20

2.6K 224 8
                                    

Adam berdiam diri menatap keluar jendela, total abai dengan keberadaan orang-orang yang beberapa kali mencoba mengajaknya berbicara. Adam tidak ingin memberi respon apa-apa, pikirannya penuh dan hatinya selalu merasa sesak. Berkali-kali dia memanggil Sagas ketika dia berada di alam bawah sadarnya, namun pemuda itu tidak kunjung datang menemuinya.

Padang hijau yang luas itu kosong, Adam tidak merasakan perasaan hangat seperti biasa. Rasanya dingin, kosong, hampa, seolah itu hanya padang luas tak berpenghuni. Kemana Sagas pergi?

Beberapa hari ini juga dia tidak bertemu dengan Bianca. Kaysan dan Keenan juga menghilang. Hanya ada Ken, Tian, Stevan dan Elbarak yang menemuinya. Selebihnya, tidak.

Ken memandang sendu Adam yang bahkan tidak pernah melirik ke arahnya sejak dia membuka mata. Pandangan putranya kosong, ada lubang besar yang tergambar di sana. Matanya menerawang jauh. Ken tidak sanggup melihat putranya seperti ini.

Di sisi Tian, pria dewasa itu belum mengeluarkan suaranya. Dia ragu, dia ingin mendekati putranya namun bayangan sikapnya selama ini pada Sagas membuatnya urung. Tian merasa tidak pantas. Dia terlalu jahat untuk berada di dekat putranya.

Elbarak sendiri hanya mampu berdiri kaku, dia tidak pernah menduga bahwa dia akan berada di posisi ini. Dulu, ketika Tian membawa seorang bocah kurus yang pucat ke dalam rumahnya, El merasa senang, setidaknya bocah itu bisa diajak main karena Stevan kecil sudah sangat tercemar sikap Tian, dingin sekali. Sedang Sagas kecil, dia adalah anak ceria.

Tapi, semua itu berubah sejak kematian mama Sagas, Meira. Sejak Bianca yang selalu berusaha mengusik keluarga Bramata. El yang awalnya ramah menjadi dingin. Dia tidak segan melukai fisik Sagas jika itu perlu.

Dan sekarang, jauh dalam sudut hatinya, ada banyak bisikan yang mengatakan bahwa saat ini sudah sangat terlambat untuk memperbaiki sesuatu yang rusak.

Aroma manis menyeruak dalam ruangan. Adam seketika menoleh ke arah datangnya aroma tersebut. Namun ketika netra hitam itu memandangi seluruh ruangan, tak ada sosok yang dia harapkan. Adam menunduk lesu. Itu aroma Bianca, kenapa aromanya ada tapi sosoknya tak ada?

Ken menyentuh sebelah tangan Adam yang tidak terpasang infus. Tangan yang terasa kecil dalam genggamannya itu bergetar pelan. Ken mengelusnya pelan, mencoba memberi ketenangan.

"Papa..." Gumam Adam lirih.

"Kenapa? Sagas mau apa?"

Ken menatap manik kosong Adam yang kini tengah memandanginya. Pemuda itu tersenyum lembut, namun sedetik kemudian wajahnya kembali tidak menunjukkan ekspresi apa-apa. Adam menggelengkan kepalanya pelan.

Dalam pikirannya, semuanya bertabrakan. Kilasan ketika dia mengalami kecelakaan beruntun dan berujung dia menempati raga remaja malang yang tidak dianggap keluarganya. Ingatan-ingatan semasa hidupnya dulu dan Sagas saling bertabrakan membuatnya pusing.

"Papa...aku..."

Adam memandang linglung orang-orang di sekitarnya. Semua ingatan dalam kepalanya semakin saling beradu. Adam merasa bingung. Dia Adam bukan Sagas, iya kan? Dia hanya jiwa yang seharusnya mati.

Adam tidak seharusnya berada di sini. Dunia ini adalah milik Sagas. Adam tidak berhak, dia harusnya sudah mati. Tapi kenapa Bianca membawanya kemari? Kenapa Bianca melakukan hal buruk pada Sagas yang adalah keponakannya sendiri? Kenapa wanita itu begitu tega hanya untuk ambisinya?

Tinggal bersama Bramata selama ini membuat Adam mengerti. Bramata adalah keluarga yang rumit. Melumpuhkan keluarga ini tidak akan mudah. Adam bertahun-tahun melakukan hal-hal kotor di luar sana. Dia paham.

Tapi kenapa Bianca berkata bahwa Adam mampu?

"Hey, nak. Kenapa?"

Adam menatap mata Ken yang menyiratkan kekhawatiran. Adam menunduk melihat tangannya yang tengah di elus pelan oleh tangan kanan dari ayah yang dia tempati raganya. Pria di depannya ini begitu tulus. Adam yakin, jika dia tahu bahwa Sagas nya telah pergi, pria itu pasti akan sangat bersedih. Apalagi jika dia juga tahu bahwa wanita yang dia cintai lah yang membuat kejadian aneh ini datang.

"Aku harusnya sudah mati..."

Hati Ken rasanya teriris mendengar gumaman pelan remaja di depannya yang sudah dia rawat sejak anak itu masih kecil. Ken langsung menarik tubuh Adam ke dalam dekapannya. Ken merasa dada nya basah, Sagas nya menangis.

Tian dan yang lain hanya bisa memperhatikan. Diam-diam mereka mengepalkan tangannya kuat. Hati mereka sakit. Apalagi ketika mendengar tangisan Adam yang semakin kencang. Remaja itu meraung di dalam dekapan Ken.

"Aku... harusnya aku sudah mati."

"Hey, putra papa kenapa ngomong gitu hm?"

Ken mengangkat dagu Adam membuat remaja itu mendongak menatap mata nya. Tak ada cahaya di sana, mata itu begitu kosong.

"Aku ga seharusnya di sini."

"Papa..."

Adam menggelengkan kepalanya. Dia harus kembali ke tempatnya. Dia harus menemukan Sagas untuk meminta padanya kembali ke dalam raga nya. Tubuh ini, dunia ini, keluarga ini, semua masalah ini adalah milik Sagas.

Dia harus mencari Bianca. Bianca harus membawanya kembali. Adam tidak mau tahu. Dia tidak pernah menerima semua kejadian tak masuk akal ini. Adam tidak bisa menerimanya!

"Maafkan aku, semua sudah selesai, Adam. Tak ada yang tersisa. Kamu tidak bisa kemanapun karena dia telah mati."

>>>

Kita kembali ke beberapa saat lalu...

Ruangan yang sama, Bianca kembali ke dalam ruangan yang sama. Dan lagi-lagi Bianca mengalami hal yang sama. Dia tidak bisa kemana-mana. Dinding ini terasa dingin sekali. Lantai ini terasa seperti duri, kaki Bianca yang tanpa alas rasanya perih ketika menginjaknya.

Bianca duduk diam di pojok ruangan. Tak ada cahaya sama sekali. Tapi Bianca bisa melihat bahwa ruangan ini benar-benar kosong tak ada apapun. Hanya ada dirinya, sendirian. Sebuah jiwa malang yang tidak bisa pergi ke nirwana karena sebuah dendam yang tak bisa dibalas kan.

Selama bertahun-tahun dia tersiksa. Selama itu pula Bianca selalu mencari berbagai cara untuk menghancurkan Bramata. Kumpulan orang-orang yang sudah membuat kelurganya menderita.

Agaknya Bianca lupa pesan ayahnya, wanita itu sudah terlalu jauh termakan dendamnya. Kilatan dalam matanya hanya berisikan ambisi untuk menghancurkan Bramata.

"Sagas..."

"Bibi, dengan membunuh ku, bibi tidak akan mendapat apa-apa."

Bianca mendongak, aroma segar khas pohon pinus tercium olehnya. Matanya menangkap sesosok remaja dengan kulit putih pucat yang tengah berjalan ke arahnya dengan pelan. Bibirnya tersenyum lembut membuat hati Bianca terhenyak. Bahkan dia masih bisa tersenyum kepadanya setelah semua ini.

"Bibi, hentikan ya? Adam tersiksa. Biarkan dia menjalani hidup nya dengan baik tanpa beban dari kita."

Sagas, pemuda pucat itu menyentuh tangan Bianca membuat wanita itu menegang karena sensasi dingin yang sangat dari genggaman pemuda itu.

"Tidak! Kakak ku, ibu mu, dia menderita karena bajingan itu, Sagas! Aku tidak rela! Bahkan bajingan itu membunuh ayah ku dengan kejam! Ini tidak adil!" Teriak Bianca, namun Sagas hanya tersenyum menanggapinya.

"Tidak adil memang. Tapi bukan berarti kita harus membalas. Itu bukan tugas kita. Ayah akan menerima semua bayarannya nanti. Bukan dari kita." Sagas berujar pelan.

Tapi agaknya wanita di depannya ini sudah terlanjur keras kepala. Sejak dulu, Sagas tidak pernah berhasil meluluhkannya. Bahkan Herjuno pun tidak sanggup dan berakhir membiarkan segalanya hingga ajal menghampirinya.

"Aku mohon, bibi. Aku tidak bisa berada di sini lagi, aku sudah mati dan bibi pun begitu. Ayo kita kembali ke rumah kita."

Bianca menggelengkan kepalanya. Wanita itu menangis dalam diam. Sagas hanya tersenyum.

Sagar tak ingin semua ini berlanjut. Dia tidak mau menambah beban Adam lagi karena musuh Bramata yang sebenarnya bukanlah Bianca dan segala dendamnya. Ada seseorang yang lebih dari bibi nya. Seseorang yang tak akan ragu melakukan apapun. Sama seperti dia melakukannya pada Meira, ibu nya.

Sagas akui dia memang pengecut karena tidak bisa melawan Bianca hingga membuat Adam ada di tengah-tengah masalah mereka. Membuat pria dewasa yang seharusnya tenang itu menjadi berantakan.

'Tapi sekarang, aku memberi mu tubuh ku untuk kamu hidup dengan baik, Adam Stevanus Jovanka.'

>>>

Membingungkan pasti! 😭
Bingung ya? Sama kok :)

De Facto (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang