33

1.5K 144 3
                                    

Sagas sedang menikmati es krim nya sembari melihat keluar jendela cafe. Sagas bosan, tadi pagi dia ikut Adam ke kantor. Tapi ternyata di sana membosankan. Dia terabaikan. Adam wira-wiri sibuk ngurusin kerjaan dia sampai lupa kalau ada anaknya yang nangkring di sana. Akhirnya Sagas milih keluar. Ga jauh-jauh kok, masih depan perusahaan bapaknya.

Sagas sendirian. Dia tadi pergi tanpa bilang-bilang. Makanya ga ada Sam yang buntutin dia. Lagian Sagas lagi pengen menikmati waktu nya sendirian. Toh ga bakal ada apa-apa juga.

Setelah es krim nya habis dan setelah dia membayarnya. Pemuda itu berjalan keluar. Mau balik ke tempat bapaknya, takut Adam frustasi karena anaknya tiba-tiba ga ada. Kasihan juga Sam, pasti capek sana sini nyariin dia.

Pemuda itu berjalan sembari bersenandung. Kapan-kapan dia mau balik ke cafe itu lagi, es krim nya enak. Nanti dia bakal ajak Adam, sekali-kali bapaknya itu harus mencoba makanan manis.

"Sagas?"

Langkah Sagas terhenti, tapi dia ga berani balik badan. Lagipula, dia kenal betul suara itu milik siapa. Karenanya, Sagas ga berani.

"Kamu beneran Sagas kan?"

Orang itu mendekat dan berdiri di depan Sagas yang menunduk. Orang itu tersenyum lebar, namun setelahnya tatapannya menjadi sendu.

"Kenapa kamu ada di sini?"

Sagas akhirnya mendongak, menatap manik yang sama persis seperti miliknya, "Bang El ga suka aku di sini?"

Elbarak, pemuda itu menggeleng. Bukan begitu maksudnya. Tapi bagaimana caranya dia akan menjelaskan?

"Bukan begitu. Tapi lebih baik kamu pergi sejauh mungkin dari sini. Tempat ini ga aman buat kamu."

Elbarak tersenyum tipis. Tangannya terjulur mengusap surat Sagas yang lembut. Pemuda itu tak menunggu respon Sagas, buru-buru dia balik badan dan pergi masuk ke dalam mobilnya.

Sagas menatap mobil kakak nya dalam diam, "Abang ga suka aku ada di sini."

Lama berdiam di sana dengan pikiran rumit, Sagas segera bergegas menuju perusahaan Adam.

Bisa dia lihat banyak karyawan yang tengah sibuk sana sini seperti mencari sesuatu. Sampai kedatangannya membuat kegiatan semua orang berhenti dengan tatapan yang menatap dirinya intens. Sagas tersenyum canggung.

Ada apa dengan semua orang?

"Astaga!! Tuan muda!!"

Sagas menoleh ke arah datangnya suara. Di sana Sam berlari dengan wajah panik menghampirinya. Begitu tiba di depan Sagas. Pria itu lantas membolak-balik badannya dengan cepat sampai Sagas merasa pusing.

"Om! Kenapa sih?!"

Sagas berseru membuat kegiatan Sam berhenti, pria itu menangkap dua pipi Sagas, "Anda kemana saja? Tuan mengamuk tidak menemukan anda di ruangannya."

"Hah?"

Sagas terbengong, selama tinggal dengan Adam, Sagas belum pernah mendengar bahwa ayahnya itu bisa mengamuk. Meski mukanya serem-serem gitu.

"Ngapain ngamuk sih? Aku di depan sono, nohh!" Sagas menunjuk cafe yang tadi dia masuki dengan telunjuk kecilnya.

Sam tak peduli, dia segera menarik Sagas menuju ruangan Adam sebelum tuannya itu semakin menghancurkan ruangannya yang udah kaya kapal pecah. Sagas sih nurut-nurut aja.

Meski dia rada takut pas denger kalau bapaknya ngamuk.

>>>

"Lain kali kalau mau keluar tuh bilang. Minimal sama penjaga yang berdiri di luar. Jangan asal nyelonong, Sagas!"

Adam geram banget sama kelakuan anaknya. Setelah menyelesaikan tugasnya tadi, dia noleh ke arah sofa tempat anaknya duduk, tapi anaknya udah ga ada di sana dan ga ada di dalam perusahaan sama sekali. Bikin dia panik takut anaknya kenapa-napa atau di bawa siapa.

Sedangkan Sagas hanya memperhatikan Adam dengan pandangan tenang.

"Iya maaf, Sagas salah. Ga usah marah lagi."

"Daddy ga marah."

Adam mendekat dan memeluk tubuh Sagas. Mencium kening putranya sayang.

"Tapi ketemu bang El." Lirih Sagas, namun Adam masih bisa mendengarnya.

Pria itu melepas pelukannya, menatap Sagas, "Di mana? Dia ganggu kamu?"

Sagas menggeleng, "Cafe, ga ganggu. Tapi dia aneh, dia ga mau aku di sini, katanya ga aman."

Sagas kembali memeluk tubuh tegap Adam. Menenggelamkan kepalanya pada dada pria itu. Sedangkan Adam diam. Dia cukup paham sama ucapan anaknya dan apa tujuan Elbarak mengatakannya.

Maka Adam mempererat pelukannya, "Daddy ga bakal biarin kamu kenapa-napa."

Sagas cuma ngangguk, dia ga ngerti kenapa Adam ngomong gitu tiba-tiba. Tapi dia paham jika pria itu akan melakukan apapun untuknya.

Sam yang ternyata juga ada di sana mengangguk dan berjalan keluar dalam diam setelah menerima kode dari Adam.

Adam mengangkat tubuh putra nya dan mendudukkan nya di atas sofa. Sagas semakin mengeratkan pelukannya. Dia mengantuk, dia mau tidur. Adam mengelus surai hitam Sagas agar anaknya cepet tidur. Dan ga lama, Sagas benar-benar terlelap.

"Daddy ga mau kehilangan kamu. Apapun akan dad lakukan, meski harus menghabisi mereka semua. Dan dad hadap, kamu ga benci Daddy."

Adam mengecup kening Sagas Lama. Sebelum meninggalkan anaknya yang terlelap.

>>>

Di sebuah rumah sakit, tepatnya di sebuah ruangan yang lumayan besar. Stevan terbaring lemah di atas ranjang pesakitan. Matanya masih setia menutup sejak satu minggu yang lalu. Mesin pendeteksi detak jantung berbunyi nyaring di dalam sana.

Tak lama pintu ruangannya terbuka, Elbarak mendekat ke arah sang adik. Di genggam nya tangan dingin Stevan, "Dia kembali, kamu ga mau bangun gitu? Kalau kamu sayang dia, ayo bangun dan bilang semuanya."

Elbarak menatap sendu wajah pucat Stevan. Tubuhnya kurus, Elbarak tak kuasa melihat keadaan adiknya yang begini. Tapi pemuda itu juga tak bisa melakukan apapun sekarang.

"Stev, bangun, kalau kamu ga bangun, kamu bakal kehilangan segalanya."

Elbarak menggenggam tangan Stevan. Dia taruh tangan dingin adiknya pada pipi nya. Lantas dia belai rambut sang adik dengan penuh sayang.

Sesuatu yang tak pernah dia lakukan pada adiknya yang lain.

Elbarak tahu dia bukan orang baik, dia bukan kakak yang baik, dia hanya orang jahat yang dengan tega menyakiti adiknya sendiri. Elbarak tahu. El juga sadar semuanya telah terlambat.

"Abang harus dapatin donor buat kamu secepatnya. Doain Abang ya?"

El mengecup singkat kening Stevan. Sebelum melangkah keluar ruangan. Namun matanya membelalak kaget ketika mendapati asisten pribadi Jovanka berdiri di depan pintu ruang rawat adiknya.

Sam tersenyum tipis, meski begitu aura di sekitarnya terasa sangat berat. Wajah Sam terlihat lebih dingin dari biasanya. Karena ya, inilah sosok Sam yang sebenarnya.

Seorang tangan kanan pembunuh bayaran yang terkenal di dunia bawah. Samuel, sejak dia remaja, dia sudah mengabdi pada Adam. Dia akan bekerja pada pria itu sampai akhir hidupnya.

"Bisa kita bicara sebentar tuan Elbarak?" Suara dingin Sam mendayu, membuat Elbarak merinding sesaat sebelum memberi anggukan.

Keduanya berjalan keluar rumah sakit. Elbarak hanya menurut ketika dia dibawa masuk ke dalam sebuah mobil. Sam mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang disusul beberapa mobil hitam di belakangnya.

'Papa, jika kau nekat, mungkin Bramata akan berakhir dalam semalam.'

De Facto (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang