponan sama aku?" tanya Nala tidak percaya.

Terdengar suara laki-laki itu menghela napas. Entah di mana laki-laki itu mengangkat telponnya. Apakah laki-laki itu berdiri di luar kafe agar percakapannya tidak didengar oleh teman belajarnya. Atau tetap berada di dalam kafe sembari didengar banyak pengunjung hingga membuatnya malu untuk mendengarkan Nala marah-marah.

"Na, lebih baik kamu istirahat. Sekarang bukan waktu yang tepat buat telponan."

Panggilan itu dimatikan secara sepihak. Nala menata layar ponselnya tidak percaya. Ia tidak tau apa yang sedang dialami Raga sampai-sampai laki-laki itu ikut tersulut emosi. Padahal Nala hanya ingin Raga berterus terang. Bahkan jika teman belajarnya memang benar-benar teman biasa, Nala ingin mendengar penjelasan itu secara langsung dari mulut Raga. Tidak harus dengan cara menerka-nerka seperti ini yang menciptakan pikiran-pikiran yang tidak-tidak.

RAGAKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang