{30}

792 34 0
                                    

"Ra," panggilan itu membuat Zira yang ada di meja belajar menoleh ke arah kasur.

"Iya kenapa kak? Kak Fiqri butuh sesuatu?,"tanya Zira. Fiqri menggeleng, "masih lama ngerjain tugasnya?,"tanya Fiqri.

"Sebentar lagi kak kenapa? Kakak kalau udah ngantuk tidur duluan aja gak usah nungguin Zira,"ucap Zira.

Selepas makan malam tadi Zira langsung berkutat dengan tugas kampusnya. Kak Fiqri sebetulnya selepas makan malam tadi pun langsung pergi mengajar kitab di asrama santri putra dan baru balik ke ndalem sekitar jam sepuluh. Dan sekarang waktu sudah menunjukkan tepat pukul sebelas malam.

"Kamu pindah kesini aja ngerjain tugasnya,"ucapnya.

Tanpa bantahan Zira langsung membawa laptop dan bukunya menuju ke atas kasur.

Zira duduk di sebelah suaminya sembari menyender ke penyanggah kasur lalu ia kembali fokus mengerjakkan tugasnya.

Fiqri melihat apa yang di kerjakan oleh istrinya itu, "Pusing gak,ra masuk kedokteran?,"tanya Fiqri.

Zira menoleh kepada sang suami, "Lumayan pusing sih tapi ya udah terlanjur mau gak mau ya di jalanin aja,"ucapnya.

"Kenapa milih jurusan ke dokteran dari sekian banyaknya jurusan yang ada di kampus?,"tanya Fiqri.

"Banyak hal waktu Zira ngambil jurusan ini sebenernya pertama karena ini amanat terakhir dari bang Rey. Waktu terakhir abang balik ke rumah sebelum tugas bang Rey bilang sama Zira kalau nanti kuliah ambil jurusan kedokteran, Zira juga gak tau alasan kenapa bang Rey nyuruh Zira milih jurusan ini. Kedua setelah Zira melihat anak-anak yayasan di situ hati Zira makin tergerak buat ikutin saran dari bang Rey buat ambil ke dokteran,"

"Awalnya gak percaya diri ambil itu karena prodinya emang ketat dan biaya yang di keluarin juga banyak tapi ayah sama bunda ngeyakinin Zira kalau Zira bisa," jelasnya.

"Kakak sendiri kenapa ambil hubungan internasional?," Zira balik bertanya.

"Sewaktu saya duduk di bangku SMA cita-cita saya jadi kedutaan besar,ra makanya kuliah saya pilih jurusan itu. Gak tau deh nanti kesampaian tidak untuk saya jadi kedutaan besar indonesia,"ucap Fiqri.

"Jika Allah mengizinkan Insyaallah itu akan kesampaian."

"Kak Fiqri kalau emang udah ngantuk tidur aja gak usah nungguin Zira. Zira beneran gak papa di tinggal tidur duluan. Kak Fiqri pasti cape pulang kuliah sore terus malamnya ngajar. Tidur ya,"ucap Zira.

"Ra."

"Iya kak."

"Kamu belum siap memperlihatkan rambutmu di depan saya ya?,"tanya Fiqri. Zira terdiam mendengar pernyataan itu.

Sudah hampir dua minggu pernikahan mereka berjalan tapi sampai saat ini Zira belum berani menampakkan rambutnya di hadapan sang suami.

"Maaf kak,"ucap Zira sambil merunduk.

Fiqri mengelus tangan Zira, "Kalau emang belum siap melepasnya gak papa gak usah di paksa. Saya akan tunggu sampai kamu benar-benar siap untuk menampakkan rambutmu di hadapan saya,"ucap Fiqri sambil tersenyum.

Zira merasa bersalah pada suaminya padahal suaminya itu berhak untuk melihatnya tapi sampai detik ini Zira masih menutupinya.

"Saya tidur duluan ya, kamu jangan malam-malam tidurnya,"ucap Fiqri yang di balas anggukan kecil oleh Zira.

"Selamat malam."

"Malam,kak."

Tak ada obrolan lagi setelahnya. Selepas membaca doa dan dzikir lainnya sebelum tidur kini Fiqri mulai menutup matanya dengan tangan yang masih menggenggam tangan Zira.

EMBUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang