17

3.7K 292 0
                                    

Adam termangu menatap Tian yang tertidur dalam posisi duduk di atas sofa. Adam melihat jelas bagaimana jejak air mata yang terlukis pada wajah tegas Tian. Untuk apa pria itu menangis? Apa juga yang bisa membuatnya menangis? Hatinya saja sekeras karang begitu.

Adam menatap tangan kirinya yang terpasang infus, Adam mencabutnya paksa membuat tangannya berdarah. Pemuda itu mengambil hoodie entah milik siapa yang terletak begitu saja di sofa di sebelah Tian tidur. Memakainya dan melangkah keluar.

Waktu masih menunjukkan pukul lima pagi, namun aktivitas rumah sakit sudah lumayan padat dengan para petugas yang berlalu lalang sana sini. Beberapa dari mereka menunjukkan wajah lelah yang sangat kentara. Adam jadi merasa kasihan.

Adam menghentikan sebuah taxi, dia masih belum tahu ingin kemana. Namun, apakah ini dunia nyata? Jika iya, apakah tubuh aslinya masih ada?

"Pak, tahu pemakaman Kiranggi ga?" Tanya Adam,

"Yang ada di depan rumah sakit lama itu, mas?"

Adam mengangguk, "Antar saya ke sana."

Taxi itu melaju cepat menuju tujuan, Adam meremas tangannya. Jika makam itu masih sama, berarti dia ada di dunia nyata, bukan halusinasi. Namun tetap saja, Adam tidak bisa menerima, seharusnya dia sudah meninggal.

Taxi itu berhenti tepat di depan gerbang sebuah pemakaman. Adam turun setelah membayar, di tatapnya sekeliling gerbang itu. Sama, tak ada yang berbeda. Adam memberanikan dirinya membawa langkahnya masuk ke dalam pemakaman. Benar-benar sama, tak berbeda jauh dari yang terakhir Adam kunjungi.

Kaki nya terus melangkah lebih dalam. Tanpa sadar Adam menahan napasnya, di tatapnya sebuah gundukan tanah yang di atasnya tersebar bunga mawar yang sudah layu. Adam mematung membaca sebuah nama yang tertera di batu nisan itu.

Aela Maharani

Pemuda itu bersimpuh di samping makam Aela, tangannya mengelus pelan nisan yang sudah berlumut termakan usia. Makam kekasihnya benar-benar nyata. Yang artinya, Adam memang ada di dunia nyata, bukan halusinasi atau apapun yang pernah Adam pikirkan.

"Aela..."

Adam menunduk, pemuda itu menangis, dia merunduk membiarkan keningnya menyentuh tanah makam. Kedua tangannya saling meremat kuat, Adam tidak bisa terima ini. Dia tak terima!

"Bianca!"

"Bianca!"

"Bianca keluar!! Saya bilang keluar!"

Ini dia, aura sejati seorang Adam Stevanus Jovanka, aura yang sering kali membuat lawan-lawannya bergetar. Sorot mata itu kembali, manik hitam kelam itu kini menampilkan amarah yang begitu besar. Adam mengeraskan rahangnya, Bianca tidak datang. Wanita itu entah berada di mana dan sedang apa. Tapi jika dia muncul di hadapannya, Adam akan mencekiknya hingga dia menghilang.

"Aku akan mengurus ini, sayang. Setelah itu aku akan bersama mu."

Adam mengecup nisan di depannya dan melangkah pergi. Kedua tangannya terkepal kuat. Dia harus menemui siapapun yang mungkin saja tahu tentang Bianca, atau segalanya tentang hidup Sagas Immanuel Bramata.

"Keenan..."

<<<

Bianca menatap sekelilingnya yang terlihat asing, wanita muda itu berada di sebuah ruangan tak terlalu luas yang hanya mengandalkan cahaya lilin untuk menerangi ruangan tersebut. Bianca memejamkan matanya lelah, membiarkan dirinya terduduk bersandarkan dinding yang begitu terasa dingin. Sudah berkali-kali dia berusaha keluar, namun Bianca tidak bisa. Dia tidak bisa menghilang seperti biasa.

Bianca menghela napas, dia mendengar ketika Adam memanggilnya, dan sepertinya pemuda itu tengah diselimuti amarah. Sayang, Bianca tak bisa menghampirinya. Entah apa yang terjadi dan entah apa juga yang terjadi pada Adam hingga dia terdengar begitu marah.

"Sudah bangun?"

Bianca mendongak menatap seorang laki-laki yang berdiri menjulang di hadapannya. Laki-laki dengan tatapan datar namun tersimpan sebuah misteri di dalamnya.

"Siapa? Kamu melihat ku?" Suara Bianca sudah terdengar lemah.

"Aku tahu kamu, Bianca bukan? Seorang adik yang ingin membalaskan dendamnya pada orang yang sudah melakukan hal bejat pada kakaknya? Sayang, kamu terbunuh. Seluruh keluarga mu mati."

"Siapa kamu?!"

Bianca berseru marah. Bagaimana laki-laki asing di hadapannya ini tahu siapa dia, tahu tujuannya? Bagaimana bisa?! Dan kenapa dia bisa melihatnya?!

"Bianca, ayah mu tidak melarang meski dia tidak pernah menyetujuinya. Dan Sagas sendiri juga tidak ingin kamu melakukannya bukan? Bahkan jiwa asing yang kamu panggil itu juga tidak menerima ingatan mu." Laki-laki itu berjongkok, tangannya memegang kuat dagu Bianca membuat wanita itu meringis.

"Di mana Sagas?" Laki-laki itu bertanya dingin.

Bianca tidak menjawab apapun, sorot mata nya yang penuh ambisi terlihat menyala-nyala. Detik selanjutnya wanita itu tertawa keras. Laki-laki itu menghempaskan rahang Bianca dan bangkit dengan sorot yang kian menajam. Di tatapnya wanita di depannya itu yang masih tertawa keras.

"Kamu bertanya di mana dia? Mungkin ikut ibu nya, ahh akhirnya dia bersatu dengan kakak." Bianca mendongak menatap mata tajam laki-laki itu.

"Kenzo akan sangat kecewa pada mu, Bianca." Laki-laki itu menghilang.

Bianca mengerutkan keningnya, memangnya apa hubungannya dengan Ken? Bukankah bawahan Tian itu selalu diam ketika Sagas di siksa? Dia hanya menampilkan wajah datar, Bianca pernah melihatnya dan itu membuatnya sakit.

Laki-laki yang begitu dia cinta, bagaimana ini semua bisa menimpa dirinya? Kakaknya bunuh diri di rumah sakit dan ayah nya meninggal karena kecelakaan yang telah dirancang oleh Tian. Lalu Bianca sendiri? Ahh wanita itu mati dengan sangat mengenaskan.

Bianca terkekeh kecil, dia wanita yang jahat.

<<<

Ken bersimpuh di samping sebuah makam yang terlihat sangat terawat. Tentu, Ken sering mengunjungi nya dan meminta petugas untuk selalu membersihkan makam ini. Ken menaruh buket bunga mawar putih di atas makam itu.

Bianca Riza Herjuno

Ya, ini makam seorang wanita yang sangat Ken cintai. Wanita yang menjadi segalanya dalam hidupnya. Ken menunduk, memejamkan matanya membuat bulir-bulir bening itu mengalir dari pelupuk matanya.

"Maafkan aku."

Ken merasa lemah, merasa sangat bersalah. Dia tak bisa melakukan apa-apa untuk keluarga wanita yang dia cintai. Dia tidak bisa melawan Tian, baik itu dulu maupun sekarang. Ken hidup untuk Tian, dia tidak bisa apa-apa di bawah pria itu. Bahkan ketika Tian melenyapkan Bianca di hadapannya pun, Ken hanya bisa diam dan mati-matian menahan wajah datarnya.

Bahkan untuk menguburkan jasad Bianca pun, Ken tidak bisa melakukannya karena tubuh wanita itu benar-benar tidak ada yang tersisa. Dalam gundukan makam ini, hanya berisi barang-barang milik Bianca.

"Maafkan aku..."

Langit yang sejak tadi mendung akhirnya menumpahkan tangisnya. Mengguyur sepenuhnya tubuh Ken yang tidak sedikitpun bergeming dari sana. Laki-laki itu masihlah bersimpuh dengan kepala tertunduk.

Dari jauh, seorang pemuda menyaksikannya dan mendengarnya. Kedua tangannya terkepal semakin erat. Kaki nya melangkah menjauh dari sana dengan perasaan berkecamuk.

"Aku akan melenyapkannya untuk mu, tapi..."

De Facto (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang