{20}

894 34 0
                                    

Malam itu dua belah pihak keluarga kembali berkumpul di ruang tamu setelah bunda Zira memberi tahu Fiqri bahwa putrinya menerima khitbah dirinya.

Disana kedua belah pihak langsung menentukan tanggal akad dan segalanya sampai keputusan tiba bahwa pelaksanaan akad nikah akan di laksanakan satu bulan lagi.

"Kamu gak keberatan kalau akad nikah akan di laksanakan satu bulan selepas ini?,"tanya Fiqri di sela-sela obrolan di anatra dua keluarga itu.

"Insyaallah zira tidak keberatan,kak,"ucap Zira padahal hatinya meronta apa dirinya benar-benar siap dan apa semua ini tidak terlalu cepat.

Bunda malah bilang kalau sesuatu yang baik itu harus di laksanakan secepatnya.

Setelah merasa semua telah selesai di diskusikan keluarga Fiqri pamit untuk pulang.

"Huaa bunda ini beneran Zira mau nikah? Beneran gak si bun,yah? Anak kalian ini mau nikah, huaaa,"ucap Zira saat mobil keluarga Fiqri keluar dari pekarangan rumahnya.

Aww

Zira meringis saat bunda mencubit pipinya,"Sakit gak?,"tanya bunda.

"Sakit bun, kok Zira di cubit si,"ucapnya sembari mengelus pipi yang menjadi sasaran cubitan bunda.

"Itu artinya kamu gak mimpi dan ini nyata,"ucap bunda.

"Jadi beneran? Bukan mimpi? Jadi yang tadi itu calon suami sama calon mertua Zira? Huaa ya Allah," Zira berbicara tanpa jeda. Ayah dan bunda yang melihat hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah anaknya yang sulit di prediksi.

Ayah merangkul bahu Zira, "Masuk yuk takut calon suami kamu dan mertua kamu balik lagi kesini terus liat modelan calon mantunya kaya gini bisa-bisa mikir dua kali  buat jadiin calon mantu,"ucap Ayah bercanda.

"Ayaaah," Zira merajuk. Bunda dan ayah tertawa lalu kami bertiga masuk ke dalam rumah.

🦩

Setengah persiapan dari acara sudah mulai berjalan. Dua keluarga pun mulai di sibukkan mengurus semuanya karena waktu yang di butuhkan tidaklah banyak.

"Nduk, lusa kamu ke butik buat fitting baju ya,"ucap bunda mengingatkan Zira.

"Sama bunda?,"tanya Zira. Bunda mengangguk.

"Kenapa kok muka anak ayah begitu kaya gak ada semangat. Apa yang lagi kamu fikirin?,"tanya ayah.

Zira menggeleng, "Gak apa-apa yah,"ucap Zira sembari tersenyum meyakinkah sang Ayah bahwa dirinya baik-baik saja.

"Jangan di pendem sendiri,nak. Kalau ada apa-apa ngomong sama ayah dan bunda."

"Iya yah."

"Kamu mau berangkat kuliah bareng ayah?."

"Boleh?," Zira malah balik bertanya.

"Of course,"ucap ayah.

"Si ayah gayanya pake bahasa inggris biasanya juga ngapak,"ucap bunda.

"Gak papa bun biar keren dikit,"ucap sang ayah. Bunda geleng-geleng kepala sedangkan Zira terkekeh mendengarnya.

Fikiran Zira masih berkelana pada satu hal. Menerawang jauh pada praduga-paraduga dalam hatinya.

Zira merapalkan istighfar berkali-kali dalam hatinya. Ia tak boleh seperti ini dengan fikirannya.

"Semoga semuanya bakal baik-baik saja dan Allah ridhai setiap langkahnya."

Selepas dari kampus Zira dan Nuha kini berada di dalam satu cafè yang terletak tak jauh dari area kampus.

"Tumben ngajakin aku kesini?,"tanya Nuha sesaat setelah pelayan pergi dari hadapan mereka berdua.

"I want to tell something for you," ucap Zira.

Nuha menaikan sebelah alisnya, "about?,"tanya Zira.

"Me," ucap Zira. Nuha semakin tak faham, "You?,"tanyanya. Zira mengangguk.

"What?."

"I will married," mendengar itu Nuha langsung membulatkan matanya.

"Kamu bercanda?,"tanya Nuha tak percaya.

"No. I am serious," ucap Zira. Nuha menyipitkan matanya menatap Zira begitu intens. Ia mencoba mencari-cari sesuatu di sana mungkin lebih tepatnya ia masih menganggap ucapan Zira bercanda.

"Aku serius,nuha,"ucap Zira saat Nuha masih memperhatikannya begitu intens.

Nuha mengangguk-anggukan kepalanya, "Ok, ok aku percaya,"ucap Nuha.

"Kapan?,"tanya Nuha.

"Kurang dari dua minggu,"balas Zira.

"Apa!? Kurang dari dua minggu!? Kok kamu baru ngasih tau aku sekarang?,"tanya Nuha suaranya naik satu oktaf. Untung saja keadaan cafè tidak terlalu ramai.

"Suaramu,ha," Zira memperingati. Nuha terkekeh, "Maaf, kelepasan," mendengarnya Zira geleng-geleng kepala.

"Kok kamu gak ngasih tau aku si? Mendadak banget ngasih taunya,"ucap Nuha.

"Baru sempet,"ucap Zira.

"Baru sempet? Heh, bu! Zaman sekarang udah canggih kamu bisa hubungin aku pake handphone. Kita juga masih sering ketemu di kampus ini malah ngomong baru sempet,"ucap Nuha.

"Siapa laki-laki yang berani datang ke rumah kamu terus ngajak nikah? Arsen? Emang tuh anak udah balik dari amsterdam?,"tanya Nuha.

"Kok ke Arsen?," tanya Zira tak faham.

Kalau kalian bertanya-tanya siapa Arsen. Arsen adalah sahabat dari kecil Nazeera. Mereka begitu dekat tetapi dulu sebelum Arsen pergi ke amsterdam untuk melanjutkan pendidikannya di sana.

"Lupa? Bukannya pas lagi nganterin ke bandara dia bilang dia bakal langsung ngelamar kamu kalau dia balik dari amsterdam. Inget, aku ada disana. Aku aja inget kok kamu malah lupa,"ucap Nuha.

"Gak usah diinget. Kita udah lama lost contact semenjak dia pergi ke amsterdam. Aku juga gak anggep ucapan itu serius,ha. Aku udah anggep Arsen itu saudaraku,"ucap Zira.

"Itu urusan kamu deh nanti sama Arsen. Terus kalau bukan Arsen jadi siapa?,"tanya Nuha.

"Kak Fiqri."

"What!?."

"Nuha suara kamu," lagi-lagi Zira memperingati.

"Sorry. Itu kak Fiqri mana? Kak Fiqri yang waktu itu kamu sempet ketuker bukunya? Yang waktu itu gak sengaja juga ketemu di depan masjid kampus? Yang itu, Ra?,"tanya Nuha beruntun. Zira mengangguk.

"Masyaallah serius yang itu? Yang mukanya adem banget kaya ubin masjid? Kok bisa? Kamu pake cara apa kok bisa dapet yang model kaya gitu? Spill dong caranya,"ucap Nuha di akhiri dengan senyuman.

"Spall spill spall spill aku aja gak tau. Aku aja kaget waktu itu dia tiba-tiba dateng terus dateng buat khitbah."

"Fikiran ku tapi lagi gak konsisten akhir-akhir ini. Ada satu yang ngeganjal di hati tapi bingung nyampeinnya,"ucap Zira sembari mengaduk-aduk minumannya yang belum lama tiba.

"Apa?."

Zira mengangkat bahunya lalu ia menyesap minuman miliknya, "Entahlah."

🦩

EMBUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang