24

2.7K 215 3
                                    

Adam termenung dalam posisi berbaring, kedua mata hitamnya menatap langit-langit kamar yang berwarna hitam. Pemuda itu sudah terbangun sejak tadi, dia juga tahu jika hari sudah berganti. Namun, Adam merasa enggan untuk bangkit. Dia tidak ingin melakukan apa-apa hari ini. Maka pemuda itu menarik guling nya lagi dan menyamping, menutup kedua matanya kembali.

"Kamu tidak mau bangun, boy?" Suara Bian yang mendadak terdengar membuat Adam membuka matanya paksa. Dia tolehkan kepalanya ke arah pintu. Menatap Bian dengan pandangan malas.

"Kamu tidak ingin melihat ada siapa di bawah?" Tanya Bian yang membuat Adam mengernyitkan keningnya. Tapi setelahnya Adam memilih abai dan kembali berbaring dengan nyaman memeluk guling besarnya.

Bian terkekeh pelan, dibawanya kedua kakinya ke arah ranjang besar yang berisi satu makhluk lucu. Bian memenceti pipi tembam Adam membuat pemuda itu terusik. Tangan kecilnya berkali-kali menepis tangan Bian yang mengganggu, namun pria tua terus mengulangi kegiatannya. Sampai suara pintu kamar yang dibuka dengan keras membuat keduanya terlonjak kaget.

BRAK!

"SAGAS!!"

Adam yang mengenali suara itu langsung bangun dari posisinya membuat Bian kembali terkejut. Adam bergerak turun dari ranjangnya dan menerjang tubuh tinggi di depannya. Adam merengkuhnya kuat.

"Papa..." Gumamnya pelan seraya menyelusupkan kepalanya pada dada bidang Kenzo.

Kenzo tersenyum lebar, tangannya mengelus rambut hitam legam Adam dengan lembut. Kemudian mengecupnya sekali dan melepaskan pelukan mereka. Karena seseorang di belakangnya sudah menatapinya dengan pandangan membunuh.

"Tidak ingin memeluk Daddy?" Tian berjalan mendekat ke arah Adam yang masih memeluk pinggang Ken dengan erat. Pemuda itu sepertinya enggan melepaskannya.

"Daddy? Itu juga Daddy. Aku punya dua Daddy? Daddy ku yang mana?" Adam menunjuk Bian yang sempat terabaikan beberapa saat. Pria itu mendapat tatapan tajam dari Tian. Namun dia hanya mengedikkan bahunya tidak peduli.

"Aku Daddy mu. Dia bukan." Tian mengangkat Adam ke dalam gendongannya.

Sejenak Adam merasa asing, pikirannya kembali berperang. Namun wajahnya masih terlihat tenang meski pening mulai menguasai kepalanya. Adam memilih menyenderkan kepalanya pada pundak lebar Tian. Pemuda itu diam saja ketika Tian membawanya keluar kamar disusul Ken dan Bian yang tertinggal jauh di belakang. Dan sepertinya dua orang itu tengah berdebat kecil.

Tian mendudukkan dirinya pada sofa panjang di ruang keluarga kediaman Bian dengan Adam di pangkuannya. Disusul Ken yang mengambil tempat tepat di sampingnya. Pria itu mengelus rambut Adam membuat pemuda itu mendongak ke arahnya.

Bian berdecih malas melihat pemandangan di depannya. Sudah bukan hal aneh lagi. Apalagi ketika matanya menangkap tatapan Tian yang terlihat ambigu ke arah Kenzo.

"Aku dengar dari anak buah ku, Diana menggugat cerai kamu?" Tanya Bian menatap Tian yang memasang ekspresi datar.

"Ya." Jawab Tian singkat.

"Baguslah, kamu bisa berbuat semuanya dengan dia." Bian mengangkat kedua bahunya.

Sedang Kenzo hanya diam saja. Bahkan ketika dia tahu bahwa Tian terang-terangan menatapnya, pria itu memilih diam dan memainkan rambut halus Adam. Pemuda itu sudah tertidur dalam pangkuan ayahnya.

Tian yang melihat putranya telah tertidur pun bangkit dan berjalan keluar. Dia akan membawanya pulang. Kenzo yang masih di sana juga ikutan bangkit dan membungkukkan badannya ke arah Bian.

"Terimakasih sudah menjaga tuan muda sama dia berada di sini, Tuan Febian. Maaf untuk sedikit kekacauan tadi." Kenzo menatap Bian tanpa ekspresi.

"Hey kau, kenapa masih formal begitu? Sebentar lagi kan kau akan menjadi tuan Bramata juga." Kekeh Bian.

Kenzo memilih abai dan berjalan keluar menyusul tuannya. Bian hanya tertawa kecil saja melihatnya. Bukan urusan dia. Namun sepertinya dia akan sering mengunjungi kediaman Bramata untuk melihat putranya. Sekarang...dia harus membereskan kekacauan yang dibuat Tian tadi.

Di kira pria tua itu akan datang dengan damai apa? Coba lihat! Bagian selatan rumahnya rusak parah karena kelakuan pria empat anak itu.

>>>

Adam membuka matanya perlahan. Mata hitam itu mengamati sekitar dan tersenyum puas. Dia sudah kembali ke kamarnya sendiri. Adam enggan bangun karena kepalanya terasa berat. Ingatannya masih saling bertabrakan membuatnya merasa geram.

"Sudah bangun?" Adam menatap Kenzo yang berjalan masuk ke dalam kamarnya dengan membawa nampan berisi makanan.

"Makan dulu ya?"

Adam bangun dari posisinya dan duduk menghadap Kenzo. Pemuda itu membiarkan Ken menyuapinya hingga makanan di piring itu habis tak tersisa. Setelahnya Adam meminum susu yang juga dibawa Kenzo hingga habis. Ken tersenyum senang melihat Adam menghabiskan semuanya. Ditatapnya pemuda yang kini sibuk dengan ponselnya dalam posisi bersandar pada kepala ranjang. Ken mengusap surai hitam Adam membuat pemuda itu menoleh.

"Semua sudah selesai. Kita akan hidup tenang sekarang."

Adam mengernyit bingung. Apa tadi? Selesai? Adam merasa semuanya bahkan belum dimulai. Bagaimana bisa dikatakan selesai?

"Ayah mu sudah menyelesaikan segalanya. Semua pengganggu sudah musnah, Adam." Ken tersenyum manis. Saking manisnya membuat Adam bergidik ngeri.

'Kalau begini, berarti Tian dan tiga iblis ga mati dong?'

Adam tidak memberi respon apa-apa. Pemuda itu memilih kembali fokus pada ponselnya mengabaikan keberadaan Kenzo yang masih terus menatapnya. Kepalanya terlalu penuh untuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang mendadak bermunculan di otaknya dengan deras.

Mungkin jika ada kesempatan, dia akan menanyakannya pada salah satu makhluk aneh.

"Hari ini kamu sekolah bareng Stevan. Bersiaplah, sudah pukul enam." Kenzo mengusap kepala Adam sekali sebelum beranjak keluar kamar.

Adam menghela napas. Dia merasa sangat malas dan hanya ingin menghabiskan waktunya di ranjang saja. Tapi jika di ingat-ingat, dia sudah lama tidak datang ke sekolah bukan? Bagaimana ya kabar Helena? Apakah perempuan itu masih seperti ulat dan menempeli kakaknya?

Akhirnya Adam bangkit dan berjalan masuk ke dalam kamar mandi dengan lunglai. Sesekali pemuda itu menguap, padahal dia tidak merasa mengantuk. Dia hanya malas.

Selesai dengan segala urusannya, Adam berjalan turun dengan tampang malas. Di bawah sana Stevan sudah menunggu sembari bermain dengan ponselnya. Rumah ini terlihat sepi, mungkin semua penghuninya sudah kembali ke aktivitas masing-masing. Dari pertengahan tangga, Adam menangkap keberadaan Diana yang tengah duduk diam di meja makan sendirian. Apa yang wanita itu lakukan? Kenapa tidak keluar seperti biasa. Adam jarang sekali melihat keberadaan wanita yang berstatus sebagai ibu nya itu di rumah. Tapi sepertinya akhir-akhir ini dia menghabiskan waktunya di rumah.

Stevan yang menangkap keberadaan adiknya pun bangkit dan merangkulnya dengan akrab. Adam mengernyit heran. Apa-apaan dengan kakaknya itu? Kesambet heh?

"Adek abang lucu banget sih!" Stevan mendadak mencubit pipi gembulnya membuat Adam tersentak. Matanya melotot lebar dengan tatapan sinis. Dia sedang malas mendebat, maka Adam memilih berjalan cepat meninggalkan sang kakak yang justru tergelak.

Kedua kakak beradik itu berangkat bersama dengan hening. Stevan tak lagi berbicara dan hanya fokus mengendarai motornya dengan kecepatan gila. Di belakang, Adam memandang jalanan dengan datar. Rasa malasnya semakin meningkat. Apalagi ketika dia melihat bangunan besar yang menjadi tempatnya belajar.

Matanya memicing melihat Helena yang sepertinya tengah merengek pada Naka. Terlihat sekali dari raut wajahnya yang minta ditampol itu. Ughhh, Adam kan jadi semakin malas. Belum masuk sekolah saja sudah melihat ulat.

De Facto (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang