32

2K 166 8
                                    

Sagas merenggut kesal, kedua tangannya dia silangkan di depan dada. Wajahnya sedikit memerah dengan kening yang berkerut. Di samping nya, Adam terkekeh kecil melihat kelakuan sang putra.

Keduanya saat ini tengah berada di dalam mobil yang melaju kencang ke arah kediaman Adam di Indonesia. Iya, Indonesia. Tempat di mana Sagas dilahirkan dan dibesarkan.

Semalam, memang keduanya sempat berdebat karena Adam tiba-tiba memutuskan bahwa dia akan kembali ke Indonesia dan membawa serta Sagas. Tentunya Sagas menolak keras. Dia mana mau kembali ke tempat di mana dia menderita. Sagas sudah terlalu nyaman berada di Berlin.

"Marah hm?" Adam mengusap kepala Sagas namun langsung ditepis oleh anak itu.

"Daddy pikir?" Mata Sagas memicing tajam ke arah Adam membuat pria itu tertawa.

"Oke oke, sorry, but daddy couldn't leave you alone there."

Sagas melengos. Lebih memilih memperhatikan jalanan yang lenggang. Adam menatap geli ke arah putranya. Dalam hati pria itu mengucapkan beribu syukur. Anak malang yang hanya mengenal luka itu kini mulai terlihat bersinar. Adam suka ketika Sagas mau mengekspresikan dirinya. Bukan yang hanya diam saja termenung seperti dulu.

"Daddy beruntung bertemu kamu, nak." Sagas tersentak kecil ketika tubuhnya dipeluk dari samping.

Ditatapnya Adam yang tengah terpejam dengan senyum kecil di bibirnya, senyum seorang ayah. Yang mana membuat Sagas diam-diam meremat celananya.

"Aku jauh lebih beruntung, dad."

Sagas pada akhirnya membalas pelukan Adam. Keduanya berpelukan erat, menyalurkan perasaan hangat yang singgah dan diharapkan terus menetap.

Sam, bawahan Adam yang tengah menyetir mobil itu tersenyum tipis melihat interaksi tuannya. Sebagai seorang bawahan yang telah menyaksikan perjalanan seorang Adam Stevanus sejak pria itu berumur belia, Sam tentu paham.

Tuan nya sudah menemukan pusat hidupnya.

Mobil itu melaju kencang membelah jalan, terus berjalan hingga sebuah gerbang tinggi yang terlihat kokoh menyambut mereka.

Sagas menatap kagum kediaman yang akan di tinggalinya sementara, sampai urusan Adam selesai. Setelah itu mereka akan kembali ke Berlin.

Sagas berjalan di belakang tubuh besar Adam. Di belakangnya ada sekitar enam orang berpakaian hitam yang mengikuti langkah langkahnya. Sejujurnya Sagas merasa risih, namun dia harus membiasakan diri dengan kehadiran para bawahan Adam yang selalu ada di mana-mana.

"Kamar mu di lantai dua, pintu putih. Istirahat lah." Adam mengusap surai lembut Sagas. Putranya mengangguk dan berjalan ke lantai dua dengan Sam yang mengikuti di belakangnya.

Selama di sini, Samuel lah yang akan mengawasi putranya.

Setelah putranya tak terlihat, raut wajah Adam berubah dingin. Di tatapnya orang-orang yang sudah berbaris rapi di depannya, siap mendengarkan perintah sang tuan.

"Kita habisi mereka malam ini!"

Suara tegas seorang Adam Stevanus Jovanka terdengar menggema dalam rumah besar itu. Sagas yang sebenarnya masih berada tak jauh dari sana tersenyum tipis.

Sagas tak pernah masalah dengan apapun pekerjaan Adam. Meski beberapa kali dia merasa khawatir, karena bagaimanapun, dunia luar sekarang menjadi hal yang paling berbahaya untuknya.

>>>

Di sebuah kediaman mewah milik Bramata keheningan melanda. Rumah yang biasanya terasa hangat kini entah kenapa terasa dingin. Tian, selaku pemimpin keluarga itu duduk termenung bersama dua putranya.

"Pa, dia kembali." Elbarak, anak kedua Tian itu akhirnya bersuara setelah sekian menit memilih diam.

"Dia membawa anak itu?" Tian menaikkan pandangannya guna menatap wajah Elbarak. Pemuda itu mengangguk sebagai respon.

"Papa ingin mengambilnya lagi? Untuk apa? Papa sudah menandatangani perjanjian itu dan Jovanka bukanlah orang sembarangan, papa!"

Teo, putra pertamanya itu berujar dengan nada yang kentara sekali bahwa dia keberatan. Dia tidak bisa memahami perasaanya sendiri. Dia tak ingin adiknya kembali ke rumah ini, entahlah, perasaanya bilang itu bukan sesuatu yang baik.

"Gimana keadaan Stevan?" Tian mengabaikan pertanyaan putra sulungnya. Dia memilih fokus pada Elbarak yang terlihat ogah-ogahan berada di sana.

"Lumayan baik, tapi kita harus cepet dapatin donornya. Dokter bilang, waktunya cuma sebulan."

Jawaban Elbarak membuat Tian menghela napas berat. Stevan dilarikan ke rumah sakit dua bulan lalu setelah anak itu tiba-tiba mengalami henti jantung saat sedang sarapan di rumah. Tak ada pertanda, tiba-tiba vonis dokter mengatakan bahwa jantung putra ketiganya bermasalah dan harus segera melakukan operasi. Hanya saja, sejauh ini belum ada donor yang cocok untuk nya.

"Pa, jangan bilang papa ingin Sagas mendonorkan jantungnya?!" Ucapan Teo mendadak membuat suasana terlihat tegang.

Elbarak berdiri dari duduknya, dia menatap tajam sang ayah yang hanya diam saja, "Benarkah, pa?"

"Kalau iya kenapa?"

Teo memukul meja kaca di depannya hingga retak, "Maksud papa apa?!"

Elbarak sendiri menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa. Dia tidak tahu harus berkata apa. Dia mungkin tak terlalu menyukai adiknya itu, tapi bukan berarti dia akan melakukan hal jahat seperti ini.

"Kenapa kamu marah? Bukankah bagus jika dia ga ada?"

Teo terdiam, dia juga tidak tahu kenapa dia marah. Hanya saja, dia merasa ini tidaklah benar. Mau bagaimanapun, Sagas masihlah adiknya.

Elbarak tak berbicara apa-apa lagi, dia memilih pergi meninggalkan ruangan. Hatinya entah kenapa merasa sesak. Jika dia sudah merasa begini, bagaimana dengan Stevan? Elbarak tahu jika adiknya itu sangat menyayangi Sagas, meski tak pernah sekalipun dia tunjukkan.

Teo menatap kepergian Elbarak yang terlihat terluka, kemudian dia menatap Tian yang terlihat santai.

"Pa, Jovanka bukan orang sembarangan kalau papa lupa. Aku harap papa ga bertindak bodoh!"

Selepas mengatakannya, Teo pergi keluar. Dia memilih kembali ke rumah sakit dan menemani Stevan.

Sedangkan Tian menghela napasnya berat, "Papa akan melakukan apapun untuk putra papa."

>>>

Sagas memilih berkeliling kediaman barunya, tentunya dengan Sam yang setia mengekor di belakangnya.

Sedangkan Adam, pria itu entah pergi kemana. Setelah tadi menyuruhnya istirahat, Adam langsung pergi dengan beberapa bawahannya. Sagas melihatnya dari balkon kamarnya. Beberapa mobil keluar dari gerbang dan melaju cepat entah kemana.

Sagas tak ingin peduli, tapi entah kenapa perasaannya lumayan risau. Karenanya Sagas memilih berkeliling untuk mengalihkan.

"Om kerja sama Daddy udah berapa lama?" Sagas membuka suara. Sedikit ga suka dia kalau diem-diem terus.

"Sekitar 20 tahun."

Jawaban Sam membuat mulut Sagas menganga. Selama itu? Woww, bisa ya ada orang yang tahan kerja lama sama bapaknya yang macam tembok itu. Tapi kalau dilihat-lihat, Sam ini kayaknya lebih kaku daripada bapaknya deh.

Setelahnya ga ada suara lagi. Sagas milih duduk di bangku taman, ngeliatin tanaman yang selalu dirawat dengan baik oleh para pekerja. Beberapa pengawal juga terlihat berlalu lalang. Rumah ini banyak penghuni nya. Makanya rame banget.

"Om, aku sayang Daddy."

Sam yang mendengar kalimat tuan mudanya tersenyum tipis, "Tuan jauh lebih menyayangi anda."

Sagas tersenyum kecil. Dia tahu. Dan dia bahagia untuk itu. Ga peduli apapun yang bakal terjadi kedepannya. Selagi ada Adam, Sagas akan baik-baik saja.

De Facto (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang