Aroma musk tercium samar, Stevan bangkit dari posisi tidurnya dan berjalan ke arah balkon kamarnya. Membuka pintu dan membiarkan angin masuk ke dalam kamarnya. Stevan mencium aroma yang semakin kuat.
"Jadi, sungguh ingin memperbaiki?" Suara lembut namun terdengar datar itu membuat Stevan menoleh.
Seorang laki-laki yang beberapa bulan lebih tua darinya, wajahnya datar, matanya pun menatap Stevan tak berminat. Pemuda itu menyandarkan dirinya pada pembatas balkon kamar Stevan. Stevan duduk di kursi yang ada di sana. Wajahnya memang datar, tapi tidak sedatar orang di depannya.
"Aku tak bisa membantu banyak. Ayah mu itu orang yang teliti, dia mungkin sebentar lagi akan menyadarinya, apalagi kemarin dia melihat Kaysan." Pemuda di depan Stevan itu berujar dengan wajah flat.
"Kee, jangan menyebut namanya di depan ku."
Pemuda itu atau Keenan terkekeh pelan, "Masih tak menyukainya? Padahal kau sudah tahu kebenarannya."
Stevan mendengus kasar mendengar itu. Ya memang, hanya saja Stevan tak menyukai sifat Kaysan yang sekarang, terkesan terlalu...seperti iblis saja. Apalagi mengingat orang itu dengan lancangnya mengklaim Sagas sebagai adiknya. Stevan tak bisa menerima hal itu. Enak saja, dia yang selama ini belum bisa menjadi kakak yang baik dan ingin memperbaiki hubungannya dengan Sagas namun sulit sekali karena sepertinya adiknya itu masih ragu padanya.
Tapi Kaysan, hanya bertindak selangkah dan langsung mendapatkan atensi Sagas. Meski Sagas sepertinya belum mengerti tentang perkataan singkat nan terlalu singkat dari Kaysan.
Stevan makin suram mengingat ketika di UKS kemarin Kaysan dengan lancang mengelus surai Sagas. Ughh pemuda menjengkelkan itu menyentuh adiknya dan kenapa juga Sagas harus diam saja?
Berpikir dari mana Stevan tahu? Keenan.
"Bicarakan langsung dengan Kay, aku lelah harus menjadi perantara."
Angin berembus kencang membuat Stevan refleks menutup matanya. Menghela napas pelan dan membuka matanya, bangkit dan pergi dari sana. Stevan harus kembali ke rumah sakit, Sagas masih belum sadar hingga saat ini.
Stevan menuruni tangga satu persatu. Matanya menatap sosok Elbarak yang tengah berada di ruang keluarga dengan memangku laptopnya. Laki-laki dua puluh tahun itu terlihat sibuk. Stevan memutuskan mendekat.
"Oh Stev, kenapa?" Tanya El yang hanya melirik kecil sosok di sampingnya.
"Abang mau ikut ke rumah sakit?" Entah kenapa Stevan menawarinya.
Dia hanya ingin mencoba, apakah Elbarak akan sama seperti Tian. Setidaknya walaupun sudah terlambat, Stevan tidak ingin mereka menyesal lebih dalam. Setidaknya Sagas harus merasakan seluruh keluarganya menyayanginya meskipun hanya sebentar.
"Siapa yang sakit?" Tanya El, kali ini laki-laki itu mendongak menatap Stevan yang masih berdiri.
"Sagas."
El terdiam mendengar jawaban adiknya. Sagas? Sudah lama El tak melihatnya, terakhir kali kapan ya? Kalau tidak salah ketika ahh El tidak ingat. Dia selama ini jarang pulang ke rumah dan ketika dia pulang dia juga tak bertemu dengan Sagas. Padahal biasanya anak itu akan selalu ada di mana-mana.
"Oke, ayo!"
Stevan menatap El yang menaruh laptopnya begitu saja dan berdiri lantas melangkah keluar. Stevan tersenyum tipis lalu melangkah menyusul sang kakak yang sudah berada di dalam mobilnya.
Mobil mewah itu melaju membelah jalanan yang lumayan padat. Sore hari adalah jadwal para pekerja pulang, tentu kendaraan mereka memadati jalanan yang tak seberapa luas ini. Tak ada yang ingin membuka obrolan, hanya hening yang menemani dalam perjalanan.
Elbarak yang fokus memperhatikan jalan dan Stevan yang diam melihat keluar jendela. Dalam batin pemuda itu, gemuruh cemas tak mau hilang. Kedua tangannya mengepal perlahan, dia tak bisa berbuat apa-apa. Semuanya sudah berjalan, semestinya. Meskipun dia merasa heran karena...kenapa hanya dia yang disisakan?
Satu sisi Stevan merasa bersalah dan tak seharusnya dia menerima semua ini. Di sisi lain, tak bisa Stevan pungkiri bahwa dia merasa senang karena dia akan merengkuh Sagas, adiknya. Dia akan menebus penderitaan belasan tahun yang adiknya itu alami.
Mobil milik Elbarak berhenti di parkiran rumah sakit yang merawat Sagas. Stevan keluar lebih dulu dan disusul Elbarak. Mereka melangkah memasuki rumah sakit milik keluarga mereka. Banyak pasang mata yang terang-terangan menatap mereka, tak sedikit yang memekik tertahan karena melihat Elbarak, putra kedua yang jarang terlihat di publik.
Stevan berdecih, bagian mana dari kakaknya itu yang membuat orang-orang tertarik? Menurut Stevan, Elbarak tak lebih dari kulkas berjalan yang suka memerintah dan harus dituruti atau kau akan kena akibatnya. Yang secara singkatnya dia adalah kakak yang sangat menyebalkan!
<<<
Kaysan menatap Keenan dengan pandangan menuntut. Suasana yang begitu suram memenuhi ruangan sempit ini membuat Keenan merasa sesak, meski begitu wajahnya tetaplah datar, matanya hanya menatap malas Kaysan yang terlihat menahan amarah.
"Kemari." Suara berat Kaysan merasuk ke dalam gendang telinganya. Keenan menurut dan mendekati Kaysan. Duduk diam di samping pemuda tinggi itu.
"Aku sudah bilang, jangan sampai tertangkap. Tapi kau memancingnya." Keenan menatap Kaysan kesal, sedang pemuda itu hanya tertawa melupakan rasa kesalnya tadi.
Kaysan menatap lamat Keenan yang mendumel tanpa suara. Tersenyum tipis lalu mengusap kasar rambut Keenan.
"Hey!" Keenan memegangi rambutnya yang berantakan sambil menatap Kaysan marah. Kaysan sendiri hanya acuh.
"Jangan menunjukkan wajah datar mu di depan ku."
Keenan tak peduli, pemuda itu bangkit dan berjalan keluar ruangan. Kaysan menghela napas dan menyusul Keenan atau bocah itu akan hilang entah kemana. Aroma mint dan musk yang beradu beterbangan bebas terbawa angin. Dua orang sesama jenis itu berjalan berdampingan keluar dari sana.
Kaysan merangkul erat bahu Keenan yang dibiarkan pemuda kecil itu. Kaysan tersenyum tipis. Dia menginginkan kebersamaan ini lebih lama, namun tugas mereka menuntut mereka untuk bergerak cepat. Yahh, Kaysan akan menikmati Keenan nanti saja.
"Pikiran mu Kay!" Keenan menyikut kuat perut Kaysan, pemuda itu mengaduh kecil lalu tertawa.
"Menurut mu?" Kaysan menunduk menatap Keenan yang membuang napas kasar.
Keenan melepas rangkulan Kaysan dan berjalan lebih dulu. Kaysan menatap punggung Keenan yang perlahan menghilang. Pemuda itu tidak menyusul, urusan mereka berbeda dan Kaysan sedikit kesal untuk itu.
Kaysan berbalik dan masuk ke dalam mobilnya. Membawa kendaraan beroda empat itu dengan kecepatan gila. Jalanan lenggang benar-benar membuat Kaysan kalap.
"Baiklah, kita mulai."
Seringan iblis itu kembali terlihat setelah sekian lama.
<<<
Mohon maaf apabila cerita ini terkesan aneh atau tidak nyambung, yang nulis orangnya aneh juga si, jadinya gitu, ya gitu🗿
