BAB 30

198 8 0
                                    

Haiii
Sebelum baca klik bintang dulu.
Kalau suka boleh komen.

Selamat baca^^

BAB 30: HARUSNYA AKU

Senang melihatmu bahagia. Tapi, kenapa bukan aku bahagiamu?

•••

Masa depan. Itu yang jadi topik perbincangan saat ini. Sesuatu yang masih belum jelas, tapi harus terpikirkan segera. Sesuatu yang belum tentu berjalan semudah yang dibayangkan, tapi bisa jadi tidak tercapai sama sekali.

Ya. Pikiran-pikiran seperti itu, menjadi beban di kepala di usia-usia seperti ini. Diserang oleh krisis kepercayaan diri. Tapi, juga tidak banyak yang bisa dilakukan.

Kelima remaja itu; Raga, Lingga, Argan, Sanji, dan Novan sang ketua kelas, duduk berjejer memenuhi kursi tunggu. Kursi yang mereka duduki menghadap jendela kaca, yang dibaliknya terbaring seorang gadis tak sadarkan diri.

Di tangan mereka, masing-masing terdapat buah tangan yang mereka bawa menggunakan kantong plastik dan paper bag.

Obrolan mereka terdengar asik kala becandaan mengiringi. Namun, jadi tidak menyenangkan ketika perbincangan perihal masa depan jadi topik utama. Para remaja itu masih dirundung galau. Galau akan masa depannya sendiri. Kedepannya akan bagaimana? Mau lanjut kemana?

"Gue mau masuk UI, gue mau ikutin jejak Ayah gue, ambil kehutanan," ucap Lingga.

"Wah, seriusan Kak?" tanya Novan yang duduknya berjarak 1 bangku dengannya.

"Serius gue."

"Terus, kalau udah selesai kuliah, lo mau ngapain?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Raga.

"Ayah gue punya kebon sawit berhektar-hektar, ayah gue pasti butuh seseorang untuk lanjut ngurusin pendistribusian sawit-sawitnya. Dan sebelum gue jadi penerusnya, gue mau cari ilmu dulu."

"Terus cita-cita lo buat jadi pelatih basket gimana?" tanya Argan.

"Ya nggak gimana-gimana. Setelah sampai sini, yang gue fikirkan ternyata masa depan itu adalah apa yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan. Gue akan lanjutin bisnis kebon sawit milik ayah gue, dan gue juga tetep bisa jadi pelatih basket untuk keponakan-keponakan gue. Bagi gue, itu cukup."

Pandangan soal masa depan bagi setiap orang memang tidaklah sama. Kadang, dalam suatu keadaan, masa depan adalah apa yang mereka butuhkan, bukan yang mereka inginkan. Bagi mereka, yang mereka butuhkan untuk masa depannya adalah yang membuat mereka merasa cukup. Cukup untuk diri sendiri, juga untuk orang lain.

Untuk mimpi-mimpi yang pernah mereka inginkan, tetap akan jadi sebuah mimpi. Yang mana, suatu saat akan muncul di ingatan dengan membawa senyuman. Ternyata gue pernah bermimpi untuk jadi seperti ini.

"Kalau Kak Argan mau lanjut kemana?" Meski sebelumnya tidak seberapa kenal, tapi Novan dengan mudah membaur.

"Gue mau ambil filsafat, UI. Tapi, nggak tau. Lihat aja nanti," jawab Argan.

Sejujurnya laki-laki itu masih sama bingungnya dengan Raga. Argan tak punya suport untuk melanjutkan pendidikan. Keluarganya terlalu sibuk dengan dunia kerja. Hingga tak pernah tau, apa-apa yang selalu membuat kepalanya terusik.

"Lo, Ga, mau lanjut kemana?" Lingga melemparkan pertanyaan pada temannya yang sejak tadi diam.

"Gue?" Raga menunjuk dirinya sendiri.

Meski sudah sering kali ditanya akan lanjut kemana. Raga masih tak menemukan titik terang. Masa depannya seolah menunjukkan dua jalan. Yang mana harus ia pilih salah satu dengan benar-benar. Tapi, kebingungan ini tidak selesai-selesai menjajah kepalanya.

RAGAKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang