04

10.1K 764 2
                                    

Sebuah mobil mewah memasuki halaman SMA Briotte. Sebuah sekolah elite yang sangat-sangat menguras isi kantong. Murid-murid yang berlalu lalang di halaman menghentikan aktivitas mereka. Tentu mereka hapal sekali dengan mobil itu, mobil yang selalu membawa pulang pergi tuan muda Bramata yang tak pernah dianggap keberadaannya. Seorang siswa biasa yang pendiam yang kerap kali bersitegang dengan most wanted sekolah, yang mana salah satunya adalah saudara kandungnya sendiri.

Adam menatap tak berminat kerumunan di luar mobilnya. Yahh mungkin kabar dirinya masuk sekolah cukup membuat mereka terkejut. Seorang siswa yang jatuh dari lantai tiga dan koma selama satu bulan lamanya kini telah kembali bersekolah. Oh apakah mereka berpikir bahwa Sagas mati? Mengingat tinggi nya lantai tiga, Adam juga berpikir bukankah harusnya Sagas mati?

Eh? Tapi kan jika Sagas tidak mati, jiwa nya tak mungkin masuk ke sini dong? Berarti Sagas mati, iya begitu.

Adam menipiskan bibirnya ketika kepalanya mendadak berdenyut. Aura di sekitarnya berubah suram membuat Juna berkeringat dingin. Oh ayolah, selama menjadi supir pribadi Sagas, Juna tak pernah merasakan aura ini. Aura yang seakan-akan mencekiknya ini membuatnya sesak napas. Apakah pemuda yang duduk di belakangnya itu benar tuan mudanya?

"Tuan muda."

Adam mengubah raut wajah suramnya ketika mendengar suara Juna menyapa gendang telinganya. Pemuda itu mengernyitkan keningnya ketika melihat pelipis Juna yang mengeluarkan keringat. Memangnya panas? Bukankah masih pagi dan AC mobil juga menyala?

"Nanti pulang kau yang jemput kan?"

"Benar tuan muda."

Adam mengangguk lalu membuka pintu mobil, bersiap untuk keluar. Murid-murid yang sejak tadi menunggu diam-diam menahan napas ketika sebelah kaki Adam menginjak halaman sekolah.

Adam keluar dari mobil yang mengantarnya dengan wajah datar, meski sedikit aneh karena wajahnya lebih cenderung manis. Ughh diingat-ingat dia jadi kesal sendiri, bagaimana caranya mengubah wajah?

Seluruh murid berdiri mematung ketika mata mereka sepenuhnya melihat sosok yang keluar dari mobil mewah itu. Hanya hening beberapa saat sebelum suara bisikan terdengar di mana-mana.

"Dia beneran Sagas? Kok beda?"

"Gua baru sadar Sagas itu tampan!"

"Tampan dan manis. Ih kiyowok!"

"Serius itu Sagas? Masa sih?"

"Iya si, dulu dia rapi banget, sekarang..."

"Kek preman."

"Tapi mukanya terlalu manis buat jadi preman!"

Adam menghembuskan napasnya lelah. Ayolah, apa-apaan mereka itu?!

Murid-murid kurang kerjaan itu masih berbisik tentang Sagas, yang entah kenapa suara mereka malah semakin keras. Mereka tak pernah tak menyukai Sagas, toh Sagas tak pernah membuat masalah dengan mereka. Hanya saja, entahlah,

Adam berjalan meninggalkan halaman sekolah beserta anak-anak yang masih sibuk menggosip tentangnya dengan wajah datar. Namun mendadak langkahnya berhenti ketika dia tidak tahu letak kelasnya di mana. Pemuda itu menelisik sekitar dan pandangannya berhenti pada seorang gadis yang juga menatapnya dengan pandangan...err...apaan itu?

Adam mendekati gadis itu karena posisi dia yang paling dekat dengan Adam. Gadis itu menatap polos Adam. Sedang Adam tetap dengan wajah dinginnya.

"Lo tau di mana kelas gua?" suara Adam yang sedikit keras atau telinga orang-orang saja yang tajam, namun mendadak suasana hening.

"Apa?!"

"Jangan bilang dia amnesia?!"

"What?!"

"Kok bisa?!"

Telinga Adam berdengung mendengar pekikan-pekikan orang-orang. Pemuda itu mengusap pelan telinganya. Mata hitamnya masih menatap gadis di depannya yang terlihat membulatkan matanya terkejut.

"Di mana?" desis Adam, ayolah! Dia tak suka menunggu!

"Eh it...anu...kelas kamu ada di lantai dua, poj__"

"SAGAS!!"

Oke fine! Pagi yang buruk! Telinganya benar-benar terasa pengang. Siapa yang teriak?!

"Lo apain Helena hah?!"

Beberapa pemuda mendekat ke arahnya. Oh Adam ingat wajah mereka. Tapi tumben mereka terlihat tenang, kecuali pemuda berkulit langsat yang berjalan paling depan yang juga berteriak padanya itu terlihat marah. Ada apa? Mata Adam menangkap sosok Stevan yang berjalan di belakang dengan wajah tenang seolah tak peduli. Adam menaikkan sebelah alisnya ketika lima orang pemuda berdiri tegak di hadapannya. Dan tunggu, ini kenapa mereka tinggi sekali?! Ughh tidak adil!

"Gua? Ga ngapa-ngapain, cuma nanya kelas." Jawab Adam dengan santai.

Adam menatap gadis di sampingnya yang terlihat menundukan kepalanya. Tunggu, tadi pemuda itu bilang namanya siapa? Bibir Adam berkedut ketika otaknya kembali memutar percakapannya dengan Bianca semalam. Oh, jadi gadis ini ya yang membuat kehidupan Sagas yang sudah bermasalah menjadi semakin bermasalah. Wahh Adam tak menduga bahwa dia akan secepat ini bertemu parasit.

"Ga usah bohong lo! Pasti lo apa-apain dia kan?!"

Adam memandang datar pemuda di depannya. Jika gadis ini Helena, apakah pemuda di depannya ini adalah Naka? Orang yang selalu ditempeli gadis ulat ini? Wahh...sayang Adam orangnya sedikit pelupa, padahal Bianca sudah menjelaskan ciri-ciri orang yang menjadi budak si ulat bulu.

"Dih, ganggu dia? Ga berguna."

Pemuda di depannya atau Nakala Hermawan, wajahnya terlihat memerah. Tangan Naka terangkat hendak memukul wajah mulus Adam, namun sebuah suara menghentikan gerakannya.

"Sagas benar, dia cuma nanya kelas. Dan lo Helena, kenapa diam aja? Sengaja?"

Seorang siswi dengan dandanan natural berjalan mendekati mereka dengan di ikuti dua temannya di belakang. Adam menatap mata siswi itu yang menyorot tak suka ke arah Helena. Siapa lagi ini? Adam tak ingat jika Bianca pernah bicara tentang gadis lain selain si ulat.

"Enggak, aku..."

Adam beralih menatap Helena yang sedang menunduk gugup. Kedua tangannya saling bertaut. Hey, apakah dia tidak berniat menjelaskan gitu? Oh! Atau ini yang biasa dia lakukan pada Sagas? Wahh kenapa menjijikkan sekali?

"Lo, anterin gua ke kelas gua."

Adam menarik lengan siswi tadi dan langsung membawanya pergi. Pemuda itu mengabaikan teriakan Naka yang memanggil-manggil dirinya. Juga dua teman siswi yang ditariknya ini. Oh jangan lupakan si ulat bulu yang melihatnya dengan pandangan sok polosnya. Padahal jelas-jelas matanya bicara lain.

Adam sempat melirik sebentar ke arah Stevan, kakak Sagas itu juga menatapnya dengan pandangan rumit. Juga tiga pemuda lain yang ikut menatapnya. Adam tak mengerti.

Adam dan siswi itu berjalan tenang menyusuri koridor panjang sekolah. Tak ada satupun yang membuka suara hingga keduanya tiba di kelas Adam, yang ternyata kelasnya bersebelahan dengan kelas siswi ini.

"Oke thanks, nama lo?"

"Selena. Kalau gitu gua juga mau ke kelas." Selena menggusak rambut Adam pelan, membuat pemuda itu mengerang kesal.

"Hey!" Adam membenarkan tataan rambutnya yang berantakan, sedang Selena terkekeh pelan. Di mata nya, Adam saat ini terlihat lucu sekali.

"Makanya tinggi."

Selena berlalu pergi. Adam mengerucutkan bibirnya. Sialan! Kenapa si dia harus pendek?! Mana kalah sama perempuan lagi. Kan Adam jadi malu! Dan apa-apaan ini, kenapa dia harus memasang wajah ini?! Ughh tubuh ini benar-benar menyiksa Adam!

Pemuda itu berbalik badan memasuki kelasnya. Belum banyak yang datang karena memang ini masih pagi, lagipula kelas akan dimulai pukul delapan pagi. Adam jadi menyesal karena dia datang pagi-pagi. Tapi kalau tidak pagi nanti malah bertemu dengan Tianjing.

Eh tunggu, tumben tadi Stevan diam saja. Dan kenapa teman-temannya minus Naka terlihat aneh?! Sial! Otak Adam serasa ingin meledak!

De Facto (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang