Sesuai ucapannya, begitu bel pulang berbunyi. Adam langsung keluar dan melangkah ke arah kelas Selena. Menunggu gadis itu keluar. Tak lama Selena keluar dan memekik senang melihat Adam yang menunggunya. Dengan cepat gadis itu menggaet lengan Adam membuat pemuda itu menoleh.
"Ayo jalan!" Seru Selena sedikit mendongak.
Sebenarnya dia heran, belum lama ini Adam terlihat lebih pendek darinya. Tapi sekarang, tinggi Adam beberapa cm di atasnya. Apa selama tidak masuk sekolah pemuda itu rajin olahraga? Selena tidak mau tahu, yang penting sekarang dia bisa jalan dengan pemuda imut ini! Oh jika Adam tahu dia pasti akan kesal.
Dua remaja berbeda gender itu masuk ke dalam mobil. Adam lantas membawa kendaraan beroda empat itu melaju menjauhi gedung sekolah. Di belakang, Stevan dan teman-temannya memandang kepergian Adam dalam diam.
"Dia beneran bisa nyetir ternyata." Gumam Raja pelan namun masih bisa didengar mereka.
Stevan menyalakan motornya dan melaju cepat keluar meninggalkan yang lain. Pemuda itu sebenarnya ingin mengikuti sang adik, tapi dia takut adiknya tidak akan nyaman dengan perilakunya. Maka dia membawa motor besar itu ke arah rumahnya.
Sedang di sisi Adam. Pemuda itu hanya diam mendengarkan celotehan Selena. Sedikit merasa heran, mereka sebelum ini tidaklah dekat. Hanya sekali, ketika Selena membantunya menuju kelasnya. Selebihnya, mereka tidak pernah bertemu lagi. Adam hanya sesekali melihat gadis itu di antara teman-temannya.
"Kenapa mendekati ku?"
Selena menghentikan ucapannya ketika mendengar pertanyaan Adam. Gadis itu tersenyum manis. Memposisikan tubuhnya menyamping menghadap ke arah Adam yang fokus memperhatikan jalanan.
"Karena gua butuh Lo." Jawabnya,
Adam menoleh, menelisik manik biru gelap milik gadis itu. Apa yang dia katakan kemungkinan benar, Adam tidak melihat kebohongan dalam manik indah itu. Adam mengangguk mengerti, "Untuk?"
"Helena, gua pengen hancurin jalang itu."
Adam mengangkat alisnya. Langsung menjawab tanpa berpikir? Apakah gadis ini tidak takut jika Adam akan mengadu? Meski Adam tak mungkin melakukannya si. Toh tujuan mereka ternyata sama~
"Why? Something happened with you guys?"
"Just a family problem."
"Family?"
Selena mengangguk, lantas gadis itu bercerita dengan santai. Tentang apa yang terjadi pada keluarganya. Adam mendengarkan dengan baik, sedikit tidak menyangka hal itu terjadi dalam hidup Selena.
Helena yang ternyata adalah wanita simpanan papa Selena. Orang yang membuat hubungan orang tuanya berantakan. Selena tidak merasa sedih sebenarnya. Sebelum ini juga pernah terjadi, meski masalah utamanya dulu bukanlah orang ketiga. Dia hanya merasa tidak tega melihat sang mama murung setiap hari.
Lagian, Selena heran, mama nya itu adalah supermodel. Tentu semua yang melekat di mama nya itu terlihat sempurna sekali. Lalu apa yang membuat sang papa berpaling? Memilih jalang pula.
"Begitu, Sagas. Gua pengen Lo bantuin gua. Gua tau Lo bukan orang biasa dan gua rasa Lo malah bisa hancurin Bramata. Keluarga Lo sendiri. So?"
Adam masih diam, meskipun dia ingin menghancurkan Helena, tapi semua itu semata-mata untuk membuat orang-orang di sekitarnya sadar bahwa Helena bukanlah orang baik-baik. Dia tidak ada masalah dengan Helena, meski beberapa kali dia merasa terganggu dengannya.
"Oke."
Selena memekik senang, bahkan gadis itu bertepuk tangan. Membuat Adam diam-diam tersenyum tipis melihat kelakukan gadis di sebelahnya.
"Sekarang, kita makan! Habis itu nonton! Let's go!!"
Adam memacu kendaraannya lebih cepat dari awal. Mobil putih itu membelah jalanan lenggang menuju tujuan. Selena memutar playlist miliknya dan sesekali ikut bernyanyi. Adam sendiri hanya diam meliriknya. Entahlah, Adam merasa sebagian hatinya menghangat.
>>>
Adam turun dari mobil Selena, gadis yang tengah duduk di kursi kemudi itu melambaikan tangannya dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. Adam membalasnya dengan senyum tipis. Setelahnya mobil putih itu melaju meninggalkan kediaman Bramata. Adam masih menatapnya hingga mobil itu benar-benar menghilang.
Pemuda dengan wajah datar itu berbalik dan melangkah masuk ke dalam rumah. Adam melirik jam tangannya, belum terlalu sore. Adam rasa mereka yang gila kerja itu tidak akan ada di rumah sekarang.
Adam membuka pintu besar kediaman, Adam melangkah masuk begitu saja. Melewati ruang tamu, ruang keluarga dan bertemu tangga. Ketika Adam hendak menaiki tangga, suara seseorang menginterupsi langkahnya.
"Dari mana, Sagas?"
Adam menoleh dan melihat Tian berdiri bersandar dinding dengan kedua tangan yang bersedekap. Menatapnya tajam.
"Main." Jawab Adam.
Tian menghela napas, dibawa langkahnya mendekati sang bungsu, "Izin bisa kan? Jangan asal keluar, kami khawatir."
Adam menatap manik gelap sang ayah, sedikit mengerutkan keningnya, "Sejak kapan papa peduli?"
Tian dibuat diam. Pria itu merasa tertohok dengan pertanyaan putra bungsunya. Oke, semua ini memang salahnya. Tapi apa tidak bisakah dia mendapat kesempatan? Bukankah Tian juga sudah berniat memperbaiki semuanya? Bukankah Sagas juga tidak menolaknya waktu itu?
Adam tidak menunggu lagi, pemuda itu melangkah pergi. Meninggalkan Tian yang hanya bisa berdiri diam di bawah tangga.
Tian meremas tangannya. Apakah dia terlambat? Apakah sudah tidak bisa diperbaiki lagi? Apakah tidak ada sedikitpun kesempatan untuknya? Dia dan putra bungsunya sudah terlalu jauh, jarak yang dia ciptakan sudah membuat jurang pemisah ini semakin lebar. Sagas terasa asing, sejak dia bangun dari koma nya, Tian merasa asing dan hal itu membuatnya semakin terjatuh dalam perasaan bersalahnya.
Elbarak yang sebenarnya menyaksikan dari balik dinding juga terpaku. Dia tahu mereka telah terlambat. El mengerti mereka tidak memiliki kesempatan lagi. Pemuda itu menatap kedua tangannya yang gemetar. Tangan yang pernah menyakiti adiknya secara sadar.
Puk
Tepukan di bahu nya membuat pemuda itu menoleh. Ditatapnya Stevan yang tersenyum tipis padanya. Maka tanpa El bendung lagi, tangisnya pecah di atas bahu lebar sang adik. Stevan memeluk kakak keduanya dengan erat. Pemuda itu mati-matian menahan tangisnya juga.
"Sudah tidak ada kesempatan lagi, Stev. Tidak ada." Gumam Elbarak teredam oleh tangisnya.
Stevan mengangguk pelan, iya, sudah tidak ada. Kesempatan yang seharusnya dulu mereka ambil malah mereka abaikan. Sekarang, mereka terjebak di jurang penyesalan yang tidak berujung.
Teo, pria dewasa itu baru memasuki rumah megahnya yang sayang terasa sangat hampa. Pria dewasa itu menatap datar kedua adiknya yang berpelukan dengan El yang terisak. Lalu mata nya bergulir ke arah tangga di mana Tian masih mematung di sana menatap jejak-jejak si bungsu yang sudah tak terlihat.
Teo tersenyum tipis, dia bawa langkahnya ke arah kamarnya. Pria dewasa itu berdiam sejenak menatap pantulan dirinya di cermin besar.
"Puas kamu? Sekarang lihat, semuanya hancur."
Teo masih diam, dia hanya menatap datar pantulan dirinya.
"Kalian juga akan hancur. Tidak bisa diperbaiki lagi, Teo."
Ruangan itu sunyi. Pantulan dirinya di dalam cermin tersenyum miring, "Adik mu, milikku."
Prang!
![](https://img.wattpad.com/cover/337941623-288-k880047.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
De Facto (END)
Teen Fiction"Balas dendam terbaik adalah mengirim mu ke neraka!"