Adam mematut dirinya di depan cermin, tersenyum puas melihat penampilan dirinya sendiri. Rambut yang semula memanjang hingga hampir menyentuh pundak itu kini sudah sirna. Semalam Adam memangkasnya karena demi apapun wajahnya jadi terkesan seperti perempuan daripada laki-laki.
Setelah merasa puas, Adam melangkahkan kaki nya keluar. Beberapa penjaga yang berjaga di lorong membungkukkan badannya ketika melihat tuan muda mereka. Adam menuruni tangga dengan bibir bersenandung kecil.
Mood nya sedang bagus sekali pagi ini dan semoga para iblis itu tidak menganggunya. Adam membawa langkahnya mendekati Ken yang sudah duduk anteng di kursi meja makan. Ken yang menyadari kedatangan putranya pun tersenyum manis.
"Papa, aku langsung berangkat ya?"
Adam mengabaikan tatapan-tatapan tajam yang dilayangkan Tianjing dan dua iblis lainnya. Sedang Stevan sendiri dia belum kelihatan. Ah mungkin sedang menghabiskan waktu ekhem berduaan dengan Bella karena kebetulan perempuan itu menginap.
"Sarapan dulu, tidak baik melewatkan sarapan." Adam menggeleng, dia mana sudi duduk satu meja dengan iblis-iblis tak punya hati ini.
"Sarapan di kantin saja. Bye papa."
Adam melenggang pergi setelah mencuri satu kecupan pada pipi Ken. Sedang pria itu hanya bisa tertawa kecil.
"Apa?" Ken memandangi Tian dan dua anaknya dengan pandangan bertanya, pasalnya mereka menatapnya seakan-akan ingin memakannya. Padahal kan kalau lapar tinggal memakan makanan yang sudah tersaji di hadapan mereka.
Tian berdeham dan menyuruh untuk memulai sarapan setelah Stevan dan Bella turun. Tak ada percakapan, hanya suara dentingan sendok yang berudu dengan piring lah yang mengisi nuansa suram di kediaman Bramata.
Sedangkan Adam sendiri tengah memacu motornya dengan kecepatan penuh, menyalip kendaraan-kendaraan dengan lihai dan terkadang melakukan manufer kecil. Adam merasa merindukan saat-saat seperti ini.
Ahh dia jadi ingat ketika dia masih hidup sebagai Adam dulu. Membelah malam dengan motor kesayangannya dengan puluhan orang yang mengejarnya. Selalu seperti itu, entah pagi, siang, sore atau malam. Tetapi, Adam menikmati nya.
Sensasi melarikan diri dan bersembunyi, Adam selalu berhasil menikmatinya dengan baik.
'Kau sudah berusaha yang terbaik, Adam.'
Adam menambah kecepatan motornya. Motor hitam itu membelah jalanan lenggang pagi yang masih terdapat sedikit kabut. Mengabaikan rasa dingin menyerang kulitnya yang tanpa perlindungan apa-apa, Adam terus memacu kendaraannya.
Motor hitam miliknya memelan ketika memasuki gerbang sekolah. Banyak pasang mata yang terang-terangan menatapnya. Adam sendiri tidak mempedulikan itu. Sedangkan mereka terus menatap Adam dengan bisikan-bisikan kecil sebagai pengiring.
Tentu kehadiran Adam menjadi sebuah topik hangat. Sudah satu minggu tuan muda Bramata itu tidak datang ke sekolah. Tak ada keterangan apapun tentangnya. Stevan dan siapapun yang berhubungan dengannya bungkam.
Adam melangkahkah kakinya meninggalkan manusia-manusia yang asyik bergosip ria, padahal hari masih pagi sekali. Pemuda itu melewati lorong menuju kelasnya dengan ekspresi datar.
Namun langkahnya tiba-tiba terhenti ketika Adam menangkap siluet seseorang di kejauhan. Adam merasa tubuhnya menegang dan kepalanya berdenyut kencang. Bibir pemuda itu memucat. Netra hitam Adam melebar ketika orang itu tersenyum ke arahnya.
'Siapa?'
Adam meremat dada nya yang tiba-tiba terasa ngilu. Tubuh pemuda jangkung itu meluruh perlahan. Koridor sepi, tak ada seorangpun yang berlalu lalang di sana. Entah kemana semua orang. Adam menyandarkan punggungnya pada dinding, tangannya masih setia meremat kuat dadanya yang detaknya terasa kencang sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
De Facto (END)
أدب المراهقين"Balas dendam terbaik adalah mengirim mu ke neraka!"