Adam menatap Stevan yang juga tengah menatapnya. Pandangan pemuda itu tak sedatar tadi. Stevan mendekat dengan raut khawatir yang kentara. Matanya menatap tajam sosok lain yang dengan lancangnya mengelus surai adiknya.
Sedangkan pemuda itu tak peduli dengan tatapan tajam Stevan. Wajahnya mungkin bagi Adam terlihat datar, namun di mata Stevan, itu ekspresi mengejek yang ditunjukkan padanya. Tangan Stevan menyentak pelan tangan yang lancang menyentuh adiknya. Oh Stev, andai kau tahu bahwa dia lah yang membawa adik mu ke sini.
"Jauhkan tangan kotor mu dari adikku!" Desis Stevan dengan tatapan mautnya. Sedangkan pemuda itu masih setia dengan wajah datarnya.
Adam menatap kedua orang di depannya bergantian. Rasa-rasanya mereka bukan teman, aura di sekeliling mereka terasa suram. Adam menipiskan bibirnya. Dia memilih abai dan memainkan ponsel milik dia yang pemuda itu ambil dari saku celana pemuda itu dan Stevan sendiri tak menyadarinya. Hmm mudah dirampok.
"Adik mu? Aku baru tau kau memiliki adik heh?" Stevan menggeram kesal. Dirinya hendak memukul pemuda menyebalkan di depannya itu namun derap langkah yang terdengar tergesa itu menghentikan niatnya.
"Aduh! Gua dulu yang masuk sialan! Menyingkir!"
"Gua dulu! Ngalah ga lo sama yang lebih muda?!"
"Gua ga tua ya bangsad! Mata lo picek!?"
"Iuhh muka kek pantat panci gitu anjing!"
"Heh! Lu jepit tangan gua woi!"
"Lo kata tangan gua kagak kegencet hah?!"
"Ya makanya minggir njing!"
Stevan menatap datar Raja dan Bian yang berdebat di ambang pintu. Pintu sekecil itu mana mungkin muat untuk mereka masuki bersama, tubuh mereka itu besar. Sadar diri tolong!
Adam yang mendengar ribut-ribut pun mengalihkan pandangannya, ditatapnya dua orang yang masih adu mulut itu dengan pandangan malas. Matanya melirik Sagara yang duduk anteng di sofa tak jauh dari pintu. Eh? Kapan dia masuk? Bukannya pintu masih terhalang tubuh dua orang stres itu?
Sagara yang merasa ditatap pun mengalihkan pandangannya, mengerti maksud tatapan adik dari temannya itu, Sagara menunjuk jendela yang terbuka. Adam mengangguk mengerti kemudian kembali fokus pada ponsel Stevan, meninggalkan keributan yang masih berlangsung.
"Ekhem!"
Suasana hening sejenak, Raja dan Bian menoleh ke belakang. Kepala mereka menunduk memperhatikan sosok perempuan yang menatap mereka malas dengan kedua tangan bersedekap di depan dada.
"Hentikan kelakuan tak berguna kalian! Minggir!" Raja dan Bian langsung bergerak begitu saja memberi ruang untuk Bella lewat.
Wajah Bella yang awalnya suram itu berganti cerah ketika melihat Adam. Tadi ketika dia kemari, pemuda itu masih pingsan. Bella menyingkirkan Stevan dan pemuda di sebelahnya dengan kedua tangannya. Perempuan itu menarik ponsel yang dipegang Adam membuatnya berdecak kesal.
"Hey!" Sapa Bella.
Adam merotasikan matanya malas. Tangannya terangkat hendak meminta ponsel Stevan kembali, namun Bella justru memberikan ponsel mahal itu ke pemiliknya. Stevan menatap bingung ponselnya sendiri. Kapan adiknya mengambilnya? Oh benar-benar mudah dirampok.
"Jelaskan, kenapa kau bisa ada di sini?" Adam sedikit heran dengan perempuan di depannya ini. Pertama kali bertemu, dia sangatlah anggun, tapi sekarang...
Oke dia masihlah anggun, namun emm...yahh Bella lebih terlihat bebas sekarang.
Adam mengedikkan bahu nya. Dia mana tahu, yang dia ingat...oh shit! Mata Adam membulat sempurna, pemuda itu menolehkan kepalanya menatap orang yang berdiri di samping Stevan.
"Kau! Kau melihat orang lain di sana tidak?" Tanya Adam. Pemuda yang membawanya kemari itu mengernyitkan keningnya lalu menggeleng.
"Kenapa?"
Adam menggeleng. Tidak! Dia tidak mungkin menceritakan kejadian tadi. Mungkin itu hanya iseng? Haha..
Stevan menatap adiknya datar, lalu pandangannya beralih pada Sagara, tak lama Sagara bangkit dan melangkah pergi tanpa pamit. Raja dan Bian yang masih setia berada di ambang pintu pun menyusul. Ada tugas yang harus mereka kerjakan.
Adam menatap bingung teman-teman Stevan yang main pergi saja tanpa berkata apapun. Bahkan pemuda yang menolongnya itu juga tak lama keluar dari sana. Adam mencebikkan bibirnya, menggurut tanpa suara.
"Apa?" Ketus Adam ketika matanya melihat Stevan menatapnya dengan aura intimidasi yang kuat. Bella diam-diam menyingkir dari sana dan duduk di tempat yang tadi diduduki Sagara.
"Kau tidak ingin menjelaskan apa-apa?" tanya Stevan sembari melangkah mendekat ke arah ranjang yang ditempati Adam. Adam menggeleng, memang dia perlu menjelaskan apa? Perasaan tidak ada apa-apa. Kan?
<<<
Kaysan, pemuda jangkung dengan wajah datar itu membawa langkahnya ke arah rooftop sekolah. Tak ada siapapun yang berkeliaran karena bel masuk sudah berbunyi sejak tadi, mungkin beberapa menit setelah dia keluar dari UKS.
Bibir Kaysan tersenyum tipis ketika mengingat wajah pemuda yang dia bawa tadi. Awalnya Kaysan tak ingin peduli dan ingin meninggalkan pemuda itu, hanya saja, entah kenapa Kay merasa tidak tega. Lagipula tidak buruk, wajah pemuda itu menggemaskan, apalagi ekspresi bingungnya tadi. Ahh Kay sangat menyukainya.
Kay membuka pintu rooftop, netra nya menatap seorang pemuda yang berdiri membelakanginya dengan kedua tangan yang dia masukkan ke dalam saku celananya. Kay mendekat, berdiri di samping pemuda itu. Tak ada suara sama sekali. Pemuda itu asyik memandangi langit yang mulai terlihat kelabu, sedang Kay sendiri, dia hanya memperhatikan pemuda di depannya ini.
"Menyukainya huh?"
Kay terkekeh kecil mendengar suara datar dari orang di sampingnya. Tangan pemuda itu menepuk punggung lawannya pelan. Kay menggeleng, namun kemudian mengangguk lalu menggeleng lagi. Ahh dia tidak mengerti dengan perasaannya.
"Tidak tahu, aku hanya...yahh entah."
Pemuda di sampingnya itu mengangguk mengerti. Mengenal Kaysan belasan tahun tentu membuatnya paham, pemuda itu sedikit err...begitulah.
Kay melingkarkan kedua tangannya pada pinggang pemuda di sampingnya yang diterima baik olehnya. Tangan pemuda itu mengelus pelan lengan Kay membuat pemuda jangkung itu memejam.
Kay mengangkat pelan tubuh pemuda yang sedikit lebih kecil darinya, menghadapkan tubuh pemuda itu ke arahnya. Kay tersenyum menatap netra biru gelap milik pemuda di depannya. Tak ada cahaya di mata indah itu, sedang pemiliknya hanya menatap Kay tanpa ekspresi.
"Keenan..." Kay membelai pelan pipi pucat pemuda di depannya.
"Jangan sampai tertangkap, Kaysan."
Mata mereka bertemu, manik biru gelap milik Keenan yang beradu dengan manik hitam Kaysan. Keduanya tersenyum kecil, membiarkan angin membelai lembut wajah mereka. Aroma mint dan musk menguar kuat dari keduanya.
Pintu rooftop terbuka, seorang siswa berjalan santai ke arah pembatas rooftop. Mengamati birunya langit yang sedikit tertutup awan gelap. Menarik napas panjang sembari memejamkan mata, lantas dia hembuskan dengan pelan serta perasaan yang lega.
"Sendiri lebih baik."
....
Gimana kabarnya hari ini?

KAMU SEDANG MEMBACA
De Facto (END)
Roman pour Adolescents"Balas dendam terbaik adalah mengirim mu ke neraka!"