19

3.1K 241 5
                                    

Adam duduk diam di sebuah padang luas, tempat yang sama ketika dia bertemu dengan Sagas. Saat ini pun, pemuda pemilik raga yang dia tempati tengah duduk di sampingnya. Keduanya hanya diam, tidak ada yang berniat memulai percakapan. Adam yang sudah terlanjur malas meski dia sangat penasaran dan Sagas yang sepertinya memang tidak berniat menceritakan apa-apa. Menyebalkan memang.

Adam menghela napas, dia merasa jika dirinya menjadi lemah sejak menempati raga Sagas. Hey ayolah! Adam itu mantan buronan dunia, harusnya sejak awal dia masuk ke dalam raga Sagas dan mendengar permintaan Bianca, dia langsung menurutinya. Membunuh bukan hal sulit untuknya. Tapi...Adam tidak mengerti kenapa dia tidak langsung melakukannya. Apa karena perasaan Sagas yang masih tertinggal?

Pria itu melirik pemuda di sampingnya yang terus menatap jauh ke depan. Malang sekali, lahir dari hubungan satu malam, ibunya meninggal bunuh diri karena tidak bisa menahan tekanan dan sakit hatinya, keluarga ayahnya yang membencinya, berurusan dengan jalang kecil dan pangeran kuda hitam. Benar-benar malang.

"Kau tidak ingin mengambil tubuh mu lagi? Aku tidak harus membunuh Tian jika kau ingin kembali, toh pria tua itu sudah mulai menyayangi mu." Ujar Adam, matanya menatap Sagas menuntut jawaban.

Sagas tersenyum, "Aku tidak ingin."

"Jadi kau ingin membiarkan aku membunuh Tian? Begitu juga saudara mu yang lain?" Tanya Adam kembali,

"Aku juga tidak ingin begitu."

Adam menghela napas kasar, "Lalu apa?"

Sagas tidak menjawab, dia kembali menatap lurus ke depan. Adam juga tidak lagi bersuara. Biarlah!

Padahal jika Sagas mau kembali, dia juga diuntungkan bukan? Keluarganya mulai luluh padanya, Adam yakin Sagas tidak akan menerima perlakuan buruk lagi. Meskipun perubahan itu rasa-rasanya belum cukup mampu untuk menebus perlakuan bajingan Tian, tapi bukankah setidaknya ada perubahan baik?

Adam tidak ingin memaksa, tapi dia juga tidak pernah menerima jika dia hidup kembali dan harus mengurusi urusan orang lain. Padahal dia bukan siapa-siapa dan tidak tahu apa-apa. Adam hanya ingin kembali ke tempat yang seharusnya.

"Aku tidak ingin kembali dan aku juga tidak ingin ayah ku mati. Tapi mau bagaimanapun, dia akan tetap mati, meski bukan di tangan mu atau siapapun di antara Bramata dan Herjuno." Adam menatap Sagas, pemuda itu juga menoleh padanya dan memberi senyuman lebarnya.

"Lalu siapa?"

"Seseorang yang menjadi akar dari segalanya. Adam, mereka tidak tahu apa-apa. Hanya ibu ku yang mengetahui segalanya."

Adam mengernyit, jadi yang benar yang mana?

"Memang benar, ayah yang menyakiti ibu ku, tapi itu bukan sepenuhnya salahnya, dia hanya salah paham. Tolong jangan menuruti Bianca, aku ingin kamu mencari orang itu dan setelahnya terserah kamu ingin melakukan apa. Tapi yang jelas, ayah tidak akan mati di tangan mu atau mereka."

<<<

Bianca duduk dengan kepala yang menunduk, beberapa kali wanita itu mencuri pandang ke arah Adam yang berdiri diam menghadap jendela kamar inapnya. Pemuda itu terlihat tengah menahan amarahnya yang meledak-ledak. Bianca meraba lehernya, bekas merah terdapat pada leher jenjangnya. Bianca mungkin bukanlah sesuatu yang hidup, tapi dia masih bisa merasa sakit dan bisa mati.

Rasa sakit akibat cekikan Adam masih tersisa. Bianca tidak tahu mengapa tapi ketika Adam memanggilnya, dia langsung datang dan yah Adam tiba-tiba mencekiknya dengan sangat kuat sampai Bianca merasa lehernya akan patah.

"Kau benar-benar menghidupkan kekasih ku?" Suara Adam terdengar dingin membuat Bianca meremang.

"Ya, sebagai balasan karena kamu menuruti permintaan ku untuk hidup sebagai Sagas." Jawab Bianca dengan tenang. Bagaimanapun, bukankah tidak seharusnya dia merasa takut pada Adam? Bianca yang memegang kendali.

"Aku tidak pernah bilang aku menerimanya."

"Aku tidak peduli! Aku ingin kau dan itu harus!" Geram Bianca, kali ini wanita itu sudah berdiri tepat di hadapan Adam. Adam menunduk menatap manik penuh dendam milik Bianca.

"Termasuk melenyapkan Sagas?" Adam tersenyum miring melihat Bianca yang terdiam.

Adam berdecih, dendam selalu membuat orang-orang buta! Lagipula kejadian menyedihkan itu sudah lewat, meski kakak Bianca tidak menerima keadilan dan keluarganya harus berakhir di pemakaman, setidaknya hidup Sagas baik-baik saja bukan? Ada Ken yang selalu berada di sisi anak itu. Tian juga tidak akan menyentuhnya selagi Sagas bersama Ken.

"Kau terlalu dibutakan dendam mu, Bianca." Ujar Adam dengan tenang, namun wanita di depannya ini menggeram marah, tatapannya nyalang menatap manik gelap Adam.

"Apa susahnya kamu hanya tinggal menuruti perintah ku?! Bunuh Tian dan keluarganya! Semua orang yang berkaitan dengannya! Bukankah itu hal mudah untuk mu?!" Teriak Bianca dengan wajahnya yang perlahan memerah. Adam terkekeh kecil,

"Ya, memang mudah. Selama hidup ku, aku tidak pernah menolak perintah. Hanya saja, aku lebih suka jika kau yang mati, Bianca." Adam masih terlihat tenang, pemuda dengan wajah yang cenderung manis itu tersenyum miring menatap Bianca.

"Sialan! Aku akan membuat mu menuruti perintah ku!" Bianca menerjang tubuh Adam dengan kuat. Adam yang tidak siap dengan serangan dadakan Bianca pun jatuh ke bawah dengan kepala nya yang membentur keras lantai.

"Sialan lepas!" Adam berontak ketika tangan Bianca memegang kuat dirinya. Tangan lentik wanita itu meraba dada nya, tempat di mana jantungnya berdetak.

"Aghhh!!!"

Adam merasa sakit yang sangat ketika Bianca menekan dada nya. Rasanya seluruh tubuhnya benar-benar sakit dan panas. Adam terus memberontak di bawah kukungan Bianca. Wanita itu tersenyum lebar ketika Adam memuntahkan darah segar dari mulutnya.

"Lepas sialan! Aghh!!"

"Aghhh!!"

"Ini sakit sekali, ughh panas..."

"Aghh!!!"

"Aku menyukai jiwa mu, Adam."

Adam melemas, pemuda itu berhenti memberontak ketika rasa sakit yang semakin menjadi terus menyerangnya. Apa yang Bianca lakukan padanya? Adam tidak mengerti. Rasanya sama ketika dia bertemu dengan seseorang di koridor sekolah waktu itu, sakit sekali.

Suara Sagas yang samar masih bisa Adam dengar. Pemuda pemilik raga ini juga sepertinya dalam keadaan yang sama buruknya dengan Adam. Apa yang Bianca lakukan pada nya dan juga Sagas?

Bianca tersenyum lebar, "Kau harus menuruti perintah ku!"

"Aghhhh!!!"

"Tidak!!! Aghhh!! Tidak!!"

Sedang di luar kamar inap Adam, Stevan dan Elbarak terus menggedor pintu yang tidak mau terbuka itu. Mereka panik ketika mendengar suara teriakan dari dalam. Namun ketika hendak masuk, pintu itu tidak bisa dibuka. Sudah berkali-kali tubuh besar Elbarak mencoba mendobrak pintu itu, namun hasilnya nihil.

Stevan berlari ke arah jendela, mata nya membola ketika melihat adiknya terbaring di lantai. Mata Stevan meliar, mencoba mencari benda apapun yang bisa menghancurkan kaca tebal di depannya ini.

"Stev!" Elbarak berlari ke arah Stevan dengan membawa tiang infus di tangannya.

Pemuda jangkung itu menghantamkannya berkali-kali namun sayangnya benda itu tidak cukup keras untuk memecahkan jendela tebal ini. Stevan mengepalkan tangannya, tanpa aba-aba dia meninju kaca itu dengan kuat. Elbarak menatap Stevan, wajah adiknya terlihat cemas sekali. Lantas dia mengikuti tindakan sang adik.

BUGH

BUGH

PRANG

Stevan melompat masuk, pemuda itu berlari ke arah Adam yang terbaring lemah di lantai. Stevan mengangkat kepala adiknya dan menepuk pipi itu berkali-kali berusaha menyadarkannya,

"Hey! Bangun! Sagas bangun!" Stevan tidak menyadari jika air matanya sudah luruh. Elbarak hanya berdiri kaku di belakang mereka.

"A...abang?"

Sagas, pemuda itu mengangkat tangannya mencoba menyentuh wajah Stevan. Dia Sagas, benar-benar Sagas. Pemuda pucat itu tersenyum tipis, pelukan Stevan rasanya hangat sekali. Ahh akhirnya dia tahu rasanya. Tangan Sagas berhasil menyentuh wajah Stevan, Stevan memejam merasakan tangan dingin adiknya.

"Abang..."

De Facto (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang