{28}

743 31 0
                                    

Sekitar jam setengah dua pagi Zira terjaga dari tidurnya. Ia menatap sang suami yang masih tertidur pulas di sebelahnya.

Zira memutuskan untuk beranjak dari tempat tidur dan mengambil air wudhu untuk menunaikan sholat tahajud.

Setelah selesai berwudhu ia langsung memakai mukena dan menggelar sajadah lalu menunaikan sholat malamnya.

Lima menit selesai dengan sholat tahajud di tambah dengan witir kini ia memuji sang pencipta dengan dzikir. Ketenangan selalu dirasakan di saat-saat seperti ini.

Dzikir yang di tutup dengan doa di sambung Zira dengan berbincang pada sang illahi pada waktu malam milikNya.

"Ya Allah, yang maha mendengar lagi maha melihat, yang maha agung lagi maha mulia, terimakasih atas segala limpahan rahmat yang telah engkau karuniakan untuk hamba. Terimakasih atas segala kesempatan hidup yang telah engkau berikan sampai detik ini pada hamba,"

"Ya Allah engkaulah pemilik hati tiap-tiap manusia. Tambatkan terus hati ini padaMu dan juga pada rasulMu. Ajarkan hati ini agar terus mampu mencintaiMu dan RasulMu. Ya Allah, pada waktu malamMu hamba memohon untuk melembutkan hati mertua hamba. Hamba tidak tau kenapa sikap mertua hamba acuh tak acuh dengan hamba. Hamba tak tahu telah berbuat salah apa hingga sikap mertua hamba seperti itu pada hamba,"

"Ya Allah, lembutkanlah, lembutkanlah hati mertua hamba agar mereka mampu menerima kehadiran hamba dalam keluarga ini. Hanya pada Engkaulah hambamu ini memohon, Ya allah. Kabulkanlah,kabulkanlah, Ya allah, aamiin," Zira menutup doanya dengan air mata yang sudah membasahi pipinya.

Ia menutup kedua wajahnya dengan telapak tangan. Fikiran-fikiran bahwa ia tak pantas berada di keluarga ini muncul begitu saja.

Zira gak tau apa skenarioMu, Ya rabb. Zira cuma meminta kuatkan hati Zira menerima segala sikap mertua hamba pada hamba.

Satu usapan lembut di punggungnya membuat Zira mengangkat dan menolehkan kepalan ke samping.

"Eh ya Allah," Zira menghapus air matanya saat mengetahui bahwa suaminya kini berada di sampingnya.

"Kak Fiqri udah bangun? Mau tahajjud? Kak Fiqri wudhu nanti Zira siapkan sarung sama baju kokonya," saat Zira ingin bangkit dari duduknya tangan Fiqri justru menahannya untuk tetap duduk di tempat.

"Gak usah menghindar, Ra. Kamu kenapa? Cerita sama saya jangan di pendam sendiri,"ucap Fiqri sembari menangkup wajah istrinya.

"Zira gak pa–,"

"Jangan bilang gak papa kalau nyatanya kamu gak lagi baik-baik aja,"ucap Fiqri yang berhasil membuat Zira merundukkan kepalanya.

Fiqri menghela nafas lalu memutar tubuh istrinya agar menghadapnya dan menangkup wajah sang istri agar menatapnya.

"Sekarang kita suami istri,ra yang dimana suka duka kita harus saling berbagi satu sama lain. Suka mu itu suka nya saya juga dan duka mu itu dukanya saya juga begitupun sebaliknya. Jangan memendamnya sendiri, ada saya, saya siap mendengarkan segala keluh kesahmu,"ucapnya

"Jangan buat saya gagal menjadi seorang suami karena membiarkan air mata istri saya jatuh begitu saja. Saya mengizinkan air mata itu jatuh hanya untuk kebahagiaan bukan yang lainnya,"lanjutnya.

"Maaf,"lirih Zira. Air mata itu kembali turun membasahi pipinya tapi dengan sigap Fiqri segera menghapus dengan lembut menggunakan ibu jarinya.

"Sudah ya jangan nangis,"ucap Fiqri lalu membawa Zira masuk kedalam pelukannya. Tangannya mengusap lembut kepala sang istri.

"Ceritakan apapun yang ingin kamu ceritakan pada saya. Saya siap mendengarnya, Ra. Jangan di pendam sendiri karena itu bikin kamu sakit nantinya," membuat Zira yang masih berada dalam pelukannya itu mengangguk kecil.

EMBUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang