Stevan menggenggam erat tangan Sagas yang terkulai lemas. Jejak air mata masih terlihat jelas di pipi putih pucat adiknya. Stevan mengecup pelan tangan adiknya, menaruhnya pada keningnya dan memejam. Sungguh, demi apapun Stevan ketakutan.
Bayangan di mana adiknya berlari kencang ke arah jalan raya yang lumayan padat membuat kakinya lemas. Beruntung Sagara tadi mampu meraih tangan adiknya dan menariknya ke belakang.
"Stev, makan dulu, lo juga Gar, biar gua yang jagain Sagas." Stevan menggeleng mendengar permintaan Raja. Dia enggan meninggalkan adiknya,
"Gar."
Sagara berdiri dari duduknya dan melangkah ke arah Stevan, pemuda berwajah datar itu menarik lengan Stevan. Awalnya Stevan hendak protes, namun melihat raut tak enak Sagara membuatnya urung.
Raja mendudukkan dirinya di kursi yang tadi diduduki Stevan. Pemuda itu menatap wajah pucat adik temannya lekat. Raja tersenyum tipis, baginya keadaan sekarang sedikit lebih baik daripada dulu.
Stevan mulai peduli pada adiknya, pemuda itu tak lagi mencaci maki adiknya, tak juga berlaku kasar akhir-akhir ini. Stevan memilih diam, diam-diam menyuruh orang mengawasi adiknya dari jauh.
"Semua akan baik, Sagas. Lo tenang aja."
"Baik, tapi kedepannya akan semakin rumit."
Raja melirik sosok pemuda yang duduk di sofa ujung ruangan dengan matanya yang terpejam. Kaysan membuka matanya, iris hitam miliknya beradu dengan manik coklat madu milik Raja. Raja tak memberi tanggapan apa-apa, namun batinnya membenarkan.
"Lo udah tau dia siapa?" Tanya Raja, Kaysan hanya mengangguk.
"Dan lo diem aja, dari awal dia datang lo udah tau, tapi kenapa malah biarin Stevan terjerumus?" Raja menatap manik hitam kelas milik Kaysan, wajah pemuda itu tak menunjukkan ekspresi apapun.
"Sekarang tidak."
Raja menghela napas. Ini yang sedikit tak dia sukai dari Kaysan. Tindakannya menimbulkan kesalahpahaman antara dirinya dan Stevan. Padahal, apabila Kay mau berbicara di awal, Stevan tak akan tak menyukainya.
"Kay, tolong ya?"
Kaysan hanya mengangguk. Pemuda itu kembali memejam, Raja hanya tersenyum tipis. Pemuda itu kembali menatap Sagas yang masih setia memejam. Sudah ada dua jam lebih sejak mereka membawa Sagas ke rumah sakit dan anak itu belum juga membuka mata.
Raja menoleh ke arah sofa, tempat itu kosong, meninggalkan aroma mint yang menguar kuat dalam ruangan. Raja tersenyum tipis, mata coklat madu nya sejenak menyala-nyala sebelum kembali seperti biasa.
"Belum terlambat, Stev. Lo masih bisa diselamatkan."
<<<
Tian berdiri diam di luar ruang rawat Sagas. Beberapa saat lalu dia mendapat telepon dari Stevan jika Sagas dilarikan ke rumah sakit karena insiden yang tak dijelaskan secara rinci oleh Stevan. Tian yang sedang memimpin rapat penting pun tanpa berpikir langsung menghentikan rapatnya dan melaju ke rumah sakit tempat Sagas dirawat.
Namun laki-laki itu terlihat ragu untuk masuk. Dia hanya berani melihat sang putra dari luar. Sagas terlihat terbaring lemah di dalam dengan sebelah tangannya yang digenggam erat oleh salah satu teman Stevan. Tian mengenalnya dengan baik.
Namun untuk pemuda yang duduk di sofa yang tengah memejam dan tak mempedulikan sekitarnya, Tian merasa belum pernah melihatnya. Tian juga tak pernah melihat Stevan berinteraksi dengan pemuda itu.
Pemuda yang dilihat Tian atau dia adalah Kaysan membuka matanya. Mata hitam yang kelam namun tajam itu menatap ke arah Tian. Tian sendiri mengernyit,
'Dia melihat ku?'
Kaysan menyeringai tipis ke arah Tian namun laki-laki itu melihatnya dengan jelas. Tian mengerjap bingung, namun ketika dia membuka matanya, pemuda itu sudah tak ada di sana. Ruang rawat itu hanya berisi Sagas dan satu teman Stevan.
Tian mengernyit bingung, kemana pemuda tadi? Apa maksud seringai yang ditujukan padanya?
"Papa?"
Tian terperanjat kaget mendengar suara yang terdengar tepat dari arah sampingnya. Laki-laki itu menghela napas lega ketika melihat putra ketiganya yang berdiri tegak di sampingnya.
"Papa kenapa di luar? Masuk aja." Stevan tersenyum tipis tanpa ada yang menyadarinya.
Pemuda itu berharap Tian mulai peduli dengan Sagas. Ini akan menjadi awal yang bagus kan? Stevan juga menyadari jika saudara-saudaranya yang lain lebih banyak diam akhir-akhir ini. Kediaman mewah itu sudah jarang sekali terdengar suara cacian yang ditujukan kepada bungsu Bramata.
"Papa..." Tian menatap ragu putranya. Stevan tersenyum tipis, pemuda itu meraih lengan Tian dan membawanya masuk.
Raja yang melihat sosok Tian pun bangkit, membungkuk kecil seraya tersenyum yang dibalas anggukan oleh Tian. Laki-laki itu menatap Raja ragu, ingin sekali dia menanyakan sesuatu namun Tian enggan. Raja yang menyadari tatapan Tian pun hanya diam. Diam-diam tersenyum tipis.
"Mendekatlah, papa." Stevan mendorong punggung Tian ke depan. Laki-laki terlihat kaku sekali.
Tian ingin berujar namun Stevan sudah keluar ruangan bersama teman-temannya meninggalkan dia sendiri di dalam ruangan ini. Tian menatap Sagas yang terlihat pucat sekali.
Laki-laki itu menghela napas pelan dan melangkahkan kakinya mendekati bankar tempat putranya berbaring. Tian duduk di kursi yang berada di samping bankar. Dengan tangan gemetar dia menyentuh tangan kecil Sagas. Tangannya terasa dingin sekali.
Tian tersenyum miris, dia bahkan belum pernah menyentuh tangan ini sejak anaknya lahir. Bahkan istrinya pun hanya menyusui dia sampai usia sembilan bulan. Setelah itu dia memberinya kepada baby sitter untuk dirawat.
Tian mengangkat tangannya untuk membelai pipi Sagas, terasa lembut sekali. Pipi putih pucat yang terlihat tembam. Lucu sekali. Kenapa Tian baru sadar jika putranya ini menggemaskan? Kemana saja dia?
"Maafkan papa." Tian menunduk memeluk lengan Sagas yang bebas dari infus.
Tian menangis dalam diam di ruangan itu. Stevan yang menyaksikan dari luar tanpa sadar ikut meneteskan air matanya. Wajahnya mungkin tak berekspresi apapun, namun mata yang biasanya tajam itu kini melunak.
"Semua akan membaik, Stev." Raja merangkul Stevan erat dengan senyuman lebarnya. Perkataan pemuda itu terdengar penuh keyakinan. Namun, Stevan menggeleng.
"Sudah terlambat." Lirihnya.
Raja dan Sagara terdiam, dalam batin mereka membenarkan. Waktu sudah berjalan terlalu lama, puluhan tahun berlalu sejak kejadian tak terduga, balas dendam akan dilakukan oleh para jiwa yang selama ini tersiksa. Stevan tak bisa apa-apa, dia hanya bisa menyaksikan peristiwa yang akan terjadi.
"Mereka akan hancur." Lirihnya lagi.
Aroma musk menguar memenuhi koridor tempat mereka berdiri. Stevan melirik sekilas di arah samping kanannya. Mata nya menajam. Menatap objek yang tengah tersenyum lebar menatapnya.
"Sudah waktunya."
Gerakan bibir tanpa suara itu membuat tiga pemuda yang berdiri di depan ruangan Sagas terdiam. Ya, mau mereka berusaha pun, sudah terlambat. Jiwa-jiwa yang tersiksa itu sudah lama bangkit.
Stevan menggenggam tangannya erat, menghela napas panjang dan mengangguk. Setelah itu, aroma musk di sana memudar tergantikan aroma khas rumah sakit yang kuat. Sagara menatap diam koridor di ujung sana.
"Gar, lakukan."

KAMU SEDANG MEMBACA
De Facto (END)
Teen Fiction"Balas dendam terbaik adalah mengirim mu ke neraka!"