"Assalamu'alaikum," Fiqri masuk ke dalam rumah selepas ia mengucap salam.
"Wa'alaikumussalam," jawaban salam terdengar.
"Ya Allah, muka kamu kenapa, Fiq? Abah, abah lihat nih putra bungsunya," Umi langsung ribut sendiri ketika melihat kondisi wajah Fiqri.
Fiqri mencium punggung tangan umi. Selepas itu umi langsung membawa Fiqri duduk di sofa ruang tamu.
"Ada apa, mi? Kenapa berisik gitu," abah datang dari dalam menuju ruang tamu.
"Lihat nih," Umi menunjuk kondisi wajah Fiqri. "Umi ambil obat dulu buat bersihin luka kamu, haduh," Umi langsung beranjak pergi meninggalkan Fiqri dan abah berdua di sana.
"Ya Allah, muka kamu kenapa babak belur gitu? Habis berantem kamu? Abah bebasin kamu pilih kuliah bukan buat berantem, Fiqri,"ucap abah lalu ia duduk di sofa.
"Fiqri berantem karena Fiqri nolong orang,bah,"ucap Fiqri.
"Sini umi bersihin lukanya," Umi duduk kembali di sebelah Fiqri setelah mengambil kotak P3K.
"Beneran kamu nolongin orang? Gak bohong sama abah?,"tanya abah.
"Wallahi bah, Fiqri beneran habis bantu or—aws," Fiqri meringis saat umi menekan lukanya dengan kapas yang sudah beri rivanol.
"Umi pelan-pelan. Jangan di tekan lukanya,"ucap Fiqri mengadu.
"Ini umi udah pelan-pelan, Fiqri. Kamu tuh lagian ih berantem muka sampe kaya gini," umi greget sendiri pada putranya yang satu ini hingga tanpa sadar kembali menekan luka di wajah Fiqri yang tengah di obati.
"Awss," Fiqri meringis kembali saat umi menekan lukanya lagi.
"Aduh-aduh. Maafin umi," umi merasa bersalah sebab tak sengaja menekan luka Fiqri.
"Ini luka Fiqri bukannya sembuh nanti malah makin-makin karena umi tekan terus,"ucap Fiqri.
"Habis kamunya bikin khawatir umi tau,"ucap umi.
Abah yang melihatnya hanya geleng-geleng kepala. "Berantem sama siapa kamu, Fiq?,"tanya abah.
"Preman bah,"ucap Fiqri.
"Allahu rabbi. Ngapain kamu berantem sama preman? Mau jadi jagoan? Bukannya kuliah malah berantem sama preman,"ucap umi. Tangannya masih telaten mengobati luka di wajah Fiqri.
"Fiqri kuliah,umi. Fiqri juga bukannya mau jadi jagoan. Fiqri ngebantu orang. Tadi ada perempuan di pinggir jalan mau di lecehin sama preman gak mungkin Fiqri diam aja ngelihat itu,"ucap Fiqri. Umi kini paham dengan luka yang ada di wajah putra bungsunya itu.
"Tapi gimana ini lukanya. Besok ada acara haul akbar kakekmu loh,Fiq. Pasti banyak orang yang datang. Masa kamu hadiri acara bonyok-bonyok gini mukanya," Fiqri lupa sama acara itu. Ia benar-benar lupa kalau esok ada haul akbar di tempatnya.
"Besok Fiqri make masker,"ucap Fiqri.
"Hmm, yaudah. Sekarang kamu istirahat sana. Udah makan belum?,"tanya umi setelah mengobati luka pada wajah Fiqri. Fiqri mengangguk, "Fiqri ke kamar ya,mi,mau mandi,"ucap Fiqri.
"Yasudah. Habis mandi jangan tidur gak baik tidur sore gini,"umi memperingati. Fiqri mengangguk patuh.
"Makasih umi cantik udah ngobatin luka Fiqri. Fiqri duluan ya,mi,bah,"ucap Fiqri lalu ia pergi menuju kamarnya.
Umi hanya geleng-geleng kepala. "Aneh-aneh aja kelakuan anakmu,bah,"ucap umi sesaat setelah Rifqi pergi.
"Anak muda,mi,"ucap abah menanggapi omongan umi.
🦩
"Kok baru pulang,nak?,"tanya bunda saat Zira menyalami bundanya yang sedang berada di ruang TV.
"Iya bun, ada rada macet dikit tadi di jalan,"Zira duduk di sofa sebelah umi.
"Ayah belum pulang,bun?,"tanya Zira.
"Belum. Masih ada urusan di kantor katanya,"ucap bunda. Bunda memperhatikan wajah putrinya itu, "Kamu habis nangis?,"tanya bunda saat memperhatikan muka sembab Zira.
Zira menggeleng, "Nangis? Enggak bun," Padahal dari tadi Zira sudah berusaha terlihat biasa saja tapi kenapa bisa bunda bertanya seperti itu. Feeling seorang ibu memang luar biasa.
"Tapi mukanya kaya habis nangis loh,Zir. Kenapa?,"tanya bunda. Zira menggeleng, "Orang Zira gak kenapa-napa bun. Oh itu kali tadi kelilipan makanya keliatan kaya habis nangis," dusta Zira.
"Emang gak pake helm?,"tanya bunda. "Lupa bun," Zira tersenyum di akhir ucapannya.
"Jangan kebiasaan lupa gitu. Pakai helm tuh penting buat keselamatan kamu di jalan, Zir," bunda menasihati.
"Iya bunda. Zira gak akan lupa lagi pakai helm kalau lagi ngendarain motor,"ucap Zira.
"Harus. Gak boleh lupa," bunda menjawab. Zira mengangguk patuh.
"Bun, Zira ke kamar dulu ya. Mau mandi udah gerah banget soalnya,"ucap Zira.
"Yaudah sana,"ucap bunda. Zira bangkit dari duduknya lalu mencium pipi kanan sang bunda, "Zira ke kamar dulu,bunda," setelah mengucap itu Zira langsung pergi dari sana.
Bunda hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan putrinya itu.
"Maafin Zira bunda karena sudah ngebohongin bunda."
🦩
KAMU SEDANG MEMBACA
EMBUN
Teen FictionMentari masih malu-malu memunculkan dirinya. Burung pagi menyambut kedatangan sang mentari dengan siulannya. Embun pagi meninggalkan jejak diantara dedaunan yang ada di muka bumi. Aromanya menguar ciri khas sekali. Udara masih bersih belum terpapar...