35

1.5K 135 5
                                    

Sagas menatap jengah sosok pemuda di depannya. Sedangkan anak-anak yang satu kelas dengannya diam-diam menghela napas panjang. Sudah mereka duga!

"Nama gua Arjuna Baneswara Narayan, Lo bisa panggil Arjuna, Arjun atau Juna. Terserah sih. Oke nama lo?"

Sagas sudah memperkenalkan diri tadi di jam pertama. Sayangnya Arjuna masih menyelami mimpi indahnya. Pemuda itu baru bangun di jam ke empat, yang mana kelas sedang kosong karena guru berhalangan hadir.

"Sagas Immanuel."

Meski begitu Sagas tetap menjawabnya. Walau dengan wajah datar serta tatapan tajamnya. Manik elang miliknya cukup mampu menghunus lawan bicaranya. Namun agaknya Arjuna tak terlalu memperdulikan itu. Toh, dia sudah biasa.

"Hanya itu? Tanpa marga?"

"Lo cuma orang asing."

Atmosfer di sekitar mereka mendadak berubah suram. Arjuna menyunggingkan senyum tipisnya dan Sagas masih dengan wajah tanpa ekspresi nya.

"Gua suka gaya Lo!"

Arjuna berdiri dan menepuk pelan pundak Sagas. Kemudian Arjuna melangkah keluar meninggalkan kelas.

Sagas menghela napas. Dia cukup tahu siapa Arjuna. Anak pemilik sekolah, namun tak banyak yang mengetahuinya. Hanya anak-anak kelas ini dan beberapa orang saja. Bahkan guru pun jarang yang tahu.

Yang mana alasannya tak jauh berbeda dengan Sagas. Sagas memilih tak mengatakan marganya. Menjadi bagian Bramata saja sudah cukup menggemparkan. Apalagi jika orang-orang tahu dia adalah Jovanka?

Sagas hanya tak ingin nama Jovanka menjadi buruk. Rumor yang mengatakan bahwa Jovanka mengangkat seorang putra sudah tersebar luas. Hanya mereka tak pernah berhasil mendapatkan identitas anak itu.

Bagaimana jika mereka tahu jika itu adalah dirinya? Putra bungsu Bramata yang terbuang dan berakhir diangkat anak oleh Jovanka. Benar-benar berita yang mengesankan.

>>>

Sagas menatap kantin yang terlihat sangat penuh. Jika bukan karena dia merasa sangat lapar. Sagas enggan membuang tenaganya untuk berjalan kemudian berdesakan dengan anak-anak lain. Belum lagi suara berisik yang mereka timbulkan membuat Sagas pening.

Setelah mendapatkan makanannya, Sagas duduk di kursi pojok. Hanya meja itu yang nampak kosong. Tak ada seorangpun yang duduk di sini.

Sagas memakan makanannya, abai dengan bisikan-bisikan yang terdengar lumayan keras.

"Dia berani juga duduk di sana."

"Kalau Cendana tau, habis dia!"

"Anak baru itu kan? Ganteng juga."

"Manis si menurut gua."

"Bodo amat! Nasibnya keknya buruk habis ini."

"Anak-anak Cendana otw kantin tuhh!"

"Kasihan ya anak manis itu,"

Sagas meremas garpu nya dengan kencang. Manis?! Siapa yang berani bicara begitu hah?!

Aura yang Sagas keluarkan nyatanya cukup membuat beberapa anak di sekitarnya bangkit dan berjalan pergi dengan wajah tegang. Demi apapun mereka berani bersumpah. Pemuda pemilik wajah manis itu memiliki aura yang sangat buruk!

Sagas menghela napas mencoba mengatur dirinya. Dia itu tampan! Bukan manis! Setiap hari dia berkaca dan Sagas benar-benar melihat ketampanan yang tiada tanding! Bukan wajah manis!!

Camkan itu!

"Woi bro!!"

Seseorang tiba-tiba merangkul akrab pundaknya. Beruntung Sagas belum sempat memasukkan sesendok makanannya, jika iya sudah pasti dia tersedak!

De Facto (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang