08

8K 617 3
                                    

Stevan termenung di dalam kamarnya yang gelap, pemuda itu terduduk di atas lantai tanpa alas apapun. Punggungnya bersandar pada ranjang, matanya memejam, sesekali membuka lalu terpejam lagi. Stevan menelungkupkan kepalanya pada lipatan lututnya, tak lama terdengar isakan lirih darinya.

'Sagas.'

Bayangan di mana Stevan menemukan Sagas yang tak sadarkan diri di sofa yang berada di balkon kamar anak itu. Wajahnya pucat sekali, seperti mayat, tubuhnya juga dingin sekali. Stevan yang panik pun memanggil saudara-saudaranya, namun mereka sama sekali tak peduli. Bahkan Tian pun sama, ayah nya itu malah berkata lebih baik Sagas mati saja.

Pada akhirnya, Ken lah yang membawa masuk Sagas ke dalam kamarnya. Pria itu terlihat sangat khawatir membuat Stevan diam-diam tertegun. Stevan tak pernah melihat tatapan seperti itu dari Tian, tidak meskipun itu untuknya.

Stevan tetap berada di dalam kamar Sagas sejak Ken membawa anak itu masuk. Stevan tak sekalipun beranjak dari sana. Maka saat Ken keluar untuk memanggil dokter, Stevan mendekat ke ranjang Sagas. Menelisik lebih detail lagi wajah pucat adiknya.

Adik? Bella benar, Stevan adalah sosok kakak yang buruk. Setelah keluar dari kamar Sagas siang tadi, Bella memarahinya habis-habisan. Bukan hanya perihal Sagas, tapi perihal hubungan mereka juga. Ahh, Stevan merasa buruk, buruk sekali. Bolehkah dia memperbaiki? Masihkah ada kesempatan untuk itu?

Stevan mengelus surai lembut Sagas dengan pelan. Dia tak pernah melakukan ini sebelumnya. Setiap kali melihat Sagas, Stevan merasa terganggu. Maka dia akan memaki, tak jarang dia akan melayangkan tangannya pada Sagas. Stevan tertawa miris, benar, dia adalah yang sangat buruk. Sangat-sangat buruk.

"Uhuk! Uhuk!"

Stevan terhenyak ketika melihat Sagas terbatuk hebat dan tak lama darah terlihat keluar deras dari hidung dan mulutnya. Stevan langsung bangkit dan berlari keluar memanggil siapa saja. Beruntung, Ken dan dokter pribadi keluarganya tepat berada tak jauh dari kamar Sagas.

"Paman Ken! Sagas!"

Ken berlari ketika mendengar Stevan menyebut nama Sagas dengan nada bergetar disusul dokter pribadi keluarga Bramata__Jonathan. Stevan menyingkir memberi ruang untuk dua orang dewasa itu memasuki kamar adiknya.

"Apa yang terjadi?"

Stevan hanya mampu menggeleng. Dia tak tahu, Stevan tidak mengerti. Dia ketakutan, ada apa dengan Sagas? Kenapa?

"Ken, panggil Mahen kemari."

Stevan terhenyak, tubuhnya terasa kaku mendengar suara Jonathan. Pemuda itu memalingkan wajahnya untuk menatap Ken. Tak jauh beda, bahkan lebih buruk. Wajah pria itu pucat pasi setelah mendengar nama yang disebutkan Jonathan.

"Jiwa Sagas nyaris tak bisa dirasakan."

<<<

Kediaman Bramata terasa lebih suram dari biasanya. Sudah tiga hari ini wajah Ken terlihat begitu dingin, pria itu tak banyak berinteraksi seperti biasa. Bahkan beberapa kali dia benar-benar tak menganggap kehadiran Tian, tuannya. Hal itu sempat membuat Tian merasa kesal.

Tak jauh beda, Stevan terlihat murung. Pemuda itu lebih mengurung dirinya di dalam kamar. Keluar hanya untuk ke sekolah saja. Bahkan dia melewatkan waktu makan. Stevan tak lagi memasuki kamar Sagas, dia tidak berani. Terakhir kali, hari itu, di mana dia menemukan Sagas yang tak sadarkan diri.

Sudah tiga hari Sagas tertidur seperti mayat. Denyut jantung anak itu melemah, napasnya bahkan seperti tak ada. Wajahnya benar-benar menyerupai mayat.

Tak ada yang peduli dengan keadaan bungsu Bramata itu. Tian dan yang lain terlihat biasa saja. Ya mungkin karena ini yang mereka harapkan sejak dulu. Kematian Sagas, bungsu Bramata yang terabaikan. Dan Tian merasa senang, sepertinya Sagas sedang menuju ke jurang kematian.

Namun Tian juga merasa aneh, ada getaran tak biasa ketika rumah besar ini tak sekalipun menampilkan persepsi Sagas. Sejak Sagas tak sadarkan diri tiga hari lalu. Tian merasa kurang. Biasanya dia akan menemukan Sagas di manapun di dalam rumah ini. Tapi sekarang, tidak. Sagas hanya berada di dalam kamarnya, sendirian dengan alat-alat penopang kehidupan.

"Aku tidak tau, ada yang menahan jiwanya. Menahannya untuk tak pergi." Suara Mahen menjadi pemecah hening setelah sekian lama kamar itu sunyi.

Sagas terbaring diam di sana, terlihat begitu tenang seolah tak terganggu apapun. Ken menatap putranya dengan sorot mata yang mati. Rasanya dia mulai gila. Belum lama putranya terbangun dari koma, sekarang anak itu harus kembali berurusan dengan kematian.

"Ada sesuatu yang ingin masuk ke dalam, tapi sepertinya tubuhnya tak mampu menerima atau malah menolak."

Tian menopangan dagu nya, menatanya sejak tadi menatap dalam Sagas yang terbaring. Entah kenapa dia berada di kamar ini, mendengarkan seorang pria seusia Jonathan menjelaskan sesuatu yang sama sekali tak bisa dia pahami. Tapi sepertinya Ken memahaminya dengan baik.

Tangan kanannya itu terlihat sudah mengenal cukup lama pria di depannya ini. Karena tak mungkin Ken berani membawa orang asing masuk ke dalam kediamannya. Tian merasa pernah bertemu dengan pria di depannya ini, tapi kapan?

Bahkan ketika datang tadi, pria itu tak terlihat canggung dengannya. Seolah-olah meraka memang sudah mengenal sebelumnya. Ken juga tak mengenalkan mereka. Benar-benar seolah-olah mereka memang sudah mengenal.

"Putra ku akan baik-baik saja kan?"

Tian memandang wajah khawatir Ken. Pria itu terlihat buruk tiga hari ini. Dia bahkan mengabaikan pekerjannya. Tapi, entah kenapa Tian tak bisa marah pada Ken. Sejak dulu, dia selalu membiarkan Ken bersikap sesukanya, Tian tak pernah keberatan, tidak sekalipun.

Meski jika menyangkut tentang Sagas, Tian selalu merasakan perasaan aneh mengukung dirinya. Membuainya pada perasaan tak tenang yang lama-lama membuatnya merasa sesak. Apalagi ketika Ken menyebut Sagas sebagai putranya. Rasanya...ahh Tian tak bisa memahaminya.

"Terus ajak dia bicara. Tuntun dia untuk bangun. Aku merasa sesuatu itu bukanlah hal yang bagus untuk Sagas." Mahen berdiri setelah mengatakannya.

Pria itu pamit undur diri di susul Jonathan. Ken masih diam di dalam kamar sembari memandangi Sagas yang terlihat nyenyak. Tian menghela napas, tak lama pria itu memutuskan untuk keluar meninggalkan Ken yang masih termenung.

Pria lajang itu tak baik-baik saja, apa yang terjadi pada Sagas nya? Ken menutup wajahnya dengan kedua tangannya, tak lama terdengar isakan lirik darinya. Ken menangis sendirian dalam remang-remang kamar Sagas.

Langit yang mulanya cerah mendadak mendung, warna kelabu gelap mengambil alih biru yang cerah. Udara mulai terasa lebih dingin daripada beberapa saat lalu. Ken yang masih menutup wajahnya dengan tangan tak menyadari bahwa jemari Sagas sempat bergerak kecil.

"Hmm, menarik."

Angin berembus membawa aroma harum yang begitu memabukkan. Aroma manis itu menyebar ke seluruh penjuru kamar. Tubuh Ken mendadak tegang, refleks kepalanya menoleh ke arah balkon kamar Sagas.

'Perasaan ini....'

De Facto (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang