{21}

781 35 0
                                    

Hari yang di nanti-nanti pun tiba. Sepasang manusia telah siap untuk mengguncangkan arsyNya mengikat janji di hapadan Allah swt serta di saksikan oleh malaikat dan manusia.

"Bismillah,fiq,"ucap Yusuf sebelum Fiqri memasuki mobil pengantin.

Keluarga Fiqri bersiap untuk menuju ke tempat akad di laksanakan yaitu di tempat mempelai perempuan.

"Syukron katsir, mas," ucap Fiqri. Lalu ia memasuki mobil bersama kedua orang tuanya.

Rombongan dari keluarga Fiqri pun mulai menuju ke rumah sang mempelai wanita. Di perjalanan tak henti-hentinya membasahi mulut dengan kalimat dzikir dan sholat nabi.

Di sisi lain tepatnya di kediaman sang mempelai wanita pun sudah bersiap untuk menyambut kedatangan keluarga mempelai pria.

Dalam rumah yang di jadikan tempat akad sudah di dekorasi sedemikian rupa begitu elegan dengan warna putih dan keemasan yang mendominasi di sana.

"Keluarga Fiqri tengah dalam perjalanan menuju kesini,"ucap bunda yang memang menemani putrinya di dalam kamar bersama Nuha.

Tangan Zira yang di genggam oleh bunda sudah dingin. Hatinya berdebar tak karuan.

"Bismillah,Ra," Nuha membisiki Zira lalu mengelus pundak sahabatnya itu. Zira membalas dengan sebuah senyuman yang menghiasi wajahnya yang sudah di poles oleh make up itu.

Sekitar kurang lebih satu jam rombongan keluarga mempelai pria dan mulai memasuki tempat akad nikah di laksanakan.

Tamu yang di undang tidak terlalu ramai hanya keluarga inti dan orang-orang terdekat saja.

"Minta sama Allah semoga di beri kemudahan, fiq,"ucap Abah. Fiqri mengangguk, "Fiqri juga meminta restu dari abah dan umi,"ucap Fiqri.

"Restu abah dan umi selalu menyartaimu,"ucap abah begitupun dengan umi.

Fiqri mencium punggung tangan keduanya sebelum ia duduk di tempat akad.

Acara di mulai. Satu per satu rentetan acara berjalan hingga akhirnya tiba saat yang di nantikan yakni pembacaan ijab qobul.

"Saudara Fiqri apakah anda sudah siap?,"tanya pak penghulu pada Fiqri yang duduk di seberangnya.

"Insyaallah siap,"ucap Fiqri dengan mantap.

"Silakan menjabat tangan ayah dari mempelai wanita,"titah sang penghulu.

Ayah Nazeera mengulurkan tangannya dan Fiqri menyambut tangan tersebut.

"Yaa Fiqri, Ankahtuka wa zawwajtuka makhtubataka binti Nazeera Putri Arabella alal mahri 'asyarot jiromaat dzahab, wa 'asyarot malayin naqdan, wa taaqim min adawaat alsalaa hallan," ucap ayah dengan lantang.

"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkuur wa radhiitu bihi, wallahu waliyyu taufiq," Fiqri menjawabnya tak kalah lantang dan tegas.

Fiqri begitu haru begitupun dengan Nazeera yang masih berada di dalam kamar.

"Bundaa," bunda langsung ikut memeluk putrinya, "Putri bunda sudah jadi seorang istri sekarang. Selamat ya sayang,"ucap bunda lalu mencium pucuk kepala Zira.

"Jadilah istri yang berbakti, seorang istri yang taat pada suami, seorang istri yang mampu menyejukkan hati dan mata suami ya, nak. Kini ridho mu bukan pada ayah dan bunda lagi tapi pada suami mu,"nasihat bunda.

Air mata sudah tak lagi terbendung. Bunda mengusapnya begitupun Zira yang mengusap air mata di pipi sang bunda.

"Jangan nangis nanti cantiknya hilang,"ucap bunda lalu menjawil hidung Zira.

"Nazeera selamat, temen aku sekarang udah jadi istri. Nanti susah nih kalau mau ngajak hang out,"ucap Nuha.

Zira menatap Nuha lalu memeluk sahabatnya itu, "Jangan gitu, kita masih bisa hang out kok nanti aku bisa izin sama kak Fiqri,"ucap Zira.

"Masa kak? Mas dong manggilnya? Ayang kek gitu,kan udah jadi suami istri," Zira langsung menyubit pinggal Nuha pelan. Nuha malah tertawa.

"Aku manggilnya apa nih nanti? Tetep Zira atau Ning Zira?," Mendengar pertanyaan itu Zira cemberut, "Gak usah gitu,"ucap Zira.

Nuha tertawa puas. "Peace, sakinah mawaddah wa rahmah ya, Zir. Semoga langgeng terus sampe kakek nenek dan sampai maut memisahkan,"ucapnya.

"Terimakasih banyak doanya," Mereka lalu berpelukkan.

Selepas doa selepas ijab qobul selesai Nazeera di bantu oleh bunda dan Nuha di bawa ke tempat acara akad.

Semua mata tertuju pada mereka ketika mereka keluar. Zira hanya merunduk rasanya tak kuat menatap banyak orang di depan sana.

Bunda dan Nuha mengantarkan sampai Zira duduk di sebelah Fiqri. Pak penghulu langsung menyuruh Zira menyematkan cincin di tangan suaminya.

Zira meraih satu cincin yang sudah tersedia di sana. Fiqri sudah menyodorkan tangannya tapi Nazeera masing menimang-nimang cincin yang ada di tangannya.

"Silakan di pasangkan ke suaminya,"ucap pak penghulu kembali memberi intruksi.

Dengan tangan gemetar Zira meraih tangan itu lalu menyematkan cincin yang ia pegang di jari manis suaminya.

"Sekarang silakan cium punggung tangan suaminya sebagai tanda bakti sebagai seorang istri untuk pertama kali,"ucap pak penghulu lagi.

Nazeera menuruti titah tersebut walau tangannya sudah begitu dingin. Zira mencium punggung tangan Fiqri dengan khidmat.

Di sela-sela Zira mencium punggung tangan Fiqri disana Fiqri langsung menyentuh ubun-ubun sang istri dengan tangan satunya.

"Allahumma inni as'aluka min khoirihaa wa khoirimaa jabaltahaa 'alaih. Wa a'udzubika min syarrihaa wa syarrimaa jabaltaha 'alaih,"ucapnya mendoakan kebaikan untuk sang istri.

Zira mengaminkan doa tersebut dalam hati. Ia sangat terharu sampai tak sadar mata indah itu mengeluarkan cairan bening hingga menyentuk punggung tangan sang suami.

"Sekarang silakan suami menyematkan cincin di jari manis sang istri," kini titah penghulu pada Fiqri.

Fiqri meraih cincin yang tersisa disana. Zira mengulurkan tangannya dan Fiqri langsung menyematkan cincin itu di jari manis Nazeera.

"Silakan sang suami mencium kening sang istri," tunggu apa katanya? Cium kening? Ini beneran? Please jantungnya udah gak kuat.

Zira yang masih syok dengan ucapan pak penghulu langsung bertambah syok saat dengan tiba-tiba sesuatu yang lembut menempel di keningnya cukup lama.

Mata mereka bertemu sesaat. Fiqri melempar senyum tipis pada Zira.

Bundaaa zira mau melambaikan tangan ke kamera aja kalau kaya gini. Jantung Zira gak kuat bunda.

🦩

EMBUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang