25

2.6K 209 3
                                    

Tidak! Semuanya belum selesai. Apa yang Kenzo ucapkan padanya di pagi itu hanya omong kosong belaka. Sejak awal Adam terbangun di dunia asing ini, masalah yang dia hadapi tidaklah sesederhana itu. Balas dendam Bianca mungkin memang sudah berakhir. Wanita itu kembali ke tempatnya bersama Sagas. Mahen juga sudah tidak terlihat lagi akhir-akhir ini. Beberapa kali Adam juga tak menjumpai Kaysan maupun Keenan di sekolah atau di manapun biasanya mereka berada.

Semua seakan menghilang perlahan. Beberapa hal juga terlihat membaik seiring berjalannya waktu. Bramata mulai memperlakukannya selayaknya keluarga. Yang justru semua itu membuat Adam merasa janggal.

"Bianca, andai kamu masih di sini."

Adam memandang langit malam dari balkon kamarnya. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas lewat, waktu sudah beranjak ke dini hari, namun Adam tidak berminat untuk istirahat. Pikirannya penuh. Apalagi akhir-akhir ini dia merasa ingatannya sedikit memburuk.

Adam menatap kedua tangannya. Tubuh ini bukan miliknya, semua yang dia rasakan sekarang bukanlah miliknya. Adam ingin hidup sebagai dirinya sendiri, sebagai seorang buronan yang setiap harinya bersembunyi dan berlari kemana-mana. Bukan sebagai Sagas, pemuda malang yang entah nasibnya seperti apa nanti. Adam merindukan kehidupannya yang dulu.

"Harusnya ketika aku sadar, aku pergi, bukan menetap dan menerima." Gumamnya lagi.

Sejak hari di mana Bianca yang menyerangnya, lalu kemudian wanita itu menghilang entah kemana. Adam semakin merasa jika dia tak seharusnya ada di sini. Banyak hal yang membuat Adam bingung. Sampai detik ini dia tidak bisa memahami apapun.

"Bianca..."

Entah untuk kali keberapa bibir itu terus memanggil nama Bianca. Adam berharap sosok yang dipanggilnya muncul di hadapannya, sekalipun itu hanya sebentar. Adam butuh kejelasan. Adam tidak pernah lagi menyebut nama Sagas, dia tahu Sagas tak akan pernah mau menjawab segala tanya yang bermunculan di kepalanya. Entah karena apa. Harapan satu-satunya Adam adalah Bianca. Hanya wanita itu yang selalu bersedia menjawabnya, meski sering kali wanita itu tak menyelesaikan kalimatnya.

"Kau masih belum tidur?"

Adam menoleh ke arah sampingnya. Aroma pinus tercium kuat dari sosok yang kini duduk di sampingnya. Pemuda dengan senyum yang sejujurnya tak terlalu Adam sukai.

"Kau butuh kejelasan?" Tanyanya lagi, namun Adam hanya bungkam dengan tatapan yang kembali mengarah ke depan.

Sagas tersenyum kecil, manik hitamnya ikut memandangi objek hampa yang di tatap Adam. Pemuda itu tak lagi mengatakan apapun, hanya duduk diam membiarkan waktu terus berlalu. Sesekali dia melirik Adam yang nampak tak begitu peduli dengan keberadaannya.

"Kamu ingin kembali?" Suara Sagas begitu tenang, namun kedua tangannya mengepal erat seolah menahan sesuatu.

Adam refleks menoleh, kedua matanya terlihat berbinar meski wajahnya tak menunjukkan ekspresi apapun. Sagas tersenyum tipis. Sebagus apa si kehidupan seorang Adam Stevanus Jovanka? Yang Sagas lihat, pria matang itu hanya berlari dan bersembunyi dari orang-orang yang selalu mengejarnya. Apa yang menarik dari sana? Menjadi buronan bukan hal yang menyenangkan kan?

"Aku selalu menikmati hidup ku, Sagas. Aku menikmatinya, sangat." Adam memandang manik hitam didepannya dengan pandangan dalam. Sagas hanya mengangguk kecil. Dia paham.

"Tapi kamu tidak bisa kembali."

"Lalu kenapa kamu bertanya apa aku ingin kembali?"

"Karena jika kamu ingin, aku akan membunuh mu."

Hening, tak ada lagi yang berbicara. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing yang mendadak seperti benang kusut yang susah terurai. Adam kembali memandang ke depan dengan pandangan menerawang. Otaknya memutar semua hal tentang kehidupannya dulu. Dia ingin seperti dulu.

De Facto (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang