Sebuah kamar dengan nuansa serba hitam itu menyambut Adam. Pemuda itu mengerjapkan matanya beberapa kali untuk menyesuaikan dengan cahaya lampu yang menyorot terang. Adam mendudukkan dirinya dengan linglung. Kepalanya terasa berat sekali. Beberapa kali tangannya memukul kepalanya berharap pening yang menyerangnya menghilang. Namun bukannya hilang, peningnya malah semakin menjadi membuat Adam meringis kecil.
Netra hitam kelam miliknya terbuka memindai ruangan. Ini bukan kamarnya ataupun kamar salah satu keluarganya. Kamar siapa? Di mana dia? Seingatnya dia tengah berjalan-jalan sore dengan Stevan. Tentunya setelah membujuk para iblis agar memperbolehkan dia keluar dari kamar inapnya. Tapi kenapa dia ada di tempat asing begini?
Adam ingin turun dari ranjang besar itu, namun suara gemericik menghentikannya. Adam menatap kakinya yang terbungkus selimut tebal. Dengan cepat tangan putih pucat itu menyingkap selimutnya. Adam melotot tidak percaya melihat kedua kakinya yang terpasang rantai.
"Sialan! Siapa yang berani merantai kaki ku?!" Geram Adam menggoyang-goyangkan kakinya menimbulkan bunyi yang begitu berisik.
Rantai itu pendek sekali, Adam tidak mungkin bisa turun dari ranjang besar ini. Adam berdecak kesal. Matanya kembali menelisik ruangan asing yang dia tempati. Apa ini salah satu kamar Bramata yang belum pernah Adam masuki? Tapi seingatnya tidak. Meski para iblis itu pecinta warna gelap, mereka tidak mungkin membuat kamar segelap ini. Ughh auranya benar-benar suram sekali.
"Sudah bangun, boy?"
Adam menoleh ke arah pintu yang terbuka dengan tatapan tajam. Di sana berdiri seorang pria seumuran Tianjing yang kini berjalan ke arahnya dengan kedua tangan memegang nampan berisi makanan. Adam mengernyit, dia tidak mengenal pria tua ini.
"Anda siapa?" Tanya Adam dengan nada datar. Matanya menelisik bagaimana pergerakan pria tua itu, mulai dari dia masuk kamar, berjalan ke arahnya, menaruh nampan di atas meja kecil di sebelah ranjang, dan kini pria itu tengah duduk di sampingnya dengan mata yang terus memandanginya. Adam menatap pria itu dengan sinis.
"Kamu sungguh tidak mengenali ku?" Adam berdecak. Bukannya menjawab malah balik nanya! Bagaimana sih?!
"Lo siapa?!" Adam berteriak kesal. Bahkan dia menggunakan bahasa gaul yang sebenarnya jarang dia pakai sih. Adam merenung, suara Sagas itu lembut dan sangat terdengar aneh ketika suara ini dipakai untuk mengucapkan bahasa-bahasa gaul atau untuk mengumpat. Oke terserah!
"Bahasa kamu, boy. Kamu sungguh lupa?" Pria tua itu kembali bertanya.
Adam memalingkan wajahnya dengan tampang kesal. Kepalanya masih pening by the way. Sekarang malah dia harus menghadapi pria tua yang dari tampangnya saja sepertinya dia tipe orang yang sangat menyebalkan! Oke masih sepertinya. Tapi bisa saja kan?!
"Bagaimana perasaan mu selama tinggal dengan Tian?" Pria itu kembali bertanya. Adam ingin abai namun pria tua ini menyebut nama ayahnya membuatnya menoleh.
"Lo kenal bapak gua?" Oke sekarang Adam sedikit kecanduan memakai bahasa gaul ini. Hmmm bolehlah. Tapi...kenapa pria tua di depannya ini menatapnya tajam?
"Daddy bilang bahasa mu boy! Jangan menggunakan bahasa itu jika berbicara dengan Daddy!" Sentak pria itu membuat Adam terkejut. Tidak! Bukan bentakannya! Tapi pengakuannya!
Daddy?! Siapa?! Ayah Sagas perasaan cuma satu! Atau jangan-jangan Tian bukan ayah kandungnya dan ternyata dia adalah anak pungut?! Oh kalau begitu pantas saja dia tidak disukai keluarganya dulu. Iya kan? Begitu kan?!
Kalau iya, Adam ingin sujud syukur. Pria di depannya ini terlihat sedikit lebih baik daripada Tianjing. Dan sepertinya dia juga lebih kaya daripada Bramata. Hmmm bisalah Adam porotin duitnya. Lumayan buat nonton konser.
KAMU SEDANG MEMBACA
De Facto (END)
Teen Fiction"Balas dendam terbaik adalah mengirim mu ke neraka!"