BAB 40

233 10 0
                                    

Haii
Ketemu lagi dengan kisah Raga dan Nala.
Semoga betah sampai ending ya.

Selamat baca^^

BAB 40: KABAR BERAKHIRNYA KISAH KITA

Jika semua hal selalu punya akhir, aku mau hubungan kita adalah yang tak punya ujung.

•••

Pukul 16.00, seperti hari-hari yang sudah berlalu banyak. Raga selalu mendatangi kafe yang selalu jadi tempatnya untuk belajar. Ujian sekolah tinggal menghitung hari. Maka, untuk bisa memberikan yang terbaik, ia harus melakukan yang terbaik pula.

Raga datang ke kafe lebih awal dari jam yang dijanjikan seperti biasa. Mengisi tempat kosong di sudut kafe. Beberapa buku pelajaran sudah tergeletak di sebelahnya.

Mengingat kejadian kemarin, Raga masih tidak bisa menerima jika hubungannya harus berakhir. Semalaman ia tidak bisa tidur. Kantung mata serta jejak hitam menghiasi bawa matanya sekarang. Terlihat sekali betapa lelahnya ia. Raga harus menerima fakta bahwa ia harus melepaskan Nala.

Raga mengangkat pandangannya kala menyadari seseorang telah mengisi tempat kosong di depan mejanya.

"Oh, udah dateng," ucap Raga sembari menegakkan tubuhnya.

Gadis itu tak menjawab. Bahkan matanya menatap tidak senang ke arah Raga. Entah apa alasan di balik tatapan itu. Raga menyadarinya, tapi ia tidak ingin bertanya. Takut mengganggu emosinya saat ini.

"Kita lanjut belajar soal yang kemarin. Untuk soal nomor 34 pake rumus yang kemarin," ucap Raga membuka bukunya. "Mana yang belum lo ngerti?"

"Otak lo."

Raga terkejut. Ia sontak menatap gadis itu yang menatapnya dengan tatapan tajam.

"Otak lo yang gue nggak ngerti. Gue nggak ngerti sama cara pikir lo. Kenapa lo sembunyiin dari Nala sih, Ga? Kenapa lo nggak pernah cerita kalau kita cuma teman belajar?" Alin menatap Raga tidak percaya.

"Lin, gue nggak maksud kaya gitu—"

"Ga, lo menciptakan kesalahpahaman di hubungan lo sendiri. Lo udah 18 tahun, harusnya lo ngerti kalau dalam hubungan itu nggak boleh ada rahasia." Alin tak habis pikir. Ia bahkan tidak mau mendengarkan penjelasan dari mulut Raga. 

Ia datang ke kafe hari ini bukanlah untuk belajar. Melainkan untuk memaki laki-laki itu. Ia tak peduli lagi, ia beranjak dari sana meninggalkan Raga yang merasa bersalah atas semua kejadian yang telah terjadi.

Biarlah laki-laki itu berfikir. Biarlah laki-laki itu merenungkan segala kesalahan yang telah terjadi.

***

Semua sakit perlu obat. Meski tak sepenuhnya menyembuhkan, setidaknya sedikit membuat penderitanya mereda.

Maka, di tempat balapan ini, Raga ingin meredakan sedikit sakit di hatinya. Meski nanti akan sakit lagi. Tampaknya memang tak akan bisa sembuh.

Raga datang ke tempat balapan ditemani kedua temannya, Lingga dan Argan. Pukul 22.55 tempat itu sedang ramai-ramainya balapan motor saat ini. Mereka bertiga hanya berniat nonton, sebab balapan bukanlah kebiasaan mereka.

"Lo pasti lagi ada masalah ya sampe ngajakin kita ke sini?" tebak Lingga.

Raga tak menjawab. Tatapannya kosong menatap jalanan yang dipenuhi teriakan dari para penonton di tepi jalan.

"Kalau ada masalah jangan dipendem sendiri," ucap Argan menyikut tangan Raga di sebelahnya.

"Gue putus sama Nala," ucapnya pelan. Tatapannya semakin kosong menatap ke depan. Sekehilangan itu Raga jika harus dipaksa melepaskan gadis yang ia cintai. Hatinya selalu tidak terima mengingat kalimat perpisahan dari gadis itu.

"Gue takut gue salah denger. Apa lo yang salah ngomong, Ga?" Lingga mencoba bercanda di sebelahnya. Namun, kalimat candaan itu tidak digubris oleh Raga. Membuat Lingga merasa bersalah.

"Beneran putus ya?" tanya Argan. Raga mengangguk. Hela nafas laki-laki itu terdengar lelah dan pasrah sekali.

"Pasti ada alasan kenapa lo berdua bisa putus," ucap Argan.

"Gue. Gue yang jadi alasan kita berdua putus," jawab Raga.

"Lo bikin kesalahan?" tanya Lingga. Raga mengangguk.

"Fatal?" Raga lagi-lagi hanya mengangguk.

"Gue jarang nemuin Nala. Banyak yang nggak gue ceritain ke dia. Dari situ jadi banyak salah paham. Gue yang nggak pernah cerita apa-apa ke dia. Dan gue yang udah jarang temuin dia," jelas Raga.

Memang, kadang dalam suatu hubungan yang terpenting adalah komunikasi. Dalam hubungan butuh pemikiran yang berjalan dua arah bukan sendirian.

"Pantes aja putus," cetus Lingga. "Itu namanya bukan salah paham. Emang lo yang salah," sarkasnya.

"Ga, mencintai itu sebenernya hal yang sederhana kalau lo udah ketemu perempuan yang tepat. Nala udah mau menerima lo dengan lapang, dengan apa adanya lo, dengan segala kekurangan dan kelebihan yang ada di diri lo. Dia nggak muluk-muluk, Ga," tutur Lingga panjang.

"Lo mencintai Nala, tapi tidak dengan cara yang benar," sambungnya.

"Lo perlu belajar lagi mencintai dengan cara yang lebih dewasa," imbuh Argan.

"Lo salah mengartikan sebuah cinta, Ga. Lo kurang memperlakukan Nala seperti dia merasa dicintai. Lo salah kalau cinta yang lo maksud adalah memberikan semua waktu lo untuk Nala. Mencintai bukan sebatas itu, lo harus bisa ngetreat dia like a queen. Cewek cuma butuh kabar, bukan butuh ketemu setiap saat." Argan berkata panjang lebar. 

"Pada dasarnya, cinta seorang laki-laki dinilai dari pembuktiannya. Bukan sekedar kalimat cinta dan sayang yang dia ucapkan."

"Dia minta putus bukan karena hadir lo nggak ada. Tapi, ketika Nala sakit, lo emang nggak pernah ada buat Nala."

Raga menunduk. Hatinya semakin berat mengingat banyak sekali perlakuannya yang menyakiti gadis itu. Banyak sekali waktunya yang telah terbuang untuk mengabaikan gadis itu. Selama ini, Raga terlalu menyepelekan apa yang gadis itu rasakan. Tanpa sadar, perlakuannya membawanya hingga ke titik ini. Titik di mana gadis itu lebih memilih untuk menyerah pada hubungannya.

"Emang udah kodratnya, Ga. Cinta itu perihal kebodohan. Kalau belum bodoh, berarti belum cinta."

****

Part kali ini sekejap dulu.
Kita sambung di art berikutnya.
Nantikan terus kelanjutannya.

Jangan lupa vote dan komen ya.
Follow juga Instagram aku: suararaga_

See u next part ^^

RAGAKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang